Harsudi Supandi, Pelopor Bisnis Teknologi Geo-Coal di Indonesia
Harsudi Supandi, Pelopor Bisnis Teknologi Geo-Coal di Indonesia
Harsudi Supandi, Pelopor Bisnis Teknologi Geo-Coal di Indonesia
Selasa, 03 Juli 2012 09:07 Awalnya banyak perusahaan batu bara nasional yang mencibir kalau temuan teknologi Geo-Coal ciptaanya itu akan bermanfaat bagi perkembangan bisnis mereka. Namun dia pantang menyerah hingga kemudian datanglah tawaran bermitra dari perusahaan batu bara yang ada di luar negeri. Sejak itulah teknologi Geo-Coal yang bisa memaksimalkan batu bara muda mulai dikenal.
Dialah Harsudi Supandi Presiden Direktur PT Total Sinergy International (TSI) yang berhasil menerapkan teknologi Geo-Coal untuk mengangkat kadar kalori batu bara muda yang selama ini belum bisa dimanfaatkan. Pria berusia 64 tahun itu jatuh bangun dalam menawarkan teknologi tersebut kepada berbagai perusahaan di Indonesia.
“Dulu semua perusahaan batu bara banyak yang skeptis dan mempertanyakan apakah teknologi itu bisa digunakan atau tidak? Jadi dulu banyak ditolak,” kata pengajar metalurgi di Universitas Indonesia.
Temuan Harsudi ini dapat digunakan untuk rangkaian batu bara bernilai kelembapan tinggi kalori rendah dari berbagai pertambangan batu bara di seluruh dunia, dan untuk material organik seperti bambu, kayu, bahkan sampah.
Sebagai informasi batu bara muda yang memiliki kalori 220-3.700 kalori/kg dapat dinaikkan derajatnya menjadi batu bara berkalori 5.300 kcal/kg yang disebut Geo-Lite. Sedangkan untuk baru bara berkalori 4.100-5.300 kalori/kg mampu di-upgrade menjadi Geo-Hi dengan kandungan lebih dari 6.000 kalori/kg.
Harsudi mengaku sudah memperkenalkan teknologi itu sejak tahun 1990-an hingga kemudian lima tahun berikutnya ada titik terang dari perjuangannya yang tidak kenal lelah tersebut. Adalah Agritrade International Ptd Ltd, yang terdaftar di Hong Kong, dan WSJ International Shd Bhd yang bermarkas di Singapura yang lanats berminat dengan konsep yang ditawarkan oleh Harsudi tersebut.
Kedua perusahaan itu pun lantas membentuk PT Total Sinergy Indonesia(TSI ) bersama dengan PT Nusa Galih Nusantara, untuk menggenjot bisnis pengembangan batu bara muda. Dan sejak digandeng mitra luar negeri itulah, kiprah Harsudi di bisnis batu bara semakin moncer. “Sekarang perusahaan malah nanya kenapa kok tidak gandeng mitra di Indonesia?” katanya.
Nah, di bawah bendera TSI inilah Harsudi kemudian berekspansi. Ia pun membangun Bulk Testing Plant pada Januari 2011. Unit ini semacam instalasi contoh yang mendekati kapasitas sebenarnya. “Rasionya hingga 1:3 sehingga memiliki akurasi tinggi. Sedangkan rasio standar yang berlaku di dunia manufaktur hanya 1:15,” paparnya.
Kliennya pun mulai hadir seiring dengan kepercayaan dari sejumlah perusahaan batu bara yang, sayangnya, kebanyakan dari tanah seberang. Perusahaan anak negeri hanya satu, yaitu PLN Batu Bara (PLN BB). “Ada delapan perusahaan asing plus satu PLN,” kenangnya.
Perusahaan setrum milik negara itu kini telah memercayakan proses drying batu bara yang menggerakkan Pembangkit Listrik Tenaga Listrik Labuan Banten. Kesepakatan kontrak diteken April 2011 lalu dengan kapasitas mencapai 1,2 juta ton batu bara per tahun.
Selain PLN sebagai representasi pengguna batu bara dari domestik, teknologi rintisan Harsudi sedang dibangun untuk Agritrade Resources Limited di kawasan tambang Tamiang Layang, Kalimantan Tengah.
Dua kontrak yang didapat, merupakan bentuk kepercayaan yang harus dibayar penuh dengan keberhasilan. Pasalnya, perusahaan tambang batu bara di Indonesia dan dunia selama ini terus mencari teknologi pengangkat kadar kalori tanpa mengurangi nilai ekonomi atau terlalu membebani dengan kebutuhan investasi.
Sayangnya, teknologi yang telah ada saat ini tidak mampu menjawab kebutuhan mendasar kalkulasi bisnis. Menurut amatan lelaki kelahiran Sukabumi ini, selain Geo-Coal, teknologi yang ada membutuhkan investasi instalasi yang tinggi, dan sebaliknya, kapasitas produksi tidak sebanding.
Dari sisi investasi, Geo-Coal hanya membutuhkan biaya 10 juta-12 juta dollar AS untuk kapasitas 1 juta ton. Bandingkan dengan teknologi lain yang rata-rata menyerap investasi 80 juta hingga 150 juta dollar AS untuk menghasilkan kapasitas yang sama. Sementara untuk biaya operasional, teknologi lain rata-rata 15 – 20 dollar AS, sementara Geo-Coal hanya 4 – 5 dollar AS per ton. (asm)
Another articles:
* Rohmad Hadiwijoyo, Ki Dalang yang Sukses Berbisnis Migas (2012-06-08) * Berani Gagal, Berani Tanggung Jawab (2012-03-29) * Tessar, Membuka Peluang Usaha Melalui Green Flame (2011-10-23) * Anak Polisi yang Jadi Pengusaha Tambang (2010-12-08) * Agus Lasmono, Triliuner Muda Pebisnis Batu Bara (2010-12-07)