Memotong, Menerabas dan Memilih Jalan Lurus

Atas dasar anggapan yang kurang tepat itu, maka ketika STAIN Malang mengajukan perubahan kelembagaan menjadi universitas, tidak sedikit orang berkomentar bahwa perguruan tinggi Islam ini mau memotong atau melompat. Mereka berpikir bahwa perubahan kelembagaan itu harus dimulai dari bentuk sekolah tinggi, kemudian menjadi institute, dan baru setelah besar berubah lagi menjadi universitas. Ternyata orang yang mempersepsi seperti itu tidak sedikit. Oleh karena itu, saya merasa perlu menjelaskan bahwa untuk menjadi universitas tidak harus melalui tahap-tahap seperti itu. Perguruan tinggi besar yang saat ini berbentuk universitas, tidak selalu melewati tahap berbentuk institute terlebih dahulu, dan juga apalagi sekolah tinggi. Perguruan tinggi besar di Indonesia, seperti UGM, UI, Undip, UNAIR, UB dan lain-lain tatkala berdiri sudah berbentuk universitas. Dengan penjelasan dan contoh tersebut, orang kemudian baru sadar, bahwa tahap-tahap itu tidak selalu perlu dilalui. Persoalan selanjutnya adalah terkait dengan munculnya kekhawatiran akan kalah bersaing. Lembaga yang baru saja berubah bentuk, dari berstatus sebagai Fakultas Cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya menjadi STAIN Malang, dalam waktu singkat sudah mau berubah lagi menjadi universitas. Mereka membayangkan, bahwa jika berhasil menjadi universitas, maka bagaimana harus bersaing dengan universitas besar, seperti UGM, ITS. UNAIR, UB dan lain-lain. Apakah UIN Malang yang baru berdiri tidak akan kalah jauh dibanding dengan perguruan tinggi besar tersebut. Atas munculnya kekhawatiran itu saya juga selalu menjelaskan, bahwa agar tidak kalah, maka tidak perlu bersaing dengan siapa-siapa. Sekedar untuk mengurangi kekhawatiran dan kegelisahan tersebut, saya selalu menegaskan bahwa Universitas Islam Negeri Malang nanti akan memposisikan diri sebagai universitas kecil dan mungkin pada fase-fase awal juga tidak mengapa, disebut sebagai universitas yang kurang bermutu. Penjelaskan panjang lebar, terkait dengan pengembangan kampus harus selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan. Banyak orang yang harus diyakinkan bahwa universitas-universitas besar di tanah air ini, pada fase awal kelahirannya juga berbentuk kecil dan mungkin juga tidak bermutu. Perguruan tinggi besar seperti yang berulangkali saya sebutkan di muka, pada masa awal berdirinya juga belum memiliki kampus yang besar seperti sekarang. Mereka memiliki kampus yang besar setelah melewati usianya yang panjang. Kampus-kampus besar itu pada awal berdirinya juga tidak memiliki dosen tetap yang cukup, apalagi dosen yang berlatar belakang pendidikan Doktor dan bergelar profesor. Dulu kita mengenal beberapa universitas memiliki dosen terbang. Apa yang disebut sebagai dosen terbang ketika itu adalah dosen yang dipinjam dari perguruan tinggi dari kota lain yang jauh jaraknya. Perguruan tinggi yang masih muda, misalnya di Surabaya atau Malang, karena keterbatasan dosen yang dimiliki mendatangkan dosen dari UI, UGM, ITB, atau bahkan dari luar negeri. Para dosen pinjaman itu, karena harus datang dengan pesawat terbang, maka kemudian disebut sebagai dosen terbang. Sekarang ini istilah itu sudah tidak pernah terdengar lagi, karena masing-masing perguruan tinggi sudah mampu menyediakan dosen tetap. Strategi memotong dan menerabas tidak saja saya gunakan ketika mengubah status kelembagaan, ——dari bentuk sekolah tinggi menjadi universitas, tetapi juga dalam pemenuhan fasilitas pendidikan lainnya. Di tengah suasana bersemangat mengembangkan STAIN Malang, saya pernah mendapatkan pandangan yang saya anggap menarik dari Dr. Fasli Jalal, Kepala Biro Pendidikan dan Agama Bapenas, —–sekarang menjadi Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Ia mengatakan bahwa, hidup ini harus selalu mengikuti zaman. Jika tidak menyesuaikan dengan zaman, maka kita akan ditinggal oleh zaman. Sementara ini, kita sedang memasuki zaman perebutan. Oleh karena itu, jika ingin maju kita juga harus berebut. Manakala kita tidak mau berebut, maka resikonya, jangankan akan kebagian, sementara yang kita miliki saja akan direbut orang. Pandangan ini, saya anggap sangat menarik dan memang benar. Oleh karena itu, prinsip ini benar-benar saya jadikan pedoman dalam pengembangan STAIN Malang yang sedang saya pimpin. Lebih lanjut Dr.Fasli Jalal juga mengatakan bahwa berjuang di dunia pendidikan harus all out. Perjuangan di dunia pendidikan pada hakekatnya adalah memperjuangkan generasi mendatang dan lebih-lebih akan diperuntukkan bagi kepentingan semua. Ketika itu STAIN Malang hanya memiliki dosen tetap yang jumlahnya sangat sedikit. Jika tidak segera dicarikan tambahan, maka tidak akan bisa berkembang, apalagi beberapa di antara mereka sudah menjelang masuk usia pensiun. Sedangkan jatah penambahan dosen tetap dari pemerintah, pada masing-masing PTAIN setiap tahunnya selalu amat terbatas. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan itu, saya pernah langsung menghadap dan meminta Menteri Agama, agar memberikan kebijakan khusus, menambah dosen tetap STAIN Malang. Ternyata usaha itu berhasil. Dalam satu tahun angkatan, STAIN Malang diberi tambahan dosen tetap oleh Menteri Agama sejumlah 53 orang. Jumlah ini ketika itu dianggap sangat besar. Sebab, tidak sedikit Sekolah Tinggi di lingkungan Departemen Agama, yang sudah sekian lama hanya memiliki dosen tetap kurang dari 30 orang. Penambahan dosen tetap setiap tahun, biasanya hanya antara 4 sampai 5 orang, dan bahkan kadang juga tidak menambah. Cara aneh lainnya yang saya tempuh adalah dalam menambah fasilitas pendidikan. Sekalipun STAIN Malang berada di bawah pengelolaan Departemen Agama, saya pernah mengajukan permohonan bantuan pembangunan gedung ke Departemen Pendidikan Nasional. Usulan itu ternyata dikabulkan. Ketika itu diberi bantuan bangunan gedung dua lantai sejumlah 20 ruang kuliah. Terobosan lainnya lagi, sejak awal berstatus menjadi STAIN Malang, segera saya buka program Pascasarjana (S2). Atas kebijakan itu banyak orang kaget, sebatas Sekolah Tinggi sudah berani membuka program Pascasarjana. Masih banyak lagi langkah-langah strategi memotong dan menerabas yang saya lakukan untuk mengembangkan STAIN Malang. Saya selalu berpikir bahwa agar berhasil meraih perkembangan yang cepat, maka tidak akan mungkin ditempuh dengan cara pelan, mengikuti tata tertib dan aturan yang ada. Saya berpandangan bahwa, peraturan dan juga pedoman memang penting, tetapi hal itu akan membikin langkah-langkah yang ditempuh menjadi lamban. Saya selalu berpikir, bahwa jika saya harus mengikuti pedoman, maka berapa lama waktu yang harus saya tempuh untuk sekedar mejajukan sekolah tinggi ini. Peraturan atau pedoman selalu saya anggap perlu, sebagaimana orang buta memerlukan tongkat agar tidak tersesat. Akan tetapi saya selalu berpikir, bahwa tongkat itu hanya cocok bagi orang buta, atau setidak-tidaknya bagi orang tua yang sudah udzur. Sedangkan saya merasa masih sehat, sehingga belum sedemikian perlu dipandu oleh pedoman atau petunjuk teknis, sebagaimana orang buta atau orang yang sudah udzur selalu harus membawa tongkat. Memang strategi yang saya gunakan untuk mengembangkan kampus menjadikan tidak sedikit orang khawatir dan bahkan galau. Apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa bergerak dengan pedoman dan peraturan yang jelas. Saya selalu mengumpamakan bahwa untuk mengembangkan sekolah tinggi yang kecil agar cepat maju dan besar, maka yang tepat menggunakan strategi perang. Dalam suasana perang, maka harus berani menyerang dan mengghadapi resiko apapun. Dalam suasana perang, maka jangan terlalu mengikuti tata tertib. Sekalipun tata tertib itu perlu, jika terlalu digunakan dalam suasana perang bisa jadi akan menderita kekalahan. Perang tidak pernah menggunakan tata tertib, melainkan strategi perang. Saya membayangkan, jika para pahlawan bangsa ini tatkala merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dulu, selalu berpedoman tata tertib, maka akan kalah. Mereka itu mendapatkan kemenangan, karena menggunakan deplomasi, serangan gerilnya dan sejenisnya. Begitu pula strategi yang saya gunakan untuk memimpin pengembangan STAIN Malang —–sekalipun tidak persis, kadang kala saya menggunakan strategi perang itu. Usaha-usaha dengan strategi mememotong, menarabas itu, ternyata membawa hasil. STAIN Malang dalam waktu kurang lebih enam tahun ——1998 sampai 2004, berubah menjadi bentuk universitas. Saat ini, berbagai fasilitas dan daya dukung pendidikan seperti bangunan kampus, perpustakaan, masjid, laboratorium, perkantorran, ruang kuliah, asrama mahasiswa dan bahkan juga fasilitas lainnya sedikit banyak telah terpenuhi. Demikian juga kebutuhan dosen tetap dan tenaga administrasi, dalam batas-batas tertentu pula telah tercukupi. Saat ini UIN Malang telah memiliki 283 dosen tetap, 38 di antaranya telah bergelar Doktor (S3), 7 orang bergelar professor dan sekitar 100 orang sedang menyelesaikan disertasi. Jika perkembangan ini berlanjut, insya Allah UIN Malang menjadi perguruan tinggi Islam, —–mengikuti istilah Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, masuk PTAIN papan atas. Atas perkembangan itu semua, sampai-sampai Presiden Republik Indonesia, Dr. Susilo Bambang Yudhoyono berkenan hadir di kampus ini, dan menganugerahi kampus Islam ini dengan nama UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Memasuki fase pengembangan akademik seperti saat ini, saya anggap strategi menerabas dan memotong sudah saya anggap cukup. Sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim sedang memasuki fase pengembangan akademik yang sebenarnya. Pada fase pengembangan akademik ini, karena harus sudah menyentuk aspek yang lebih substantive yakni pengembangan keilmuan, maka tidak semestinya menggunakan strategi sebagaimana pada fase awal, yakni menerabas dan memotong. Strategi itu harus ditinggalkan, dan menggantinya dengan menempuh jalan lurus. Saat ini para dosen dan juga mahasiswa dipacu untuk banyak melakukan aktivitas akademik, seperti menulis buku, melakukan penelitian dan kegiatan akademik lainnya. Kegiatan seperti ini hanya bisa dilakukan jika status kelembagaan sudah normal, fasilitas sudah tersedia, dan iklim akademik sudah mulai berkembang. Hal-hal itu, sedikit banyak saat ini sudah tercukupi, maka sebagaimana yang saya sebut dalam judul tulisan ini, maka UIN Maulana Malik Ibrahim, untuk meraih prestasi yang sesungguhnya, harus memposisikan diri di jalan yang lurus, yakni menjadikan dirinya sebagai lembaga ilmiah dan Islami dengan berbagai kharakteristiknya yang harus disandang, dan sekaligus lembaga ini juga diharapkan berfungsi sebagai tempat persemaian generasi unggul di masa depan. Allahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share