KURANG BERSYUKUR
Oleh : Dr. H. Uril Bahruddin, M.A
Suatu saat saya berjumpa dengan salah satu tokoh pendidikan yang sangat menginspirasi dalam kehidupan saya, kebetulan saat itu kami sama-sama satu pesawat dari Jakarta ke Malang. Kami tidak duduk perdampingan karena memang tidak ada kesepakatan sebelumnya dan berbeda waktu saat check-in. Sesampainya di bandara Abdurrachman Saleh Malang, beliau sudah ditunggu oleh penjemputnya dan menawarkan pada saya untuk ikut bersamanya di mobil. Tanpa berfikir panjang, dengan senang hati saya pun menerima tawarannya.
Di perjalanan dari bandara ke kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang di Jalan Gajayana, beliau banyak bercerita tentang kesuksesannya dalam karir yang ditekuni. Beliau pun memberikan teka-teki kepada saya, beliau mengatakan: “Apa kira-kira yang kurang dari saya ya pak uril”. Terus terang saya tidak bisa menjawab bertanyaan itu, berkumpul antara malu dan takut salah dalam menjawab. Akhirnya beliau menjawab sendiri teka-tekinya, “sesungguhnya yang kurang dari saya adalah bersyukur”. Ya, kurang bersyukur, itulah penegasan dari beliau.
Kawan…
Menarik untuk dicermati pernyataan tokoh tersebut. Tak terhingga kenikmatan yang telah diberikan kepada kita oleh Allah swt, sejak dari lahir hingga saat ini, bahkan sejak sebelum manusia dilahirkan didunia ini sudah berhutang nikmat dari-Nya. Memang, menusia hanya dituntut oleh Allah untuk bersyukur saja terhadap seluruh pemberian-Nya, tidak dimint lebih dari itu. Manusia dengan segala kelemahannya tidak akan sanggup melakukan lebih dari syukur nikmat, maka permintaan yang minimal dari Allah ini apabila juga tidak diindahkan oleh manusia, tentunya Allah layak memberi hukuman kepada mereka yang tidak pandai bersyukur. Karena itu, untuk memastikan apakah kita termasuk orang yang menjaga perilaku syukur ini atau tidak, hendaknya setiap saat kita selalu melakukan introspeksi diri masing-masing.
Apabila kita kembali pada cerita diatas, kita lihat kehidupan tokoh inspirator tersebut menurut hemat saya termasuk orang yang sukses dan telah mendapatkan sejumlah kenikmatan yang luar biasa dalam hidupnya. Kalau ukuran kesuksesan adalah memiliki rumah besar, maka rumah beliau sangat besar, sangat megah dan sangat nyaman. Di komplek rumahnya berdiri sebuah masjid yang menurut sebagian orang merupakan kenikmatan tersendiri karena dengan itu seseorang bisa melaksanakan shalat lima waktu dengan berjamaah di masjid. Apabila ukuran kesuksesan seorang akademisi itu adalah dapat mencapai prestasi akademik puncak, maka beliau adalah guru besar pada salah satu perguruan tinggi di Malang, bahkan pernah menjabat sebagai pimpinan puncak di Universitas itu.
Apabila ukurang sukses seorang akademisi itu adalah memiliki reputasi internasional, maka beliau sudah sanagat banyak mengunjungi berbagai negara, baik untuk keperluan studi banding, kunjungan kerja maupun menjadi pembicara pada acara-acara ilmiah internasional. Jika ukuran kesuksesannya adalah memiliki karya ilmiyah dan dipublikasikan secara luas, maka beliau sudah tidak terhiting lagi buku-buku yang ditulisnya, bahkan ide-idenya juga telah dipraktekkan dalam pengembangan dunia pendidikan. Dengan seluruh kesuksesan yang didapatkan, bukan berarti beliu belum bersyukur, namun beliau menyadari kalau kenikmatan itu terlau besar jika dibandingkan dengan kewajiban yang harus dilakukan kepada Pemberi kenikmatan, karena itu beliau mersa dari sisi itu ada kekurang.
Mengambil pelajajaran dari pernyataan beliau, meskipun secara materi kemungkinan kita belum sesukses beliau, tetap kita harus selalu bersyukur atas seluruh nikmat yang telah kita terima. Sesungguhnya ketika Allah menciptakan kita sebagai manusia ini adalah merupakan keistimewaan yang tak terhingga yang wajib disyukuri. Kita tidak bisa membayangkan jika kita adalah sebuah pohon yang pada akhir kehidupannya hanya akan menjadi kayu bakar saja.
Kita harus lebih bersyukur lagi ketika diantara sekian banyak manusia di dunia ini, Allah telah menjadikan kita sebagi muslim. Hal ini lebih istimewa lagi karena dengan demikian kita telah mendapatkan hidayah yang akan menyelamatkan kita kelak di akhirat. Betapa celakanya ketika orang hanya sebagai manusia saja yang tidak mendapatkan hidayah, karena kemungkinan dia akan hanya dapat mendapatkan kenikmatan di dunia saja dan tidak berlanjut sampai ke akhirat.
Kita harus lebih banyak bersyukur lagi jika diantara sekian banyak muslim, Allah telah memilih kita menjadi muslim yang komitmen dengan ke-Islam-an kita. Karena Allah ternyata juga memerintahkan manusia muslim untuk menjadi muslim yang taat, bukan sekedar muslim identitas biasa saja, dengan istilah al Quran menjadi muslim yang kaffah. Menjadi muslim yang kaffah hanya bisa dilakukan ketika kita benar-benar komitmen dengan seluruh aturan main yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Semoga Allah swt. selalu membimbing kita untuk menjadi orang yang pandai bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada kita, sekecil apapun nikmat itu. Wallahu a’lam.
===============
cak.uril@gmail.com