Masyarakat Jahiliyah

Seorang santri kecil yang belajar di tempat mengaji di rumah saya, menanyakan tentang apa yang disebut sebagai masyarakat jahiliyah. Setiap sore, puluhan anak-anak usia sekolah dasar, belajar mengaji di ruangan samping masjid di lingkungan rumah saya.  Sekalipun saya tidak ikut mengajar, rupanya anak-anak tersebut merasa dekat dengan saya. Biasanya, pada jam istirahat, dan saya sedang  di luar rumah, mereka mendekat saya, hanya sekedar ingin bersalaman secara bergantian.

 Tidak sebagaimana biasa, di emperan masjid,  setelah mereka bersalaman seorang anak menanyakan tentang apa sebenarnya yang disebut sebagai zaman jahiliyah. Mungkin saja, sebelumnya, guru mengaji menerangkan kepada mereka tentang sejarah Islam dan menceritakan tentang itu, namun mungkin penjelasan yang diterima  belum dipahami secara tuntas. Sebelum saya mencoba menjelaskan, saya menanyakan dulu kepada mereka apa yang selama ini dimengerti oleh mereka tentang zaman jahiliyah itu. Ternyata di antara mereka ada yang berhasil menjelaskan, bahwa zaman jahiliyah  artinya zaman kebodohan, yaitu zaman yang dialami oleh penduduk Makkah sebelum Muhammad saw., diutus sebagai rasul.  Jawaban itu saya katakan benar, tetapi rupanya anak-anak  tersebut belum semua paham yang dimaksud dengan pengertian jahiliyah atau kebodohan itu.  Pertanyaan yang diajukan oleh  mereka, mengapa pada saat itu disebut sebagai zaman kebodohan, sementara sudah ada  pedagang kaya, semisal Siti Chadijah yang berdagang hingga ke negara tetangga. Bukankah keliru disebut bodoh, sementara mereka telah berdagang dalam ukuran besar.  Ternyata anak-anak sekarang sudah semakin kritis. Dulu ketika saya mengaji, sebagaimana anak-anak itu belajar di madrasah sore, ketika ustadz menjelaskan zaman kebodohan, maka saya dan juga teman-teman tidak pernah berani bersikap kritis seperti itu. Saya membayangkan sendiri bahwa  zaman jahiliyah adalah zaman kebodohan. Mereka buta huruf, tidak mau sekolah,  dan akhirnya menjadi bodoh dan miskin. Atas pertanyaan tersebut,  saya berusaha menjelaskan  untuk memenuhi semangat  ingin tahu mereka. Bahwa pada  zaman itu,  bukan berarti semua orang bodoh dalam pengertian tidak mengerti baca tulis dan miskin semua. Bukan begitu pengertiannya. Saya menjelaskan bahwa pada zaman itu, sebagian kelompok masyarakat secara ekonomis tercukupi, bahkan sudah  kaya. Di antara mereka menguasai sumber-sumber ekonomi dan secara politik memiliki pengaruh yang  kuat.      Akan tetapi warga masyarakat yang berhasil secara ekonomi itu jumlahnya hanya terbatas. Mereka itu adalah para pemuka suku atau disebut kabilah-kabilah. Mereka menguasai sumber-sumber ekonomi, terutama di bidang perdagangan. Lagi pula,  mereka yang kaya itu juga secara politik sangat berkuasa. Suku-suku dan atau kabilah itu jumlahnya banyak, dan di antara mereka saling berkompetisi, berebut dan bahkan berperang. Siapa yang kuat, merekalah yang menang.  Pada saat itu, konflik dan bahkan  perang antar suku adalah hal biasa terjadi. Sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh sedikit orang. Sementara dalam jumlah besar penduduknya miskin. Struktur masyarakat jahiliyah berlapis-lapis didasarkan atas darah keturunan dan kekayaannya itu. Mereka yang tergolong rakyat biasa dan apalagi miskin dan lemah tidak ditolong, melainkan justru ditindas dan dijadikan budak.    Masyarakat jahiliyah dikenal sebagai masyarakat yang terbiasa dengan jual beli orang yang disebut dengan istilah budak. Bahkan dalam sejarah diterangkan, di zaman  itu  terdapat pasar budak. Budak-budak yang sudah dianggap tidak diperlukan maka dijual ke pasar budak. Kiranya bisa dibayangkan,  betapa buruknya keadaan masyarakat tersebut, manusia dijual belikan.  Orang lemah dan miskin bukannya ditolong, melainkan justru ditindas dan diperlakukan sebagaimana binatang. Demikian pula perempuan dan anak yatim tidak dilindungi. Harkat dan martabat seseorang, dihargai oleh karena keturunan, kekayaan,  dan kekuasaannya. Itulah sebagian gambaran masyarakat hingga disebut, ——ketika itu,  sebagai zaman  jahiliyah. Selain itu, keadilan tidak pernah terjadi.  Siapa yang kuat dan memiliki akses, maka merekalah yang beruntung.  Menjelaskan tentang sesuatu hal, sekalipun kepada anak-anak dalam suasana bebas seperti itu, ternyata tidak mudah. Di antara mereka  dengan berani dan  kritis juga mempertanyakan lebih lanjut tentang keadaan di negeri kita ini.  Mereka, menurut pengakuannya,  pernah mendengar,  ——saya tidak menanyakan  sumbernya,  bahwa di negeri ini, sumber-sumber ekonomi pun juga sudah diperebutkan dan  dikuasai oleh sebagian kecil orang.  Selain hal tersebut  juga terdapat kelompok-kelompok yang sehari-hari kerjanya hanya berebut kekuasaan. Kebohongan dan manipulasi dianggap hal biasa. Perampasan hak atas orang lain dianggap hal biasa. Mereka juga mendengar bahwa banyak tenaga kerja, termasuk perempuan dan anak di bawah umur dijual dan juga disiksa.  Pertanyaan mereka rupanya mengarah pada kesimpulan, yaitu apakah negeri ini, dengan kriteria seperti tersebut,  juga akan  bisa disebut sebagai  zaman jahiliyah. Sebelum pertanyaan itu saya jawab, ternyata  muadzin di masjid itu sudah memulai mengumandangkan adzan maghrib, sehingga diskusi sederhana dengan anak-anak madrasah diniyah itu terpaksa berhenti. Sampai di situ, saya tidak tahu apa yang terbayang oleh mereka. Mudah-mudahan mereka tidak menyebut negeri ini sebagai sudah masuk zaman jahiliyah. Wallahu a’lam.   

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share