Evaluasi Pendidikan, Tingkat Penguasaan Kompetensi dan Tingkat Kesukaran Alat Pengukur
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2003:9 dan 2005:4) memuat tentang evaluasi pendidikan yaitu berupa kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Dari pengertian di atas, salah satu bentuk dari evaluasi pendidikan adalah penetapan mutu pendidikan. Berkenaan dengan mutu pendidikan ini, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2005) dalam Bab II Pasal 2 ayat 3 mengemukakan bahwa untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi akreditasi dan sertifikasi.
Dalam hubungannya dengan evaluasi akreditasi dijelaskan adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003:9). Hal ini menunjukkan bahwa akreditasi dari suatu program pendidikan merupakan salah satu bentuk dari evaluasi pendidikan secara eksternal.
Selanjutnya, mutu pendidikan suatu program tentu tidak hanya cukup ditentukan oleh evaluasi eksternal oleh BAN PT, tetapi setiap program perlu pula melakukan evaluasi secara internal melalui evaluasi diri (self evaluation). Ekroman (2007) mengemukakan bahwa langkah penyempurnaan mekanisme jaminan (Quality Assurance) di Perguruan Tinggi selanjutnya dapat ditempuh dengan mengidentifikasi management map. Dengan demikian dapat dikenali bidang yang masih perlu penyempurnaan sehingga dapat mutu yang tinggi.
Sistem pendidikan berdasarkan kompetensi sangat menekankan pentingnya penguasaan kompetensi terutama penguasaan kompetensi yang benar-benar dapat menunjang pengembangan dan keberhasilan belajar mahasiswa dan kariernya kelak.
Agar tingkat penguasaan kompetensi oleh mahasiswa benar-benar terukur dengan baik, maka selain alat pengukur yang dipergunakan harus mempunyai tingkat kesahihan dan keterandalan yang tinggi, tingkat kesukaran, alat itupun perlu diperhatikan dengan seksama.
Dalam PAP, penetapan tingkat penguasaan kompetensi perlu secara langsung dihubungkan dengan tingkat kesukaran alat pengukur (misalnya ujian) yang dipakai. Pada dasarnya PAP menghendaki sebagian besar mahasiswa dapat mecapai penguasaan kompetensi minimum seperti telah ditetapkan. Namun, kehendak itu hanyalah akan dapat dipenuhi jika ujian yang dipakai memiliki tingkat kesukaran yang “rata-rata”. Jika ujian yang dipakai itu terlalu sukar, hasil yang akan diperoleh justru akan sebaliknya dari yang dikehendaki, yaitu sebagian mahasiswa tidak berhasil mencapai “batas lulus” yang ditetapkan. Sebaliknya jika ujian yang dipakai terlalu mudah, maka sebenarnya “batas lulus” itu kurang mempunyai arti sebagai batas pemisah antara mahasiswa yang telah menguasai dan yang belum menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Dalam hal ini PAP, benar-benar menuntut kesanggupan dosen untuk menyusun alat-alat pengukur yang benar-benar memadai guna mencapai tujuan PAP itu. Keserasian antara “batas lulus” dan tingkat kesukaran ujian yang dipakai akan secara langsung mempengaruhi kelayakan program.
