Bendera Setengah Tiyang

Hari  Kamis, tanggal 30 September 2010, di setiap rumah dipasang bendera setengah tiyang. Pemasangan  bendera dengan cara itu, biasanya  memiliki makna yang mendalam, terkait dengan duka. Mereka yang meninggal dan diperingati itu adalah sebagai pahlawan, orang yang berjasa bagi negara dan bangsa.

  Saya  sengaja membuat tulisan singkat ini, dengan alasan  bahwa betapa pentingnya pada saat sekarang ini,  bagsa Indonesia memperingati peristiwa seperti itu.  Peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 yang lalu, mengingatkan kita semua tentang pengorbanan para pemimpin bangsa luar biasa besarnya sehingga tidak boleh dilupakan sedikitpun.     Di tengah-tengah masyarakat yang semakin jauh dari nilai-nilai perjuangan, maka peringatan seperti itu menjadi amat penting. Pada saat ini orang yang mau berjuang untuk orang lain, untuk bangsa, dan negara, terasa semakin menipis. Yang terjadi dan berkembang  adalah suasana transaksional, atau semacam jual beli. Apapun ditransaksikan atau dijual belikan. Untuk menjadi pejabat, semisal bupati, wali kota, gubernur dan juga anggota legislative tidak  gratis, atau tanpa bermodalkan uang.   Iklim transaksional seperti itu menjadikan nilai-nilai perjuangan  semakin hilang. Sementara dalam sejarah bangsa ini, hingga berhasil menjadi merdeka dan mempertahankannya, selalu bermodalkan perjuangan dan sekaligus pengorbanan. Andaikan model transaksi seperti sekarang ini yang terjadi, maka tidak akan mungkin kemerdekaan diperoleh dan juga dipertahankan.   Pemasangan bendera setengah tiyang, adalah   untuk menghormati jasa  para pahlawan dan sekaligus pemimpin bangsa yang luar biasa besarnya. Peristiwa itu  sebagai korban dari  gerakan pemberontakan pada 30 September 1965 yang dilakukan oleh PKI. Mereka membunuh beberapa jendral dan kemudian mayatnya dimasukkan ke sumur, yang tempat itu dikenal dengan lubang Buaya. Akibat peristiwa itu kemudian PKI dibubarkan, dan sejak itulah  muncul pemerintahan Orde Baru.   Kejadian itu sangat tragis dan mengerikan.  Untung  gerakan PKI itu gagal, tetapi terlanjur memakan korban yang tidak ternilai harganya. Para pahlawan dan pemimpin bangsa  tersebut dibunuh dengan cara yang amat keji. Sehingga, untuk mengenang peristiwa  terbunuhnya para pahlawan bangsa itulah kemudian diperingati, di antaranya dengan memasang bendera setengah tiyang itu.   Peristiwa itu, mestinya mengingatkan kita semua, bahwa untuk meraih cita-cita  besar, selalu ditempuh atau dilewati dengan perjuangan dan sekaligus pengorbanan. Berjuang dan berkorban adalah dua kata kunci untuk meraih tujuan besar, di mana dan kapanpun.  Berjuang tidak pernah ada transaksi antar berbagai pihak. Berjuang selalu diikuti oleh pengorbanan.   Namun akhir-akhir ini yang terlihat dan terasakan, adalah  bahwa suasana berjuang dan berkorban semakin hilang di tengah masyarakat. Yang terjadi adalah transaksi. Bahkan sekalipun mengaku berjuang,  dengan cara berdemo misalnya,  ternyata juga diwarnai oleh transaksi-transaksi. Bahkan  orang mau  menjadi pejabat,——- apakah bupati, wali kota, gubernur, anggota legislative, atau apa saja, harus melalui transaksi-transaksi yang sebenarnya sangat memprihatinkan.   Budaya transaksional   selalu dekat dengan budaya korup.  Anehnya,  orang tidak menyukai tindak kejahatan korupsi, akan tetapi kebiasaan bertransaksi dilakukan sehari-hari.  Padahal jika di suatu tempat terdapat berjalan budaya transaksional —–apalagi transaksi politik, maka  di tempat itu pula akan muncul pula budaya korupsi, karena keduanya memang bersaudara. Selain itu, jika transaksional dan korupsi sudah berkembang dan berkelindan, maka semangat berjuang dan berkorban akan mati atau hilang dengan sendirinya.   Kunci keberhasilan  dalam memajukan dan membangun bangsa dan negara adalah adanya jiwa perjuangan dan pengorbanan. Maka semestinya yang harus dibangun pada saat ini di semua level masyarakat adalah semangat berjuang dan sekaligus itu. Oleh karena itu tatkala sedang memasang bendera  setengah tiyang untuk memperingati gugurnya para pahlawan,  —–seperti sekarang ini, semestinya bukan sebatas dimaknai sebagai kegitan ritual, tetapi harus menjadi  bagian penyadaran terhadap seluruh warga bangsa ini atas betapa pentingnya jiwa berjuang dan berkorban seharusnya selalu dikobarkan bersama, jika bangsa ini mau  maju terus,  dan tidak ingin terperosok ke lembah kehancurannya. Wallahu a’lam.          

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share