โHARI ini, tulang dan otot anak dibentuk. Darahnya diproduksi. Kemampuannya benpikir sebagai manusia dipupuk dan dikembangkan. Karena itu tubuh dan jiwanya membutuhkan semuanya; makanan bergizi, air bersih, velayanan kesehatan, pendidikan, perlindungan, dan di atas segalanya… kasih sayang.” Semangat tulisan Gabriella Mystral yang dikutip Maria Hartiningsih ini sama dengan semangat mukadimah Konvensi Hak Anak yang menegas- kan, “Anak, demi pengembangan sepenuhnya dari keharmonisan dan kepribadiannya, harus tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih dan pengertian”.
Namun, jalan tumbuh dan perkembangan anak tidak seaman dan senyaman yang diharapkan Mystral. Keseharian anak-anak pinggiran misalnya, lebih banyak dihabiskan untuk perjuangan mempertahankan hidupnya sendiri bahkan hidup keluarganya. Tak ada kesempatan untuk mengembangkan pikirannya sendiri karena anak- anak adalah aset tenaga kerja yang harus begitu saja tunduk pada kebutuhan keluarga. Tak ada air bersih karena mereka hanya boleh tinggal di wilayah-wilayah kumuh. Tak ada layanan kesehatan karena mereka tak terhitung sebagai warga perkotaan. Pendidikan bagi anak-anak pinggiran adalah dagangan mahal yang tak terbeli oleh kemampuan finansial mereka. Bukan perlindungan yang mereka dapatkan, tetapi tudingan sebagai kambing hitam atas tindak kriminalitas, asusila yang dilakukan masyarakat. “Dan di atas segalanya. . .kasih sayang” adalah barang mewah yang sulit didapatkan.
Semakin dekat mengenal anak-anak pinggiran semakin mengetahui kehidupan anak manusia yang jauh dan kemanusiaannya. Dehumanisasi yang dikatakan Paolo Freire sebagai keadaan kurang dari manusia yang ditandai dengan hilangnya hak-hak dasar sebagai manusia utuh, menjadi nyata dalam keseharian anak-anak pinggiran. Sekaligus dehumanisasi adalah menandai hilangnya sikap dan rasa kemanusiaan dan orang-orang dewasa yang ditandai tindakan-tindakan mengingkari hak-hak anak.
Dehumamsasi adalah fakta sejarah, namun bukan fitrah sejarah. Berangkat dan pemahaman itu semua pihak berupaya menyatuutuhkan kembali kemanusiaan anak- anak yang telah terpecah. Karena itu mestinya setiap lembaga pendidikan menyadari instansinya bukan hanya sekadar rumah dalam pengertian fisik bangunan, tetapi atmosfer keluarga yang ditandai kehangatan hubungan emosional, ditandai kebutuhan untuk saling memberi dan melindungi. Sehingga anak-anak didik belajar memahami dan mendapatkan kembali hak-hak dasarnya sebagai manusia utuh dengan beragam cara dan kemungkinan yang tersedia.
Upaya untuk memanusiakan kembali anak-anak didik diajarkan model pendidikan demokratis. Pendidikan demokratis bukan sekadar memperkenalkan demokrasi sebagai pengetahuan, satuan mata pelajaran yang selesai diajarkan di sekolah lalu diujikan dengan jawaban imiltiple dioice. Pendidikan demokratis pun bukan hanya berarti memperkenalkan anak-anak pada prosedur demokrasi seperti tata cara pengambilan keputusan, pengangkatan ketua kelas berdasar pemilihan. Lebih dari sekadar itu pendidikan demokrasi adalah pendidikan pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari keterkungkungan.
Demokrasi meniadakan dehumanisasi, karena demokrasi mensyaratkan adanya penghormatan akan hak kebebasan individu di satu pihak dan pengakuan atas keunikan serta keberagaman watak individu. Dalam kaitan dengan keunikan individu, tiap anak wajib menghormati hak privacy anak lain. Tetapi untuk segala hal yang berยฌkaitan dengan akses dan proses belajar setiap anak memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Setiap anak didik memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi langsung. Secara formal ada dua media yang bisa dipakai oleh setiap anak untuk berpartisipasi. Dalam kaitan dengan peran dan tanggung jawab fungsional, anak- anak mempunyai media pertemuan bidang program. Dalam pertemuan bidang, tiap anggota bidang berhak ikut merencanakan, menjalankan, dan mengevaluasi program yang menjadi tanggung jawabnya. Berkaitan persoalan komuniter atau hal-hal lain yang lebih umum, anak-anak memiliki pertemuan pleno reguler.
Keterlibatan merupakan kata kunci untuk membuka sekat pembatas yang mungkin membedakan anak satu dengan lain. Proses belajar bukan hanya sebatas pertemuยฌan formal dalam kegiatan kelas di mana ada dua peran, guru dan murid, berhadapan. Belajar adalah tindakan untuk mengetahui dengan mengintegrasikan (sintesa) dimensi subyektif (segala yang ada pada saya) dengan dimensi obyektif (segala yang ada bersama saya).{H. Isjoni}
Leave a Reply