Mutu Pendidikan Tinggi
Menurut Chua (2004:1), model pengelolaan mutu yang diterapkan dalam dunia bisnis telah diadopsi serta diaplikasikan pada sektor pendidikan. Pengelolaan mutu dalam pendidikan dimulai pada tingkat sekolah (Koch & Fisher,1998:660). Sebagai contoh filosofi dari Total Quality Management (TQM) telah diaplikasikan pada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Amerika Serikat, dan di Negara-negara Asia seperti Malaysia (Kanji & Tambi,1999: Barnard, 1999, dalam Chua, 2004:1). Salah satu prinsip utama dalam TQM adalah kepuasan pelanggan ( Customer Satisfaction).
Dalam konsep manajemen kualitas modern. Kualitas suatu perguruan tinggi antara lain ditentukan oleh kelengkapan fasilitas atau reputasi institusional. Kualitas adalah sesuatu standar minimum yang harus dipenuhi agar mampu memuaskan pelanggan yang menggunakan output (lulusan) dari sistem pendidikan tinggi itu, serta harus terus menerus ditingkatkan sejalan dengan tuntutan pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif (Gaspersz, 2002 :4).
Spanbauer (dalam Gaspersz, 2002:5) mengemukakan bahwa manajemen perguruan tinggi harus mengadopsi paradigma baru tentang manajemen kualitas modern. Dalam Tabel 4 disajikan paradigma baru tentang manajemen kualitas modern.
Tabel 4. Paradigma Lama dan Baru Manajemen Perguruan Tinggi.
Paradigma Lama |
Paradigma Baru |
|
|
|
|
Sumber: Spanbauer (1992) (dalam Gaspersz, 2002:5)
Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan paradigma penyelenggaraan manajemen perguruan tinggi berdasarkan paradigma lama dan paradigma baru. Manajemen perguruan tinggi berdasarkan paradigma lama tidak mengacu pada kualitas, sedangkan berdasarkan paradigma baru menekankan pentingnya kualitas. Hal ini antara lain disebabkan oleh dalam paradigma lama, mahasiswa diperlakukan sebagai pelanggan (customer) yaitu orang yang harus dilayani dengan baik, sehingga perlu diberikan layanan yang bermutu.
Salah satu bentuk kualitas manajemen perguruan tinggi berdasarkan paradigma baru pada Tabel 4 adalah terdapat rencana tindak lanjut untuk penempatan lulusan dan peningkatan pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam manajemen perguruan tinggi juga harus diukur dari sisi hasil (outcome) dan dampaknya (impact).
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Noden dan Gosling (2000, dalam Chua, 2004:2) yang memandang bahwa mutu dalam suatu pendidikan tinggi dapat diukur dari tiga sudut yaitu: 1) input, 2) proses, 3) output. Berkenaan mutu dari sudut output adalah tergambar dari pendapatan yang diterima setelah bekerja, penempatan lulusan di dunia kerja, serta kinerja akademik.
Menurut Gaspersz, (2002:3) manajemen perguruan tinggi di Indonesia seyogyanya memandang bahwa proses pendidikan tinggi adalah suatu peningkatan terus-menerus (continuous educational process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan lulusan (output) yang berkualitas, pengembangan kurikulum, proses pembelajaran, dan ikut bertanggung jawab untuk memuaskan pengguna lulusan perguruan tinggi itu. Seterusnya, berdasarkan informasi sebagai umpan balik yang dikumpulkan dari pengguna lulusan (External Customer) itu dapat dikembangkan ide-ide kreatif untuk mendesain ulang kurikulum atau memperbaiki proses pendidikan tinggi yang ada saat ini. Menurut Erwin (2000) yang mempengaruhi mutu lulusan pendidikan tinggi adalah:
- Kualitas Input
Untuk Top PTN di Indonesia, screening test (PMB) dilakukan dengan cukup ketat. Disamping itu, beberapa PTN juga membuka jalur penerimaan tersendiri yang kualitasnya lebih disesuaikan lagi. Tapi ada juga perguruan tinggi yang membuka jalur penerimaan yang “ala kadarnya” semata-mata karena kekurangan mahasiswa. Hal ini tentu saja berdampak pada lulusan yang biasa-biasa saja.
- Kualitas dan Kuantitas Dosen
Ada dosen yang berkualitas yang mengajar dengan penuh motivasi dan memberi materi dengan begitu inspiring. Ada juga dosen yang hanya membacakan buku dan kurang memberikan motivasi sehingga dedikasi pada pendidikan juga minim. Perguruan tinggi memiliki kontribusi terhadap baik-buruknya kualitas dosen lewat kebijakan pengangkatan, remunerasi, dan faktor lingkungan. Gap pengajar yang begitu lebar dan dosen yang miskin pengalaman praktis kurang baik efeknya bagi mahasiswa.
- Sistem Penilaian
Walau sudah diatur oleh Dirjen Dikti, perbedaan sistem penilaian di perguruan-perguruan tinggi begitu lebar. Ada yang mensyaratkan nilai C sebagai batas kelulusan. Ada yang mensyaratkan penulisan research report. Ada juga yang bisa lulus dengan nilai yang sangat minim. Akibatnya, nilai A di sebuah perguruan tinggi “biasa” mungkin hanya setara dengan nilai C di perguruan tinggi yang “highly reputable”.
- Keberanian dan Etika
Sudah menjadi rahasia umum kalau lulusan kita sering sungkan dalam mengambil keputusan berdasar sound business practice,corporate government, regulasi yang berlaku, cost benefit analysis, project management, dan variabel lainnya. Namun ada juga yang terlalu “berani” menembus batas etika bisnis maupun etika profesi yang seharusnya menjadi pegangan. Etika mutlak diperlukan agar kemampuan yang dimiliki tidak digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan moral dan hukum.
- Kemampuan Bahasa Inggris
Di sebagian perguruan tinggi, kemampuan bahasa inggris mahasiswa/lulusannya masih perlu dipertanyakan. Beberapa memang mewajibkan skor TOEFL minimum dan memfasilitasi pendidikan/kursus inggris cuma-cuma bagi mahasiswa. Tapi respon dari mahasiswa belum terlalu baik. Padahal, kemampuan bahasa inggris mutlak diperlukan tidak hanya secara pasif, tetapi juga dalam persentasi, diskusi kelompok, penulisan laporan, dan sebagainya
- Komputer dan Internet
Kemajuan teknologi telah menghasilkan bermacam alat untuk mempermudah pekerjaan manusia. Salah satu contoh untuk dunia pendidikan adalah komputer dan internet agar informasi yang didapat lebih tepat dan akurat.
- g. Teaching Materials
Perguruan Tinggi sehaarusnya didukung oleh teaching materials yang memadai. Sayangnya, membeli buku teks dan berlangganan jurnal ilmiah membutuhkan biaya yang tinggi.
Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa mutu lulusan pendidikan tinggi di Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana pengelolaan perguruan tinggi yang dimulai dari input, proses dan output. Peranan manajemen perguruan tinggi disini sangat penting untuk selalu mengadakan perbaikan-perbaikan untuk menghasilkan lulusan yang berkompeten dibidangnya masing-masing. Hal ini tentu saja membutuhkan proses yang tidak instan dan membutuhkan waktu dan pengorbanan yang lebih untuk mencapai kualitas lulusan.