Doktrin-Doktrin Pokok Akidah Islam

Kompetensi Dasar: Memahami kebutuhan dan fitrah manusia untuk beriman kepada Allah SWT, meyakini konsepsi Islam tentang tauhid dan syirik, serta mampu mengidentifikasi karakteristik akidah Islam sekaligus membedakannya

dari doktrin teologis agama-agama samawi lainnya.

Indikator: 1. Mendeskripsikan kebutuhan dan fitrah manusia untuk beriman

kepada Allah SWT; 2. Memahami tauhid sebagai esensi ajaran Islam, mengimani konsep

keesaan Allah, serta menghindari hal-hal yang merusak keimanan

kepada-Nya; 3. Mampu mengidentifikasi keunggulan dan kekhasan akidah Islam; 4. Dapat membedakan antara akidah Islam dan doktrin-doktrin

teologis agama samawi lainnya.

Tauhid adalah intisari Islam yang merupakan pesan semua nabi sejak Adam AS sampai Muhammad SAW. Islam adalah agama terakhir karena Islam dalam bentuk khasnya dibawa oleh nabi terakhir yang merupakan “Penutup Nabi-Nabi” (Khatam al-Nabi yyin), yaitu Muhammad SAW. Dilihat dari aspek pesan univer salnya, Islam adalah agama tertua, dan dilihat dari manifestasi historisnya, Islam adalah agama terakhir (Allouche, 1987:363-367).

Sebagai agama terakhir, Islam datang bukan untuk membawa tradisi baru, tetapi untuk menegaskan kembali pesan tauhid yang telah didakwahkan para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Terkait dengan doktrin tauhid ini, al-Qur’an dan hadis Nabi menerangkan sebagai berikut:

وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum Kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwa tiada Tuhan selain Aku” (Q.S. al-Anbiya’:25).

الأنبياء إخوة من علاټ وأمهاتهم شئی وډيئهم واحد

“Para nabi itu saudara seayah, tetapi berlainan ibu. Prinsip keimanan (tauhid) nya itu satu, (namun syariatnya berbeda-beda)” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

A. Eksistensi Tuhan Dan Fitrah Manusia Untuk Beragama

Sepanjang sejarahnya, manusia telah menunjukkan rasa ketundukan dan kepasrahan pada sesuatu yang di luar jangkauan nya. Aktualisasi ketundukan itu terlihat di dalam berbagai macam ritus, yang berbeda-beda menurut tingkat perkembangan intelektual dan kultural seseorang atau masyarakat. A.J. Heschel menyatakan bahwa memahami eksistensi Tuhan merupakan pencarian rumit yang tidak pernah final. Terlepas dari semua itu, fenomena di atas menjelaskan perihal fitrah manusia untuk beragama (Sunarso,

2009:3).

Fitrah beragama, atau yang dipopulerkan oleh ahli syaraf California University, V.S. Ramachandra sebagai God-Spot, meru pakan suara Tuhan yang terekam di dalam jiwa manusia. Menurut Ibn Taimiyah, fitrah beragama disebut sebagai Fitrah Munazzalah (fitrah yang diturunkan) yang berfungsi menguatkan Fitrah Majbulah yang sudah ada di dalam diri manusia secara alamiah (Sunarso, 2009:2-3). Oleh karena itu, seruan untuk beragama selalu dikaitkan dengan fitrah penciptaan manusia seperti dapat dicermati dalam Q.S. Luqman:30 berikut ini:

ذلك بأن الله هو الحق وأ ما يدعون من دونه الباطل وأن الله هو العلي الكبير

“Demikianlah, sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itu batil. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha besar.”

Pengertian ini menunjukkan bahwa agama merupakan meru pakan kelanjutan dari nature manusia sendiri, yang merupakan wujud nyata dari kecenderungan alamiahnya untuk mencari kebaikan dan kebenaran (hanif). Dengan demikian, nilai agama dengan nilai kemanusiaan, atau sebaliknya, tidak mungkin bertentangan. Pada gilirannya, penghayatan terhadap nilai ketuhanan yang sempurna akan menghasilkan penghayatan terhadap nilai kemanu-siaan (Madjid, 1997).

Lebih jauh, kehidupan manusia di muka bumi ini selalu dihadapkan pada beragam persoalan. Dengan potensi lahiriah dar batiniahnya, manusia senantiasa berupaya untuk mengatasinya,

meski ia seringkali dibenturkan pada realitas keterbatasan. Keter batasan dan ketidakpuasan manusia inilah yang pada akhirnya melahirkan tuntutan dan kebutuhan terhadap kekuatan metafisika di luar dirinya. Ia lantas melakukan aktivitas mencari, membanding, dan menyimpulkan kekuatan-kekuatan yang mengitarinya, yang diasumsikannya sebagai “Tuhan”, yang diharapkan dapat memu dahkan dan meringankan problem hidupnya. Contoh paling jelas untuk kasus pencarian Tuhan yang secara fitrah memang dibutuhkan oleh manusia adalah pengembaraan teologis Nabi Ibrahim AS.

Nabi Ibrahim AS terlahir di Ur Kaldea, di bagian barat daya Mesopotamia (sekarang wilayah Irak dan Syria antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat) pada abad ke-19 Sebelum Masehi (SM). Pada waktu itu, masyarakat Kaldea telah memiliki kepercayaan, ritus, dan mitos yang diwariskan secara turun-temurun. Untuk menghormati tuhan-tuhannya, orang Kaldea membuat patung-patung untuk disembah. Penyembahan berhala (paganisme, atau watsaniyyah dalam bahasa Arab) telah mapan ketika Ibrahim AS masih muda belia.

Dengan berpikir secara kritis, Nabi Ibrahim AS berpendapat bahwa berhala-berhala sesembahan kaumnya itu adalah benda mati yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan bahaya bagi dirinya, terlebih bagi orang lain. Nabi Ibrahim AS begitu risau dan gelisah dengan tradisi asosianistik dan politeistik dari kaumnya itu, meski ia sendiri belum mengetahui jawaban dari problem sosial keagamaan tersebut. Di saat berada dalam fase skeptis inilah, ia berusaha mencari Tuhan melalui fenomena alam yang terbentang di hadapannya: bintang, bulan, dan matahari, seperti dikisahkan dalam

Q.S. al-An’am:76-78.

Ketika upaya-upaya penemuan Tuhan secara empiris, logis, dan kritis (baca: lahiriah) yang dilakukan belum berhasil, Nabi Ibrahim AS lantas berjuang untuk menemukan-Nya secara intuitif (batiniah). Ia kemudian berpasrah diri kepada Tuhan dengan menyatakan:

حنيفا وما أنا من المشركين

إلى وجهت وجهي للذي فطر السماوات والأرض

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama-agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan” (Q.S. al-An’am:79).

Mungkin muncul pertanyaan: bagaimana Nabi Ibrahim AS berpasrah diri kepada Tuhan, padahal ia belum berhasil mengi dentifikasi, siapa sesungguhnya Tuhan alam semesta ini? Manusia,

meski dilahirkan dari pasangan suami-isteri ateis dan dibesarkan di lingkungan masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, lahir di muka bumi dengan membawa fitrah kesucian dan keimanan. Pasalnya, setiap insan saat masih di alam arwah (preconception) telah memberikan kesaksian primordial di hadapan Allah SWT untuk selalu mentauhidkan dan memahaesakan-Nya.

هم وأشهدهم على أنفسهم ألش

وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم

بگم قالوا بلى شهدا

“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi” (Q.S. al-A’raf:172).

Penegasan fitrah manusia yang sedari awal dikonsepsi oleh Allah SWT untuk menjadi individu-individu yang beriman dan bertauhid juga disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis berikut:

گل مولود يولد على الفطرة ، فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو ي ستاه

310

“Setiap bayi itu dilahirkan dalam keadaan kesucian. Kedua orang tua itulah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. al-Bukhari).

Kembali kepada hakikat Tuhan yang dicari oleh Nabi Ibrahim AS, al-Qur’an secara tegas menjelaskannya dalam Q.S. al-Ikhlas:1-4. Ketika orang-orang kafir Quraisy bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Muhammad, terangkanlah kepada kami tentang Tuhanmu! Siapakah Dia? Apakah dari emas, perak, berlian atau permata!” Allah SWT menjawab:

لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد

قل هو الله أحد, الله الصمد

“Katakanlah bahwa Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” (Q.S. al Ikhlas:1-4).

B. Tauhid, Esensi Dari Ajaran Islam

Tauhid diambil dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan, yang berarti: “mengesakan”. Satu asal kata dengan kata wahid yang berarti “satu”, atau kata ahad yang berarti “esa”.

Dalam ajaran Islam, tauhid berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat tauhid adalah la ilaha illa Allah, yang berarti “tiada Tuhan selain Allah”, seperti dinyatakan dalam Q.S. al-Baqarah:163 berikut:

وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم

“Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Tauhid merupakan inti dari seluruh tata nilai dan norma Islam. Karenanya, Islam dikenal sebagai agama tauhid, yakni agama yang mengesakan Allah. Bahkan gerakan-gerakan pemurnian Islam dikenal dengan nama gerakan muwahhidin.

Dalam perkembangannya, tauhid telah menjelma menjadi salah satu cabang ilmu dalam Islam. Ilmu Tauhid merupakan disiplin ilmu yang mengkaji dan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan keimanan, terutama yang menyangkut keesaan Allah.

Begitu pentingnya doktrin tauhid ini, Nabi Muhammad SAW selalu menyampaikan dan menekankannya kepada semua orang, suku dan bangsa tanpa terkecuali. Lebih jauh, posisi strategis doktrin tauhid dalam ajaran Islam dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dakwah Rasulullah SAW pada periode Makkah dititik-beratkan pada usaha pembinaan tauhid, khususnya bagi mereka yang baru memeluk agama Islam. Kedua, dalam ibadah mahdhah (ritual khusus), doktrin tauhid tercermin dalam pelaksanaannya yang hanya ditujukan secara langsung kepada Allah SWT tanpa perantara (wasilah). Berbeda halnya dengan ibadah ghair mahdhah (ritual umum), masih ada ruang bagi keragaman cara dan teknis beribadah sejauh hanya mengarahkan peribadatannya itu kepada Allah SWT semata.

Setiap perbuatan yang bertentangan dengan visi dan esensi tauhid divonis sebagai syirik. Syirik ialah menyekutukan Allah SWT dengan melakukan perbuatan yang seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya. Seperti menjadikan Tuhan selain Allah; menyembah, menaati, meminta pertolongan kepada selain Allah; atau melakukan perbuatan lain yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah.

Itulah yang dinamakan syirik akbar (syirik besar), yang mengakibatkan amal kebaikannya tidak diterima dan sia-sia. Karena syarat utama agar amal itu dinilai dan diterima ialah kemurnian peruntukannya hanya bagi Allah SWT.

فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا

“Siapa yang mengharap berjumpa dengan Tuhannya, hendaklah ia menger jakan amal saleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dalam peribadatan” (Q.S. al-Kahfi:110).

Tidak kalah berbahaya adalah syirik asghar (kecil). Pelakunya terancam meninggal dalam keadaan kufur, jika Allah tidak mengampuninya dan selama ia tidak bertaubat kepada-Nya. Berikut, beberapa perilaku yang masuk katagori syirik asghar: 1. Bersumpah atas nama selain Allah

Di antara syirik asghar adalah bersumpah dengan selain Allah, seperti bersumpah atas nama nabi, Ka’bah, wali, tanah air, nenek moyang, atau makhluk Allah lainnya. Semua itu termasuk syirik. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda:

من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك

“Barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau musyrik” (H.R. al-Turmudzi).

Bersumpah adalah pengagungan sesuatu yang atas namanya seseorang bersumpah. Padahal yang harus diagungkan dan disucikan hanya Allah SWT. Oleh sebab itu, Islam melarang bersumpah dengan selain nama-Nya.

لا تحلفوا بآبائكم

“Janganlah kau bersumpah atas nama bapak-bapakmu!” (H.R. Ibn Majah). 2. Berkorban untuk selain Allah

Mempersembahkan kurban atau menyembelih hewan bukan karena Allah SWT adalah termasuk perbuatan syirik. Telah menjadi kebiasaan kaum musyrikin disetiap bangsa melakukan penyem belihan kurban sebagai sarana pendekatan diri kepada tuhan-tuhan dan berhala-berhala mereka. Semua perbuatan seperti itu diharam kan oleh Islam, sebagaimana firman Allah SWT berikut:

وما أهل لغير الله به

“Yang disembelih atas nama selain Allah” (Q.S. al-Maidah:3).

Oleh sebab itu, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menjadikan shalat dan ibadah hanya karena Allah.

w

فصل لك وانز

“Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (Q.S. al-Kautsar:2).

3. Sihir

Sihir ialah semacam cara penipuan dan pengelabuan yang dilakukan dengan cara memantera, menjampi, dan lainnya. Perbuatan ini termasuk syirik yang dilarang Islam. Karena di dalamnya terkandung makna meminta pertolongan kepada selain Allah, yakni jin dan setan. Dalam sebuah hadis dinyatakan:

من عقد عقده ثم نفث فيها فقد سكر ومن سكر فقد أشرك

“Siapa yang membuat simpul, kemudian ia meniupnya, maka sungguh ia telah menyihir. Siapa yang menyihir, sungguh ia telah berbuat syirik” (H.R. al-Nasa’i).

Perbuatan sihir adalah haram. Orang yang mempercayai sihir, dan datang ke tukang sihir untuk melakukan penyihiran, ia turut berdosa bersama si tukang sihir. Rasul SAW menandaskan:

ثلاثة لا يدخلون الجنة : مذمث الخمر وقاطع الرحم وتصدق بالخبر

“Ada tiga kelompok manusia yang tidak akan masuk sorga, yaitu peminum khamar (minuman keras), orang yang mempercayai tukang sihir, dan pemutus silaturahmi” (H.R. Ibn Hibban dalam Sahih-nya)

4. Ramalan

Salah satu bentuk sihir adalah ramalan. Yang dimaksud dengan ramalan ialah asumsi mengetahui dan melihat rahasia-rahasia masa depan berupa kejadian umum atau khusus atau pun nasib seseorang, melalui perbintangan dan sebagainya. Perbuatan ini termasuk salah

satu contoh dari sihir. Nabi Muhammad SAW bersabda:

من اقتبست علما من النجوم اقتبس شعبة من السخر

“Barangsiapa yang mempelajari salah satu cabang dari perbintangan, maka ia telah mempelajari sihir” (HR. Abu Dawud).

Lebih lanjut, kesyirikan itu ditetapkan oleh Allah SWT sebagai dosa yang paling besar (seperti ditegaskan Q.S. al-Nisa’:48):

إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ومن يشرك بالله فقير افترى إنما عظيما

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengam-puni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.

kesesatan yang paling fatal (sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Nisa: 116):

ومن يشرك بالله فقد ضل ضلالا بعيدا

“Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sesungguhnya la telah tersesat sejauh-jauhnya”.

penyebab diharamkan masuk sorga (sesuai dengan Q.S. al Maidah:72):

له من يشرك بالله فقد كرم الله عليه الجنة ومأواه النار وما الظالمين من أنصار

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya adalah neraka. Orang orang yang zhalim itu tidak memiliki penolong.”

Oleh karena itu, umat Islam harus senantiasa waspada terhadap segala bentuk kesyirikan, baik syirik akbar maupun syirik asghar (al Qardhawi, 1996:31-46).

C. Karakteristik Akidah Islam

Agama Islam, sebagai sistem ajaran yang sempurna (al-din al kamil), memiliki sederet keunggulan dan kekhasan, antara lain:

1. Agama Fitrah

Agama Islam diturunkan oleh Allah untuk kepentingan dan kebahagiaan manusia. Siapa pun yang mengamalkan Islam dengan penuh ketaatan, kepasrahan dan ketulusan, niscaya akan mene mukan kedamaian dan memperoleh kemuliaan. Tidak sedikit pun ajaran Islam yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanu-siaan. Tidak pula membebani dan memberatkan manusia. Bahkan jika diperhatikan, semua hukum yang disyariatkan oleh Allah justru menopang fitrah dan kebutuhan dasar manusia.

Hal itu dibuktikan dengan substansi maqasid al-syari’ah yang bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengamalkan ajaran-Nya demi kesejahteraan manusia itu sendiri agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat, bukan sebaliknya untuk memberi beban berat.

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (Q.S. al-Baqarah:286).

2. Berifat Universal

Perjumpaan ajaran Islam dengan tradisi dan budaya sekitarnya, tidaklah dilakukan dengan cara konfrontasi melainkan dengan jalan akomodasi kreatif. Pengetahuan yang dikembangkan dalam ajaran Islam pun merupakan serapan dari warisan intelektual peradaban sebelumnya. Kemudian peradaban itu disajikan kembali menjadi warisan dunia yang memberi manfaat bagi seluruh umat manusia.

Universalitas ajaran Islam telah dinyatakan oleh Allah SWT di dalam Q.S. al-Anbiya’:107.

وما أرسلناك إلا رنجمة العالمين

“Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.”

3. Melanjutkan Tradisi Tauhid

Tauhid merupakan urat nadi dan tujuan utama agama Islam. Dengan tauhid, manusia dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagaimana doa yang tertuang dalam Q.S. al-Baqarah:201.

ومنهم من يقول ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

“Di antara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”

Konsep Islam sebagai agama tauhid merupakan mata rantai ajaran sepanjang sejarah manusia dari para nabi dan rasul. Mulai dari Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Daud, Musa, dan Isa sampai Muhammad SAW, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam Q.S. al Anbiya’:25.

4. Menyempurnakan Agama yang Terdahulu

Sebelum Islam datang, telah ada banyak agama di dunia ini, baik agama yang masuk katagori samawi (agama langit) maupun ardhi (agama bumi). Di antara agama-agama itu adalah agama bangsa Kildean (Mesopotamia), agama bangsa Mesir, Hindu dan Budha (India), Zoroaster atau Majusi (Persia Iran), Tao atau Kong Hu Chu (Tiongkok), Shinto (Jepang), Nasrani (Palestina), dan Yahudi (Israel). Namun agama-agama tersebut memiliki berbagai keterbatasan.

Pertama, agama-agama sebelum Islam hanya diperuntukkan bagi umat tertentu. Misalnya, agama Yahudi dan Nasrani hanya diperuntukkan bagi Bani Israil seperti dinyatakan dalam Mathius

un

me

15:24, “Maka jawab Yesus. Katanya: Tiadalah aku disuruh kepada yang lain, hanya kepada segala domba yang sesat di antara Bani Israil”. Sedangkan Islam mempunyai visi universal sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Anbiya’:107.

Kedua, ajaran-ajaran Tuhan yang terdapat dalam agama sebelum Islam sudah dipalsukan oleh para tokoh pemuka agama agama itu. Misalnya, Taurat (Perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru), saat ini tidak ada yang asli. Bahkan seandainya isi Injil Lukas, Mathius, Markus, Yohanes, dan Paulus dibandingkan, maka akan ditemukan perbedaan yang prinsipil. Sedangkan agama Islam tidak akan pernah dipalsukan, karena al-Qur’an sebagai sumber ajaran dijamin otentisitasnya oleh Allah SWT.

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. al-Hijr:9)

5. Mendorong Kemajuan

Kemajuan peradaban manusia akan terwujud apabila manusia mampu memanfaatkan potensi akalnya dengan baik. Misi tauhid adalah membebaskan manusia dari penjara mitos, tahayul, dan penghambaan kepada ciptaan Allah yang hakikatnya lebih rendah martabatnya. Alam dengan segala isinya diciptakan untuk diman faatkan, bukan untuk disakralkan. Ini merupakan paradigma yang sangat revolusioner dalam sejarah umat manusia.

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menantang manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Islam mengajarkan bahwa hukum hukum Allah (sunnatullah) dalam kehidupan ini ada dua macam, yaitu yang tertulis (qauliyah) dan yang tidak tertulis (kauniyah). Sunnah qauliyah adalah hukum yang diwahyukan kepada para nabi. Sedangkan sunnah kauniyah ialah ketentuan yang tidak diwah yukan, seperti suhu udara, tata surya, panas matahari, iklim, derajat panas air, hukum titik cair baja, gravitasi, dan sebagainya. Hal itu dimaksudkan agar manusia melakukan penelitian dan memikirkan betapa dahsyat ciptaan-Nya.

قل انظروا ماذا في السماوات والأرض وما في الآيات والدر عن قوم لا يؤمنون

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (Q.S. Yunus:101).

10

Manusia dalam pandangan Islam merupakan makhluk merdeka dan bebas menentukan kehidupannya. Allah telah menganugerahkan potensi kebaikan dan kejelekan dalam diri manusia. Semua perbuatannya di dunia akan dipertanggungjawabkan sendiri secara individual di hadapan-nya. Ini berarti bahwa kebebasan yang dimaksud bukan “kebebasan absolut” sebagaimana dipahami oleh aliran Qadariyah (free will), dan bukan pula “kebebasan nihil” seperti dipahami sekte Jabbariyah (fatalism). Islam hadir dengan “wajah tengah” di antara dua aliran tersebut. “Kebebasan ber-imbang” yang nantinya memunculkan potensi kreatif (creative force) dalam diri manusia itulah yang dikehendaki oleh al-Qur’an.

إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan diri mereka sendiri” (Q.S. al-Ra’d:11).

Sebagai bukti konkrit, Islam mendorong kemajuan adalah bahwa syariat tidak mengatur secara rinci (tafsili) hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dunia. Asalkan tidak melanggar tuntunan syara’, Islam mendukungnya. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan persoalan muamalah hanya memberikan ketentuan secara garis besar (ijmali) karena memang kehidupan terus berkembang secara dinamis.

D.Perbandingan Agama (Muqaranah Al-Adyan) 1. Yahudi

Yahudi adalah agama tertua di antara agama-agama Semitik (Ibrahimiah). Agama ini telah hidup hampir 4000 tahun dalam periode-periode yang ditandai oleh perubahan, baik yang evolu sioner maupun revolusioner. Meskipun penyebar sebenarnya agama Yahudi adalah Nabi Musa AS, orang Yahudi ortodoks memandang bahwa agama mereka itu bermula dari Nabi Ibrahim AS, nenek moyang mereka. Ibrahim AS adalah Bapak Monoteisme, karena ia adalah pioner tradisi monoteistik yang diikuti oleh keturunannya dan banyak bangsa di dunia ini.

Tradisi monoteistik yang diperjuangkan Ibrahim AS dan keturunannya (Ishaq AS, Ya’qub AS, dan seterusnya) mendapat tantangan dari kepercayaan kafir dan syirik. Suku-suku bangsa lain tetap menyembah Tuhan-Tuhan mereka sendiri. Suku-suku bangsa Kanaan mempunyai Baal-Baal; orang Mesir mempunyai Ra, Osiris,

11

dan Amon; dan orang Aegea masih mempunyai Tuhan-Tuhan lain. Agama Israil pada masa itu dirusak oleh kepercayaan animisme, penyembahan nenek moyang, sihir, dan kepercayaan terhadap Tuhan-Tuhan antropomorfis (jelmaan).

Dalam situasi krisis sosial dan keagamaan itu, lahirlah seorang bayi Israil di Mesir yang diberi nama Musa. Bayi yang selamat dari pembunuhan yang diperintahkan oleh Fir’aun (Ramses II, berkuasa sekitar 1279 – 1212 SM) itu kelak menjadi pemimpin besar Yahudi yang berjuang membebaskan mereka dari kekejaman Fir’aun. Tokoh yang hidup pada abad ke-13 SM itu adalah pahlawan pembebasan dan bapak yang sebenarnya dari orang Yahudi. Bila inspirasi monoteistik asli datang dari Nabi Ibrahim AS, maka Nabi Musa AS adalah orang yang membuka, menetapkan, dan mengukuhkan pandangan hidup keagamaan itu.

Nabi Musa AS tidak hanya memimpin pembebasan Israil keluar dari perbudakan Fir’aun dan bangsa Mesir, tetapi ia juga membawa mereka kepada perjanjian dengan Tuhan mereka, yaitu Yahweh di Gurun Sinai. Di gurun itu, ia menerima Sepuluh Perintah (Ten Commandments) dari Tuhan. Perintah pertama dan kedua menetapkan prinsip monoteisme dan menentang penyembahan berhala. Kedua perintah itu berbunyi sebagai berikut: “Janganlah ada Tuhan-Tuhan lain di hadapan-Ku” dan “Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit atas, atau yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air. Janganlah sujud menyembah kepadanya, karena Aku, Tuhanmu adalah Tuhan yang pencemburu” (Keluaran 20:3-5).

Doktrin paling esensial dan sistem kepercayaan yang dianut dan diperjuangkan Nabi Musa AS adalah monoteisme. Ia melan jutkan tradisi monoteistik yang diajarkan Nabi Ibrahim AS. Baginya, Tuhan adalah satu, tidak ada Tuhan selain Dia. Namun sepeninggal Musa AS, takhayul dan pemujaan berhala semakin meningkat dari tahun ke tahun, sehingga penyembahan Yahweh dirusak oleh penyembahan Baal-Baal Funisia dan Kanaan, termasuk di dalamnya konsep ‘Uzair sebagai anak Allah. Karenanya sejak abad ke-9 SM, agama Yahudi sangat membutuhkan pembaruan keagamaan dari dalam. Fenomena sosial keagamaan ini direkam Al-Qur’an melalui ayat berikut ini:

وقالت اليهود عزیز ابن الله

“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah…” (QS. al-Taubah:30).

Ringkasnya, monoteisme Yahudi adalah monoteisme tran senden dan etis. Tuhan bukan hanya satu dan transenden, tetapi Dia berhubungan pula dengan manusia; hubungan-Nya dengan manusia adalah hubungan etis. Sayangnya, gangguan politeistik dan asosianistik (syirik) datang menerjang berulang kali sehingga menodai kemurnian doktrin tauhidnya (Noer, 2002:189-201).

2. Kristen

Secara kronologis, Kristen muncul setelah Yahudi dan sebelum Islam. Pertumbuhan Kristen dapat dipandang sebagai perkem bangan suatu sekte Yahudi yang menjadi sebuah agama dunia. Asal usul Kristen tidak mungkin dipahami tanpa menempatkan agama dan kebudayaan Yahudi sebagai latar belakangnya. Dapat dikatakan bahwa orang Kristen pada awalnya adalah bangsa Yahudi sepenuhnya. Namun kristen, tanpa kehilangan ciri-ciri asal Yahudinya, secara berangsur-angsur melepaskan diri dari Yahudi dan memperoleh penganut yang sebagian besar adalah orang-orang bukan bangsa Yahudi dan tersebar di luar tanah asalnya (Bell, 1968).

Istilah “Kristen” atau “Kristenitas” berasal dari kata Yunani Christos sebagai terjemahan istilah Ibrani Mesias, yang digunakan orang Yahudi untuk menunjuk penyelamat agung mereka. Kemudian istilah Mesias (yang diterjemahkan dengan “al-Masih” atau “Kristen”) digunakan untuk menyebut Yesus dari Nasaret (Isa dari Nasirah (al Nashirah]). Karena Yesus berasal dari Nasaret Palestina, maka ia digelari Nasrani (Nashrani) dan agama yang dibawanya disebut Nasraniah atau agama Nasrani (al-Nashra-niyyah). Kristen adalah agama orang yang mengaku percaya kepada dan mengikuti Yesus Kristus (Isa al-Masih).

Agama ini berkembang dari kehidupan dan karya Yesus dari Nasaret. Yesus Kristus bukan hanya tokoh sentral dalam Kristen, tetapi juga pusat dari keseluruhan bangunannya. Ia memilih 12 (dua belas) murid, yang kemudian disebut sebagai “al-Hawariyyun”, untuk menjalankan tugas dakwahnya. Yesus menjadi terkenal karena mukjizat, kefasihan dalam menyampaikan ajaran, dan keakrabannya dengan rakyat jelata. Namun di pihak lain, timbul rasa permusuhan dari beberapa kalangan umat Yahudi dan kecurigaan dari rezim Romawi, yang berujung pada tragedi penyaliban Yesus di pinggiran kota Yerussalem.

Terkait dengan peristiwa penyaliban ini, Islam menyangkal bahwa Yesus (baca: Isa) telah meninggal di tiang salib. Menurut Al

13

Qur’an, murid Yesus yang berkhianat, Yudas, itulah yang disalib setelah wajahnya diserupakan oleh Allah dengan wajah gurunya.

31

وقولهم إنا قتلنا المسيح عيسى ابن مريم رسول الله وما قتلوه وما صلبوه ولكن شبة لهم وإن الذين اختلفوا فيه لفي شك منه ما هم به من علم إلا اتباع الظ وما قتلوه يقينا, بل رفعه الله إليه وكان الله عزيزا حكيما

“Mereka mengatakan: Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘lsa putera Maryam, Rasul Allah. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya. Tetapi yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘lsa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu ‘lsa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa ke sisi-Nya. Sungguh Allah Maha Perkasa laga Maha Bijaksana” (Q.S. al Nisa’:157-158).

Yesus, sebagaimana Nabi Musa AS, meneruskan ajaran monoteisme murni. Ketika seorang ahli Taurat datang kepada Yesus untuk menanyakan hukum yang paling utama, ia menjawab, “Hukum yang paling utama adalah: Dengarlah, wahai orang Israil, Tuhan

itu adalah Tuhan kita, Tuhan Yang Esa” (Mar-kus:12:29). Kalimat ini sama bunyinya dengan kalimat “Syema” (Syahadat) Yahudi, yang diucapkan oleh Nabi Musa AS kepada bangsa Israil (Ulangan 6:4).

Kristen memang agama monoteistik, tetapi konsep keesaan Tuhan tidak begitu ditekankan oleh Kristen, seperti dua agama Semitik lainnya. Karena itu, konsep tentang keesaan Tuhan bukan unsur dominan dalam Kristen. Kristen lebih mementingkan doktrin Trinitas daripada ajaran tauhid. Tuhan menginkarnasi sebagai manusia dan menebus dunia. Tuhan turun dalam suatu entitas (wujud) untuk menertibkan kembali keseimbangan dunia yang terganggu.

Dalam konteks ini perlu dicatat, otoritas gereja sendiri masih menghadapi pertentangan-pertentangan intern teologis, khususnya terkait dengan pribadi Kristus. Persoalan tersebut dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: Siapakah Yesus Kristus sesungguhnya? Apakah ia manusia atau Tuhan? Apakah ia manusia dan Tuhan sekaligus? Atau, apakah ia manusia yang hampir sederajat dengan Tuhan? Dan, meskipun mempunyai derajat yang mulia dan

14

melebihi manusia-manusia lain, apakah ia manusia biasa yang diciptakan Tuhan seperti manusia-manusia biasa lain?

Secara tegas, Al-Qur’an menyatakan kesesatan teologi Trinitas Kristen ini lewat ayat berikut:

لقد كفر الذين قالوا إن اللة ثالث ثلاثة وما من إله إلا إلة واجد

“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah adalah salah satu dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa” (Q.S. al-Maidah:73).

3. Islam, Agama Lama yang Baru

Meskipun Islam dibawa Muhammad SAW sebagai nabi terakhir atau “Penutup Nabi-Nabi” (Khatam al-Nabiyyin), agama ini tidak memandang dirinya sebagai agama baru, tetapi sebagai agama tertua. Memang jika dilihat dari perjalanan sejarah agama-agama Semitik atau Ibrahimiah, Islam adalah agama baru. Namun, bila dilihat dari esensi pesan semua nabi (tauhid yang diwahyukan Tuhan kepada mereka), maka Islam adalah agama tertua yang telah ada sejak Nabi Adam AS. Islam mengidentikkan dirinya dengan agama primordial (al-din al-hanif = agama yang benar), yaitu agama Ibrahim dan keturunannya, dan semua nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa bangsa Semitik, termasuk orang Ibrani dan orang Arab.

Islam memandang Yahudi dan Kristen bukan sebagai “agama agama lain”, tetapi sebagai dirinya sendiri sejauh bersumber dari wahyu-wahyu Allah SWT kepada nabi-nabi kedua agama itu. Identisikasi diri seperti ini bukan berarti Islam tidak kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan dari jalan lurus kehendak Ilahi. Karena itu, meskipun mengidentikkan dirinya dengan Yahudi dan Kristen, Islam menyalahkan dan mengoreksi manifestasi-mani-festasi historis dari keduanya (al-Faruqi, 1986).

Islam mengakui Tuhan Yahudi dan Kristen sebagai Tuhannya sendiri dan mengakui nabi-nabi kedua agama ini sebagai nabi nabinya sendiri. Islam mengakui bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen mempunyai komunitas-komunitas agama yang memiliki kitab-kitab suci yang diwahyukan dan menyebut mereka Ahli Kitab (Ahl al-Kitab). Islam menekankan kembali ide-ide Yahudi dan Kristen tentang keabadian pribadi (immortalitas personal), kebangkitan jasad, hari pengadilan, dan kekekalan balasan baik di surga maupun di neraka. Islam memandang Yerussalem, tempat suci kedua agama ini, sebagai tempat sucinya sendiri. Namun, Islam

15

mendirikan institusi baru, yaitu shalat lima kali sehari, kewajiban berzakat, dan pembacaan harian kitab suci Al-Qur’an.

Secara teologis, Islam lebih dekat dengan Yahudi daripada dengan Kristen. Sebagaimana Yahudi, Islam sangat menekankan keesaan Tuhan dan hubungan langsung manusia dengan Tuhan. Menurut Stephen M. Wylen, seorang rabi (sarjana dan guru agama Yahudi) di Amerika Serikat, orang Yahudi mengakui bahwa ide Islam tentang Tuhan yang Esa tidak berbeda secara esensial dengan ide Yahudi tentang Tuhan. Namun ide Kristen tentang Tuhan yang Tritunggal (baca: Trinitas) sulit dipahami orang Yahudi dan penganut Islam. Orang Yahudi memandang bahwa monoteisme Islam tidak berbeda secara esensial dengan monoteisme Yahudi, tetapi mereka menolak monoteisme Kristen.

Kemodernan Islam akan tampak jika dibandingkan dengan penekanan Yahudi dan Kristen pada konsep Tuhan dan manusia. Yahudi memberikan penekanan pada konsep bahwa Tuhan adalah “Sumber Hukum” dan Hakim bangsa-Nya, sementara manusia lebih dipandang sebagai kolektivitas dan masyarakat sebagai individu individu. Sesuai dengan penekanan ini, Yahudi memberikan penekanan pada aspek kemasyarakatan, hukum, dan keadilan. Kristen memberikan penekanan pada konsep bahwa Tuhan adalah “Sumber Kasih” yang mencintai hamba dan putera-Nya. Kristen memang mulai muncul sebagai agama mistis individual yang sangat kuat. Sesuai dengan penekanan ini, Kristen memberikan penekanan pada aspek spiritual, kebaktian, dan kecintaan dari individu-individu. Singkatnya, Yahudi memberikan penekanan pada aspek “eksoteris” (lahiriah), sedangkan Kristen memberikan penekanan pada aspek “esoteris” (batiniah).

Islam memadukan kedua sikap ini ke dalam suatu keutuhan sintesis yang tunggal. Tuhan, menurut Islam, adalah Maha Kuasa, Sang Penghukum, Hakim Yang Adil (seperti Tuhan orang-orang Yahudi), dan sekaligus Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf (seperti Tuhan orang-orang Kristen). Islam menekankan kesatuan dan keharmonisan antara kehidupan sosial dan kehidupan individual, antara eksoterisme (lahiriah) dan esoterisme (batiniah). Dengan demikian, Islam memulihkan kembali keseimbangan sempurna antara eksoterisme dan esoterisme yang dimiliki oleh monoteisme murni yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim AS (Bleeker, 1985).

Daftar Pustaka

Al-Faruqi, Ismail R. Dan Lois Lamya’ al-Faruqi. 1986. The Cultural

Atlas of Islam. New York & London: Macmillan. Al-Qardhawi, Yusuf. 1996. Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan,

diterjemahkan dari Haqiqah al-Tauhid. Surabaya: Pustaka

Progressif. Allouche, Adel. 1987. “Arabian Religions,” The Encyclopedia of

Religion, XVI. New York & London: Macmillan. Bell, Richard. 1968. The Origins of Islam in its Christian

Environment. London: Frank Cass & Co. Ltd. Bleeker, C.J. 1985. Pertemuan Agama-Agama Dunia, terj. Barus

Siregar. Bandung: Sumur Bandung. Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina,

1997. Noer, Kautsar Azhari. 2002. “Tradisi Monoteis,” Ensiklopedi Tematis

Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Sunarso, Ali. 2009. Islam Praparadigma, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lembar Kerja Mahasiswa

A. Soal dan Latihan Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan ringkas dan jelas:

1. Selain kisah pengembaraan teologis Nabi Ibrahim AS di atas

sebagai wujud kebutuhan dan ketergantungannya kepada Tuhan, carilah kasus-kasus lain yang mengilustrasikan fitrah manusia

untuk beriman kepada Allah SWT! 2. Lacak dan salinlah ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang

tauhid i’tiqadi ilmi (keyakinan teoritis) dengan tauhid ‘amali suluki (perilaku praktis)! a. Terkait dengan tauhid i’tiqadi ‘ilmi, ayat dan surat al-Qur’an

yang harus ditelusuri adalah: (1) Surat al-Ikhlas; (2) ayat-ayat di awal Surat Ali ‘Imran; (3) permulaan Surat Thaha; (4) permulaan Surat al-Sajdah; (5) permulaan Surat al-Hadid;

dan (6) akhir Surat al-Hadid! b. Sedangkan terkait dengan tauhid ‘amali suluki, ayat dan

surat yang perlu dilacak adalah: (1) Surat al-Kafirun; (2) permulaan Surat al-A’raf dan akhirnya; (3) permulaan Surat Yunus, pertengahan dan terakhirnya; (4) permulaan Surat al

Zumar dan akhirnya! 3. Buatlah dua contoh tindakan sehari-hari yang pertama

menunjukkan adanya tauhid rububiyah dan yang kedua

menunjukkan adanya tauhid uluhiyah! 4. Buatlah bagan perbandingan konsep ketuhanan agama Islam

dengan agama Kristen dan Yahudi!

B. Tugas Kontekstual Lakukan aktivitas-aktivitas berikut dan catatlah hasilnya! 1. Lakukan identifikasi atas praktik-praktik sosial keagamaan di

lingkungan sekitar tempat domisilimu yang masuk katagori syirik, baik syirik akbar maupun syirik asghar! Uraikan secara

kritis dan analitis! 2. Carilah pengalaman-pengalaman spiritual dari para pemeluk

Islam baru (mu’allaf), seperti: Yusuf Islam (Cat Steven), Muhammad Ali (Cassius Clay), dan lain-lain, dalam meyakini kebenaran Islam!

BAB II MANUSIA DALAM KONSEPSI ISLAM

Kompetensi Dasar: Memahami konsepsi manusia menurut Islam, tujuan penciptaannya, fungsi dan peran serta tanggung jawabnya sebagai khalifah dan hamba Allah, dan meyakini kebenaran konsep manusia menurut Islam serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari

Indikator: 1. Menjelaskan hakikat manusia menurut Islam; 2. Menjelaskan kedudukan, tugas, dan tujuan hidup manusia; 3. Menjelaskan akibat yang ditimbulkan dari potensi negatif manusia; 4. Mengidentifikasi aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku manu

sia; 5. Mengidentifikasi hal-hal yang harus dilakukan manusia agar sukses

dalam merealisasikan tugas hidup mereka; 6. Menerapkan konsep manusia menurut Islam dalam kehi-dupan.

11,

A. Hakikat Manusia

Jika manusia ingin mengetahui secara pasti mengenai hakikat dirinya secara benar, maka ia harus kembali ke Penciptanya melalui pemahaman dan penyelidikan terhadap firman-firman-Nya (al Qur’an dan hadis). Hal ini sangat beralasan karena al-Qur’an merupakan kitab suci terlengkap yang diturunkan Allah ke bumi. Kandungannya meliputi segala aspek kehidupan.

Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan gambaran konkret tentang manusia, dan penyebutan nama manusia tidak hanya satu macam. Azra dkk. (2002: 3/161) mengemukakan bahwa di dalam Al-Qur’an ada tiga istilah untuk manusia: al-basyar, al-nas, dan al-ins atau al insan. Sedangkan Depag RI (1999: 10–11) menyebutkan lima istilah untuk manusia, yaitu bani Adam, basyar, nas, insan, dan ‘abd. Penyebutan ini untuk menunjukkan berbagai aspek kehidupan manusia itu sendiri, yaitu antara lain:

1. Sebutan Bani Adam bagi manusia didasarkan pada tinjauan secara

historis, karena manusia adalah Bani Adam, “anak-cucu Adam”.

19

Silsilah manusia semuanya berhulu dari Nabi Adam AS. Allah SWT berfirman:

ألم أعهد إليځم یا بني آدم أن لا تعبدوا الشيطان إله لكم عدو مبين

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (Q.S. Yasin:60).

ن كل شيء خلقه وبدأ خلق الإنساني من طين, ثم جعل تستله من

الذي أ

لالة من ماء مهيني

“Tuhan yang membaguskan tiap-tiap sesuatu yang la jadikan. Dan la mulai membuat manusia dari tanah, kemudian la jadikan turunannya itu dari sari pati dan air yang hina.” (Q.S. al-Sajdah:7-8).

Dalam kedua ayat tersebut dikemukakan bahwa manusia mula mula (manusia pertama) diciptakan dari tanah kering yang berasal dari lumpur hitam yang satu rupa. Setelah sempurna Allah meniupkan ruh ke dalamnya, maka jadilah manusia, yang tidak lain adalah Adam. Manusia berikutnya (keturunan Adam) diciptakan oleh Allah dari sari pati dan air yang hina.

2. Manusia disebut basyar berdasarkan tinjauan secara biologis,

yang mencerminkan sifat fisik-kimiawi-biologisnya. Penyebutan kata basyar di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 35 kali, di antaranya adalah:

10

ژون

وين آياته أن خلقكم من تراب ثم إذا أثم بشر

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak” (Q.S. al Rum:20).

Kata basyar pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah, kemudian lahir kata basyarah yang berarti kulit. Jadi, istilah basyar ini untuk menunjuk bahwa kulit manusia tampak jelas dan berbeda dari kulit hewan (Shihab, 1996:279).

3. Manusia disebut insan berdasarkan tinjauan secara intelektual,

yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan. Penyebutan kata insan di dalam Al

Qur’an tidak kurang dari 58 kali, di antaranya adalah:

20

لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقويم

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya” (Q.S. al-Tin:4).

خلق الإنسان, علمه البيان

“Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara” (Q.S. al-Rahman:3

4).

4. Secara sosiologis manusia disebut nas, yang menunjukkan

kecenderungannya untuk berkelompok dengan sesama jenisnya. Allah SWT berfirman:

يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعاروا

“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (Q.S. al-Hujurat:13).

Kecenderungan berkelompok tersebut menjadikan manusia berusaha mengenal satu sama lain, lalu mereka hidup berdam pingan, dan saling membantu dalam komunitasnya. Tidak hanya itu, mereka juga saling menjalin persaudaraan baik dalam bentuk persaudaraan senasab, ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan antarsesama muslim), ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan antar warga bangsa).

Penulis tidak memasukkan ‘abd sebagai salah satu penyebutan untuk manusia, sebab ‘abd yang artinya ‘hamba’ berlaku juga untuk makhluk lain yang diperintahkan melakukan ibadah, misalnya jin.

B. Kedudukan Dan Tujuan Penciptaan Manusia

1. Kedudukan dan Tugas Hidup Manusia

Dalam pandangan Islam, manusia diberi dua kedudukan yang mulia oleh Allah, yaitu sebagai hamba Allah (abdullah) dan khalifah Allah. Sebagai hamba Allah, manusia bertugas beribadah serta tunduk dan patuh kepada-Nya. Keharusan beribadah, tunduk, patuh, serta menyembah Allah antara lain berdasarkan firman Allah SWT berikut.

إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبديني وأقم الصلاة لذكري

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S. Thaha:14).

21

Semua manusia adalah abdullah, termasuk para nabi. Atha’ bin Yasar pernah berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash r.a: “Beritahulah saya tentang sifat Rasulullah SAW di dalam kitab Taurat!” Abdullah berkata:

صفيه في القرآن يا أيها النبي إلا

أكن والله إنه لمؤصوف في التوراة يبغض

شاهدا ومبشرا ونذيرا وجزا الأميين أنت عبيري ورولي سميثة المتوگل

أ نا ليس يقظ، ولا غليظ

“Tentu, Demi Allah, sesungguhnya beliau di dalam kitab Taurat disifati dengan sebagian sifat yang terdapat di dalam Al-Qur’an, wahai Nabi sesungguhnya saya mengutusmu sebagai saksi, penyampai berita gembira dan berita yang menakutkan, penolong bagi kaum yang buta huruf. Engkau adalah hambaku dan utusanku. Saya menamaimu ‘almutawakkil bukan orang yang keras kepala dan berhati kasar” (H.R. Bukhori, di dalam Fath al-Bari juz 2:87).

Abdun dalam hadis tersebut ditujukan kepada Rasulullah SAW, namun tidak hanya digunakan untuk beliau tetapi digunakan pula untuk hamba Allah yang lain, baik para nabi dan rasul maupun manusia biasa, bahkan untuk makhluk lain selain manusia. Secara leksikal makhluk yang menyembah Allah dinamakan “abid’ sedang kan Allah disebut Ma’bud atau Dzat Yang Disembah.

Kedudukan manusia itu unik. Ia berada di antara malaikat dan binatang. Ia bisa naik ke kedudukan yang sama dengan malaikat apabila bisa mengendalikan hawa nafsunya. Mereka bahkan bisa lebih tinggi derajatnya dibanding malaikat. Rasulullah adalah manusia yang berhasil menembus tempat yang tidak mampu ditembus malaikat, yaitu Sidrat al-Muntaha dan Mustawa. Sebaliknya manusia akan turun derajatnya ke derajat binatang apabila ia menuruti hawa nafsunya. Bahkan mereka bisa lebih rendah daripada binatang, sebagaimana yang disebutkan di dalam QS. Al A’raf:179 dan al-Furqan:44.

Selain sebagai abdullah, manusia juga berkedudukan sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah yang merujuk pada tugasnya sebagai pemegang mandat Tuhan guna mewujudkan kemakmuran di bumi. Di dalam al-Qur’an kata khalifah disebutkan dua kali, yaitu:

خليفة قالوا أتجعل فيها من يفيد

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض فيها ويسفك الدماء وتحث ب يحميك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (Q.S. Al-Baqarah:30).

Al-Shabuny (1976:1/48) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat tersebut adalah makhluk yang mewakili atau menggantikan Allah di dalam mengelola hukum-hukum Allah di bumi. Menurut Al-Jilany (2009:62) tugas kekhalifahan itu adalah memperbaiki akhlak dan hal-ihwal penghuni bumi. Makhluk tersebut sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat berikutnya adalah nabi Adam dan keturunannya. Mereka dicipta oleh Allah untuk menjadi pengganti makhluk yang mendiami bumi sebelumnya, yang dalam banyak kitab tafsir disebut banu al-jan (anak-cucu jin).

یا داؤود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق ولا تتبع الهوى فيضك عن سبيل الله إن الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديد يما نوا يوم الحساب

“Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (Q.S. Shaad: 26).

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Dawud oleh Allah dijadikan sebagai khalifah. Bila dipadukan dengan ayat 30 surat al Baqarah, maka Nabi Dawud bukanlah satu-satunya manusia yang diangkat menjadi khalifah. Namun semua manusia juga dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi khalifah.

Dengan demikian jelas bahwa manusia dalam hidupnya memiliki tugas sebagai ‘khalifah fi al-ardhi’ atau penguasa di bumi. Artinya, manusia menjadi penguasa untuk mengelola dan mengendalikan segala apa yang ada di bumi (yang dalam al-Qur’an disebut dengan al-taskhir) untuk kemakmuran dan ketenteraman hidupnya, dalam bentuk pemanfaatan (al-intifa’), pengambilan contoh (al-i’tibar), dan pemeliharaan (al-ihtifadz) (TIM Dosen PAI UM, 2011: 49-50).

23

Merujuk pada makna kata ‘khalifah’ yang diartikan sebagai wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan, ini berarti kekuasaan yang dipegang manusia hanya semata-mata memegang mandat Allah (mandataris). Oleh karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, manusia harus selalu mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang memberi mandat. Apa yang dikerjakan oleh manusia dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, Sang Pemberi Mandat tersebut (Nurdin, et. al., 1993:15). Aturan-aturan itu berupa hukum Tuhan yang dibuat sedemikian rupa, agar manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahannya selalu mendapatkan ridla Allah, sehingga ia bisa merasakan kenikmatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dalam memakmurkan bumi ini, manusia harus selalu mengerjakannya atas nama Allah (bism Allah), yakni disertai tanggung jawab penuh kepada Allah dengan mengikuti “pesan’ dalam ‘mandat’ yang diberikan kepadanya. Kelak di akhirat pada saat menghadap Allah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kinerjanya dalam menjalankan mandat sebagai khalifah-Nya di muka bumi (Madjid, 2000:157). Itulah sebabnya apabila manusia melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan tersebut, ia akan mendapatkan sangsi, yaitu kesulitan dan keseng-saraan hidup di dunia, dan siksa yang amat pedih di akhirat.

Secara potensial, manusia memiliki potensi dan kesanggupan yang signifikan untuk menjalankan tugas kepemimpinannya di bumi, karena dia tercipta dari unsur tanah. Begitu juga sebelum manusia menjalankan tugasnya, Allah telah memberi bekal dengan mengajarkan nama-nama segala benda yang ada di bumi dan tidak satu pun dari malaikat yang mengetahuinya (Q.S. al-Baqarah:31-33). Hal ini juga berarti bahwa untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah, manusia terlebih dulu dituntut mengenali berbagai persoalan tentang bumi. Hal ini agar dalam menjalankan tugasnya manusia tidak merasa asing, tetapi betul-betul sudah dalam keadaan siap. 2. Tujuan Penciptaan Manusia

Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Segala sesuatu yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia atau tanpa maksud. Itulah sebabnya manusia diperintahkan Allah untuk memikirkan maksud dari penciptaan tersebut (Q.S. Ali Imran:191). Tujuan penciptaan manusia harus difahami dengan seksama agar manusia berupaya melakukan apapun yang dikehendaki Allah dan

24

tidak menyimpang dari ketentuan-Nya. Menurut al-Qur’an, Allah menciptakan manusia agar ia beribadah kepada-Nya.

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدوني ما أريد منهم من رزق وما أريد أن يطووني

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan” (Q.S. al Dzariyat:56-57).

Dalam konteks ini, beribadah berarti mengabdi, berbakti, dan menghambakan diri kepada Allah SWT. Istilah “beribadah” tidak boleh diartikan secara sempit seperti pengertian yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni terbatas pada aspek ritual seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Akan tetapi “beribadah” harus diartikan secara luas, yaitu meliputi ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan atas ketentuan dan kehendak yang telah ditetapkan oleh Allah dalam menjalani hidup di bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Allah) maupun hubungan horisontal (manusia dengan manusia dan alam sekitar), atau yang lebih dikenal dengan istilah habl min Allah wa habl min al-nas yang diwujudkan dalam bentuk iman dan amal saleh.

Dalam beribadah, manusia harus memperhatikan kehalalan makanan dan minuman serta fasilitas yang digunakan dalam menjalankan ibadah. Sebab dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan ada orang yang tekun dan sungguh-sungguh memohon kepada Allah hingga pakaiannya compang camping, rambutnya awut-awutan, namun karena makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya didapat dari cara yang haram, maka doanya tidak dikabulkan oleh Allah.

Ibadah, walaupun perintah Allah namun harus disikapi sebagai fasilitas bukan sebagai beban. Sebab jika ibadah dikerjakan maka pelakunya akan memperoleh dua hal sekaligus, yaitu ampunan dari dosa yang pernah ia kerjakan dan memperoleh tambahan pahala (poin) untuk kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak. Kalau manusia tidak mau beribadah, maka yang rugi adalah dirinya sendiri, tidak sedikitpun merugikan Allah, karena meskipun seandainya seluruh manusia tidak beribadah kepada Allah maka tidak akan sedikitpun mengurangi kekuasaan Allah, demikian pula sebaliknya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman:

25

يا عبادي إنكم لن تبلغوا ضري فتضروني ولن تبلغوا نفعي فتنفعون یا عباډي لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم كانوا على أنقى قلب رجل واحد منكم ما زاد ذلك في ملكي شيئا يا عبادي لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم كانوا على أفكر قلب رجل واحد ما نقص ذلك من ملكي شيئا.

ء

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu membuat-Ku merugi dan tidak akan mampu membuat-Ku beruntung. Wahai hamba-Ku, andaikata manusia dan jin mulai generasi pertama sampai generasi terakhir semuanya mencapai tingkatan tertinggi dalam ketaqwaan, maka yang demikian itu tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku, andaikata manusia dan jin mulai generasi pertama sampai generasi terakhir semuanya mencapai tingkatan terbesar dalam berbuat dosa, maka yang demikian itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun” (H.R. Muslim Juz 8 Hal. 16).

C. Memahami Potensi Positif Dan Negatif Manusia

Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia dibekali potensi yang dapat dimanfaatkannya dalam menjalani kehidupannya menuju ke arah positif atau negatif yang dicita-citakannya. Namun Allah telah memberi petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, dan ia juga diberi kebebasan untuk memilih di antara keduanya. Allah berfirman:

I

ونفس وما سواها, فألهمها فورها وتقواها, قد أفلح من گاها, وقد خاب من

داها

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”( Q.S. al-Syams:7-10).

فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر

“Siapa yang hendak beriman, silahkan beriman. Siapa yang hendak kafir silahkan juga kafir” (Q.S. al-Kahfi:29).

Penjelasan al-Qur’an tentang potensi positif dan negatif yang ada pada diri manusia tidak berarti menunjukkan adanya perten tangan satu dengan lainnya, akan tetapi untuk menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindari. Disamping itu untuk menunjukkan pula bahwa manusia memiliki potensi untuk

26

menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah, sehingga ia tercela (Shihab, 1996:282).

Tim Dosen PAI UM (2011:40-41), menyebutkan potensi positif dan negatif manusia yang diterangkan di dalam al-Qur’an, antara lain, meliputi: a. Potensi positif, diantaranya:

1) Manusia memiliki fitrah beragama tauhid, yakni bertuhan

hanya kepada Allah (Q.S. al-Rum:30). 2) Manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik

baiknya (Q.S. al-Tin:5). 3) Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia (Q.S. al

Isra’:70) 4) Manusia adalah makhluk Allah yang terpintar (Q.S. al

Baqarah:31-33, al-Naml:38-40) 5) Manusia adalah makhluk Allah yang terpercaya untuk

memegang amanat (Q.S. al-Ahzab:72) b. Potensi negatif, antara lain:

1) Manusia adalah makhluk yang lemah (Q.S. al-Nisa’:28) 2) Manusia adalah makhluk yang suka keluh kesah (Q.S. al

Ma’arij:19) 3) Manusia adalah makhluk zalim dan ingkar (Q.S. Ibrahim:34) 4) Manusia adalah makhluk yang suka membantah (Q.S. al

Kahfi:54) 5) Manusia adalah makhluk yang suka melewati batas (Q.S. al

Alaq:6-7) dan lain lain.

Lebih lanjut TIM Dosen PAI UM (2011: 41–45) mengemu kakan bahwa potensi positif atau negatif manusia dapat diketahui melalui uraian tentang fitrah, nafsu, qalb dan akal, sebagai berikut.

1. Tidl

1. Fitrah

Fitrah diartikan sebagai penciptaan atau kejadian. Ini berarti bahwa fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir yang merupakan penciptaan Allah. Q.S. al-Rum:30 menyebutkan fitrah manusia itu.

عليها لا تبديل لخلق الله

فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون

27

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia sejak awal kejadiannya membawa potensi agama yang lurus (tauhid) dan tidak dapat menghindari dari fitrah itu. Ini berarti bahwa fitrah keaga maan akan tetap melekat pada diri manusia untuk selamalamanya. Dengan kata lain manusia menurut fitrahnya adalah makhluk beragama (mempercayai keesaan Tuhan). Apabila ini dipelihara dan dikembangkan, maka seseorang akan dapat mewujudkkan potensinya ke arah yang positif. Namun tidak sedikit di antara manusia yang ternyata mengabaikannya, sehingga membuat dirinya cenderung ke arah yang negatif.

2. Nafs (Nafsu atau Jiwa)

Nafs dapat diartikan sebagai syahwat (nafsu) dan juga dapat diartikan sebagai jiwa. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk, yang diciptakan Allah dalam keadaan sempurna dan berfungsi menampung dan mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan (Shihab, 1996:286). Dalam hal ini, al-Qur’an melalui surat al-Syams:7-10 menganjurkan untuk memberi perhatian yang besar pada nafs. Melalui ayat ini Allah mengil-hamkan kepada manusia melalui nafs, agar dapat menangkap kebaikan dan keburukan, serta mendorong manusia untuk menyucikan nafs.

Nafs yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dinamakan nafs al-mutmainnah, sedangkan yang mendorong untuk melakukan keburukan dinamakan nafs al-lawwamah. Para kaum sufi mengatakan bahwa nafsu adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk, yang mendorong manusia berbuat jahat (Q.S. Yusuf:53). Apabila nafsu itu diperturutkan maka akan merusak segalanya (Q.S. al-Mukminun:71). Allah akan mencabut iman dari diri seseorang yang menuruti hawa nafsunya untuk berzina dan minum khamr.

من نا و شرب الخمر نزع الله من الإيمان كما خلع الإنسان القميص من رأيه

“Barangsiapa berzina atau minum-minuman keras, Allah mencabut daripadanya akan iman, seperti melepaskan seseorang akan bajunya dari kepalanya” (HR. al Hakim juz 1 hal. 72).

28

Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, namun daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karenanya manusia dituntut untuk memelihara kesucian nafsu dan tidak mengotorinya (Q.S. al-Syams:9-10). Dengan kata lain Islam tidak menganjurkan untuk membunuh nafsu, melainkan mengendalikan dan mengolahnya serta mengarahkannya kepada nilai-nilai yang mempertinggi derajat kemanusiaanya.

Bagaimanapun juga nafsu tetap dibutuhkan manusia, sebab kalau nafsu tersebut dibunuh sehingga manusia tidak lagi memiliki nafsu (seperti nafsu makan dan nafsu syahwat), maka akan menyebabkan manusia tidak bisa bertahan hidup dan akhirnya akan musnah.

3. Qalb (hati)

Pada umumnya orang mengartikan qalb itu sebagai hati. Secara bahasa, qalb bermakna membalik, karena sering kali berbolak-balik, terkadang senang, terkadang susah, ada kalanya setuju, ada kalanya menolak. Dengan demikian qalb berpotensi tidak konsisten, ada yang baik ada pula sebaliknya. Baik atau buruknya sifat seseorang sangat ditentukan oleh qalbnya. Rasulullah SAW bersabda:

ألا وإن في الجسير مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله . ألا وهي القلب »

“Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Apabila (segumpal daging itu) baik, maka baiklah seluruh dirinya. Dan apabila buruk, maka buruklah seluruh dirinya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah qalb (hati).” (H.R. Bukhori juz 1 hal. 20).

Qalb atau hati yang baik akan memberi pengaruh kepada sifat sifat seseorang untuk melakukan tindakan yang terpuji, yang disebut al-qolb al-salim atau al-qalb al-nurany. Ini terjadi jika orang tersebut menghiasi hatinya dengan kekuatan iman dan sifat terbaik yang selalu berada dalam ridha Allah. Kalau demikian halnya ia akan dapat mewujudkan kebaikan dalam hidupnya, sehingga ia akan merasakan hidup yang bahagia, tenang, dan sejahtera.

Sebaliknya apabila qalb itu buruk, akan menghasilkan sifat-sifat yang tidak terpuji. Manusia yang hatinya demikian akan memperturutkan ajakan nafsu dan bisikan syetan, sehingga hatinya menjadi busuk dan kotor, penuh dengan penyakit. Ia tidak mampu menerima hidayah Allah, akibatnya dengan mudahnya ia melakukan

29

pelanggaran terhadap ketentuan Ilahi dan berbuat dosa. Hal ini akan mencelakakan dirinya, karena ia akan merasakan kesengsaraan dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.

Dari uraian di atas tampak dengan jelas, bahwa qalb (hati) merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena itu hati harus terus dirawat dan dipelihara serta dihindarkan dari penyakit yang dapat menyengsarakan hidup. Harus ada usaha untuk menjaga kebersihan dan kejernihan hati agar senantiasa berada di bawah ridha dan naungan Ilahi.

4. Aql (akal)

Menurut Quraish Shihab (1996:294), aql atau akal diartikan sebagai pengikat, penghalang. Maksudnya ialah sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa. Selanjutnya akal dapat dipahami antara lain sebagai: 1) Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (Q.S. al

Ankabut:43).

2) Dorongan moral.

Dorongan moral tidak lain merupakan potensi manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan atau dilarang

oleh agama. 3) Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah.

Dengan daya ini manusia memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis dan menyimpulkan berdasarkan dorongan moral yang disertai kematangan berpikir.

Manusia harus mampu menggabungkan kemampuan berpikir dengan dorongan moral agar apa yang ia lakukan dapat menghasilkan sesuatu yang positif. Sebab, apabila ia tidak mampu menggabungkan keduanya, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, terutama jika dorongan moral itu diabaikan. Bila ini terjadi, dengan mudahnya orang tersebut akan melakukan perbuatan yang menyimpang, yang berakibat dosa dan merugikan dirinya sendiri, karena ia akan menjadi penghuni neraka (Q.S. al-Mulk:10).

D. Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

Sebagai makhluk sosial, manusia dalam hidupnya sudah membawa potensi fitrah sejak lahir dan banyak memperoleh

pengaruh dari lingkungannya, terutama lingkungan terdekatnya. Rasullah SAW bersabda.

گل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانيه ، أو ينصراني ، أو يمايي

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi” (H.R. Bukhori Juz 2 hal. 125).

Hadits tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh orang orang terdekat dalam hidup manusia. Saat ini pengaruh lingkungan di luar keluarga semakin banyak dan beragam, serta tidak hanya yang dekat, tapi yang jauh pun mudah sekali mendekat, seiring dengan era kemajuan sain dan teknologi. Hal-hal yang menguntungkan mudah sekali diakses dari jarak jauh, demikian juga halnya dengan hal-hal yang merugikan dan merusak moral.

Dalam bidang pendidikan dikenal beberapa aliran pendidikan, yaitu (1) Empirisme yang memandang perkembangan seseorang tergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupannya. (2) Nativisme yang berpandangan bahwa seseorang berkembang berdasarkan apa yang dibawanya dari lahir. (3) Naturalisme yang pandangannya dalam mendidik seseorang pendidik hendaknya kembali alam agar pembawaan seseorang yang baik tidak dirusak oleh pendidik. Terakhir (4) konvergensi yang memadukan aliran nativisme dan empirisme; perkembangan seseorang tergan tung pada pembawaan dan lingkungannya. Dalam pandangan Islam, lama sebelum munculnya teori diatas, telah diterangkan bahwa tingkah laku manusia ditentutan oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan.

Dewasa ini pandangan yang banyak diikuti secara luas oleh para ahli adalah pandangan Islam, walaupun mereka menggunakan redaksi yang berbeda. Para ahli mengatakan bahwa secara garis besar ada 2 faktor yang mempengaruhi perilaku manusia, yaitu faktor personal dan faktor situasional (http://muzacil.wordpress.com /2012/02/23/). Faktor personal adalah faktor yang datang dari diri individu, yang meliputi faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis atau struktur biologis meliputi struktur genetis, system syaraf dan sistem hormonal. Sedangkan faktor sosiopsikologis : Sebagai makhluk sosial, manusia mendapat beberapa karakter akibat proses sosialnya.

Faktor situasional adalah faktor dari luar individu, termasuk lingkungan. Kaum behavioris sangat percaya bahwa perilaku seseorang sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungannya. Menurut

31

Islam prilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan tetapi juga oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan dapat berupa: faktor ekologis, faktor rancangan dan arsitektural, faktor temporal, suasana perilaku, tekhnologi, faktor-faktor sosial, lingkungan psikososial, stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka manusia dengan berbekal potensi-potensi (faktor personal) yang positif dan negatif yang berada pada dirinya berkewajiban untuk mencari ilmu dan mengamalkannya dengan sebaik mungkin. Ilmu sangat berguna untuk mengembangkan potensi positif tersebut dan untuk mengurangi serta mengikis potensi negatif yang dimilikinya.

E. Ikhtiar Merealisasikan Tugas Hidup Manusia

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa tugas manusia adalah menjadi khalifah di bumi. Tugas sebagai khalifah itu sejalan dengan firman Allah berikut.

19

والجبال فأبين أن يحملنها وأشفقن

إنا عرضنا الأمانة على السماوات والأرض منها وحملها الإنسان إنه كان ظلوما جهولا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S. al-Ahzab:72).

Tampak pada ayat tersebut bahwa di antara sekian banyak makhluk Allah manusialah yang bersedia mengemban amanat. Kesediaan mengemban amanat dari Allah tersebut mengandung suatu konsekuensi bahwa manusia harus lebih mengutamakan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang diberikan Allah daripada menuntut hak. Karena itu istilah yang populer di dalam Islam adalah al-waajibaat wal huquuq “kewajiban dan hak” bukan sebaliknya, yaitu “hak dan kewajiban” sebagaimana yang populer di luar ajaran Islam.

Upaya merealisasikan tugas hidup tersebut harus dilakukan secara maksimal dan optimal sesuai kemampuan. Manusia hanya diberi kewenangan untuk berusaha, berhasil dan tidaknya usaha tersebut merupakan kewenangan Allah semata. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menyesali kegagalan suatu program yang sudah direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan baik. Agar sukses

32

dalam mengemban amanat sebagai khalifah, manusia dapat melaksanakan upaya-upaya berikut.

Pertama, berilmu yang memadai. Amanat menjadi khalifah akan dapat diemban manusia dengan baik apabila mereka memiliki ilmu yang memadai. Oleh karena itu, mencari ilmu merupakan keniscayaan bagi manusia, baik dalam kapasitasnya menjadi ‘abd Allah maupun khalifah Allah. Ibadah hanya akan diterima oleh Allah apabila dikerjakan sesuai ilmunya. Demikian juga dengan upaya memakmurkan bumi. Pemakmuran bumi akan berhasil dengan baik bahkan bernilai ibadah apabila dilakukan dengan sesuai ilmunya.

Kedua, bertindak secara nyata. Semua pihak harus melakukan tindakan nyata dalam pemakmuran dunia/bumi. Dalam konteks ini harus difahami bahwa tanggung jawab menjadi khalifah adalah tanggung jawab bersama. Manusia dengan statusnya masing-masing, misalnya ‘ulama’, umara’, aghniya’, fuqara’, berkewajiban untuk berkontribusi dan berkolaborasi menyukseskannya sesuai kapasitasnya masing-masing.

a. Para ‘ulama’ (ilmuwan) mengembangkan ilmunya, meneliti,

mengadakan eksperimen, dan mensosialisasikan ilmu kepada pihak-pihak lain, utamanya kepada para umara’ (pejabat, teknokrat, karyawan, praktisi hukum, dan lain-lain) dan generasi penerus dengan mengajarkan ilmu tersebut atau

dengan teknik sosialisasi yang lainnya. b. Para umara’ melaksanakan tugas dan kewenangannya secara

total dan adil. Dalam melaksakan tugas mereka harus sangat memperhatikan aspek-aspek dan prinsip-prinsip profesiona litas, keseimbangan, kesinambungan, keselarasan, keuntungan bersama, tidak berlebihan, keramahan lingkungan, tanpa menimbulkan banyak efek negatif. Para aghniya’ (hartawan) mendukung tugas umara’ dengan bantuan modalnya (membayar zakat, pajak, hibah, atau pinjaman modal kerja) untuk membiayai program-program pengembangan ilmu dan eksperimen yang dilakukan ulama’, program-program pembangunan dan lainnya yang dilakukan oleh umara’, dan pengentasan kemiskinan atau pemenuhan kebutuhan orang-orang miskin. Kaum fuqara’ (fakir miskin) mendukung tugas ketiga unsur tersebut dengan doanya yang tiada henti.

Ketiga, mencari lingkungan yang baik. Menyadari akan besarnya pengaruh lingkungan dalam merealisasikan sesuatu yang diinginkan maka manusia harus mencari lingkungan yang kondusif.

33

Jika lingkungan kondusif tidak dapat diperoleh maka seseorang bisa menciptakannya. Ketika ingin memiliki ilmu yang luas, pemuda bisa datang ke pesantren, dan ketika Mekah sudah tidak kondusif untuk berdakwah, Rasulullah SAW hijrah ke Medinah.

Keempat, berdoa. Berdoa merupakan ciri khas orang yang beriman. Bagi mereka berdoa merupakan bagian yang terpisahkan dari usaha mengemban amanat dan dalam melaksanakan program apa saja. Tidak benar kalau ada orang yang berusaha hanya dengan bekerja tanpa berdoa dan tidak benar pula orang yang hanya berdoa tanpa berusaha nyata. Agar usaha dan doa tidak menyimpang dari aturan, maka bekal ilmu yang memadai menjadi syarat mutlak.

Kelima, menjaga hati. Sesuai dengan namanya hati cenderung tidak stabil. Oleh karena itu, hati harus dijaga agar selamat dari hal hal yang menjadikannya labil dan sakit. Hati harus dijaga dari sifat sifat yang tercela dengan cara mengarahkannya kepada sifat-sifat terpuji. Menjaga hati dilakukan dengan beribadah yang menurut al Khawwash (dalam al-Qusyairi, It juz 1 hal. 22) dinamakan dengan mengobati hati. Menurutnya obat hati itu ada lima, yaitu membaca

al-Qur’an dengan menghayati maknanya, mengosongkan perut (berpuasa), melakukan salat malam, berzikir di keheningan malam, dan bergaul dengan orang-orang saleh.

Keenam, semua itu dilengkapi dengan bertawakal atau menyerahkan keberhasilan segala usaha dan jerih payah kepada Allah, Dzat yang maha mengetahui dan maha bijaksana. Orang yang beriman yakin bahwa manusia hanya memiliki kewenangan untuk berusaha, Allahlah yang berwenang menentukan berhasil atau gagalnya usaha tersebut. Namun patut dicatat bahwa usaha yang benar dan diniati dengan benar pula pastilah membuahkan keuntungan yang berupa pahala. Orang yang berijtihad lalu hasilnya benar maka ia mendapatkan dua pahala dan jika tidak benar maka ia mendapatkan satu pahala. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada usaha orang beriman yang sia-sia.

Daftar Pustaka

Al-Asqalany, Ibn Hajar. 1959. Fathu al-Bari. Kairo: Musthafa Bab al

Halaby. Al-Hakim, Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah. 1990. Al

Mustadrak ‘ala al-Shahihain. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Al-Jilani, Abdulqadir. 2009. Tafsir al-Jilany. Istambul: Markaz al

Jilany li al-Bukhuts al-Ilmiah. Al-Naisabury, Muslim bin al-Hajjaj. Tt. Shahih Muslim. Beirut: Dar

al-Jail wa Dar al-Afaq al-Jadidah. Al-Shabuny, Muhammad Aly. 1976. Shafwat al-Tafasir. Beirut: Dar

al-Fikr. Anonim. Tanpa tahun. Faktor yang Mempengaruhi Prilaku Manusia

http://muzacil.wordpress.com/2012/02/23/. diakses 15 Mei

2013. Azra, Azyumardi. Dkk. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar

Baru Van Hoeve. Depag. 2002. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi

Umum. Jakarta: Departemen Agama RI Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Agama Peradaban. Jakarta:

Paramadina. Nurdin, Muslim. et. al. 1993. Moral dan Kognisi Islam. Bandung:

C.V. Alfabeta. Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. Tim. tt. Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya ke dalam Bahasa

Indonesia. Riyadh: Kerajaan Saudi Arabia. Tim Dosen PAI UM. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam, Respon

Terhadap Problematika Kontemporer. Surabaya: Hilal Pustaka dan UPMU UM.

35

Share