Ada banyak pandangan yang mengandung unsur realisme sosialis yang merepresentasikan gagasan Pram dalam novel tetralogi. Sebagai mana telah di uraikan pada bab pertama dan kedua, Pram dikenal sebagai sosok yang berani dalam menyuarakan suatu yang di anggap Pram sebagai sebuah keadilan. Pram sangat memahami bagaimana menyampaikan realisme sosialis dalam setiap tulisannya. Ini tidak lepas dari pengalaman hidupnya, dan organisasi yang telah di pilihnya.
Realisme sosialis sebagai bagian dari kepentingan umum kaum proletariat yang menjadi roda kesatuan besar mekanisme sosial demokratik, yang di gerakkan oleh kesadaran politik seperti yang dikatakan oleh Lenin, menjadi alat yang ampuh di tangan prajurit-prajurit kebudayaan, karena sastra realisme sosialis selalu revolusioner. Watak pejuang dan perjuangan ini akan selalu mewarnai kerja sastranya[1].
Dalam novel di bawah ini, menggambarkan Minke sang tokoh protagonis sedang diberi nasihat oleh sahabatnya seorang Perancis. Bagaimana kondisi bangsanya yang sangat membutuhkan tenaga dan juga pikirannya untuk melawan penjajah yang hidup bergelimang harta, sedangkan rakyat yang lain menderita.
“Ya, memang belum banyak yang bisa ku dapatakan dalam diriku. Jean marais bercita-cita mengisi hidup dengan lukisan-lukisan, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis, sampai mendapatkan kemasyhuran sebanyak itu? Kau tidak adil Minke, kalau memburu kepuasan saja bisa mendapatakan kemashuran. Tidak adil! Orang-orang lain bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapatkan kemasyhuran ,hanya untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa”[2].
Kejadian ini ketika Minke seorang yang jauh lebih terpelajar harus tetap berjongkok dulu ketika menghadap seorang Bupati, padahal Bupati tersebut jauh lebih bodoh dibanding dirinya. Terasa sekali semangat feodalisme pada cerita di bawah ini.
“Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. god! Urusan apa pula? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskah merangkak dihadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untukku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal! Dalam berjalan ke pendopo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek![3]
Tulisan di bawah ini, Pram menggambarkan bagai mana seorang petani yang berjuang mempertahankan tanahnya dari rampasan Belanda. Petani tersebut harus berjuang sendiri, karena orang-orang di sekitarnya takut pada Belanda. Yang lebih ironis lagi banyak juga yang justru membela Belanda, karena mereka mendapat uang ketika membela kepentingan Belanda.
“Berteriak apa orang-orang itu?”
“yang tinggal di situ, Ndoro.”
“Di rumah genteng itu?’
“Betul, Ndoro.”
“Mengapa diteriaki?”
“Dia tak juga mau pindah dari tempatnya.”
“Mengapa harus pindah?”
“Mereka “ katanya bengis dan benci, “anjing-anjing pabrik. Ini tanahku sendiri. Peduli apa hendak kuapakan,” ia seka keringat dari pundak[4].
Cerita di bawah ini ketika Minke berbincang-bincang dengan seorang petani, petani tersebut menggunakan bahasa jawa kasar pada Minke. Sebagai seorang anak Bupati Minke merasa tersinggung, di sini Pram memperlihatkan antara kelas proletar dan kelas borjuis. Meski pada akhirnya Minke ditegur oleh seorang Nyai yang bernama Ontosoroh, ibu mertuanya sendiri. Nyai Ontosoroh tersebut sangat membenci dengan sIstem feodal, serta menjunjung tinggi cita-cita revolusi Perancis.
“Perasaan tidak enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini kembali bicara ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi baik-baik? Tapi kau sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya. Dia salah seorang bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau tulis kalau kau sudah mulai belajar mengenalnya!.[5]
“Dan kau tidak beda dengan orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi, tidak lebih mulia dari Trunodongso . itu kalau kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang Minke?”[6]
Semangat Minke sebagai seorang jurnalis dikritik oleh sahabatnya sendiri, Jean Maramis, dia adalah seorang perancis yang menetap di Indonesia dan menjadi pelukis. Karena Minke tidak pernah menulis dengan menggunakan bahasa Melayu tapi lebih sering menggunakan bahasa Belanda.
Juga kau hendak membelanya terhadap penindasan dengan bahasa oleh kau sendiri? Ha, kau tak mau menjawab. Kalau begitu memang tepat kau harus menulis Melayu, Minke, bahasa itu tidak mengandung watak penindasan, tepat dengan kehendak revolusi Prancis.[7]
Minke ketika berdialog dengan orang Belanda yang bernama Tollenaar yang sangat menyanjung Eropa dan juga Amerika Serikat. Hal tersebut dibantah oleh Minke.
“Aku lebih percaya pada Revolusi Perancis, Tuan Tollenaar. Kebebasan, persaudaraan dan persamaan, bukan hanya untuk diri sendiri seperti sekarang terjadi diseluruh daratan Eropa dan Amerika Serikat, tapi untuk setiap orang, setiap dan semua bangsa manusia di atas bumi ini. Sikap begini dinamai sikap liberal sejati, Tuan.”[8]
Di sini Minke diberi penjelasan tentang semboyan revolusi Perancis yang sering kali disalah artikan oleh orang-orang, sehingga mereka bersikap semaunya sendiri. ketika itu Minke berdialektika dengan seorang pelarian dari Cina yang bernama Yi Me. Yi Me adalah pemberontak pada akhir abad XIX melawan monarki Tiongkok yang dikuasai oleh Kaisar Ye Si.
“jangan salah artikan kebebasan dalam semboyan Revolusi Prancis” “orang Prancis sendiri juga banyak menyalah artikan, jadi bebas merampok dan bebas tak berkewajiban pada siapa pun, walhasil jadi sewenang-mewang tanpa batas. Kebesaran hanya untuk diri sendiri di negeri sendiri! Semua terpelajar pribumi Asia dalam kebebasannya mempunyai kewajiban-kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing-masing. Kalau tidak, Eropa akan merajalela”.[9]
Minke ketika berbincang-bincang dengan Trunodongso seorang petani yang dirampas tanahnya oleh feodal yaitu Belanda dan juga para suruhannya. Termasuk di sini adalah aparat pemerintah, tanah tersebut adalah warisan dari orang tuanya. Trunodongso berusaha mempertahankan miliknya dari Belanda yang mewajibkan tanahnya di tanami tebu.
“Tentu saja ini tanahmu sendiri,” kataku memberanikan dia dan diriku sendiri.
“Lima bahu, warisan orang tua.”
“Kau benar,” kataku, “ada kubaca di kantor tanah.”
“Nah, ada tertulis dikantor tanah,” ia bicara pada dirinya sendiri. Ketegangannya mulai surut. Lambat-laun aku lihat ia mulai kembali jadi petani jawa yang rendah hati.
“ Ya, Ndoro, sebenarnya sahaya sudah cukup bersabar. Warisan sayaha lima bahu (7096,5 m2), tiga sawah dan dua ladang dan pekarangan rumah ini. Tiga bahu, sudah dipakai pabrik. Tidak sahaya sewakan secara baik-baik, tapi dipaksa secara kasar; priyayi pabrik, lurah, sinder, entah siapa lagi. Dikontrak delapan belas bulan. Delapan belas bulan! Nyatanya dua tahun. Mesti menunggu sampai bonggol-bonggol tebu habis didongkeli. Kecuali kalau mau cap jempol mengontrakkan lagi untuk musim tebu mendatang, Apa arti uang kontrak? Hitung punya hitung sewanya selalu tak pernah penuh. Anjing-anjing itu, Ndoro….sekarang ladang mau dikontrak. Pepohonan akan dirobohkan untuk tebu!”
“Berapa sewa untuk satu bahu?” tanyaku sambil mengeluarkan alat tulis-menulis dari dalam tas, mengetahui, semua petani Jawa menaruh hormat pada barangsiapa melakukan pekerjaan tulis menulis. Akupun siap-siap mencatat.
“Sebelas picis, Ndoro” jawabnya lancar. Mengherankan.
“Sebelas picis, buat setiap bahu selama delapan belas bulan?” aku terpekik.
“Betul, Ndoro.”
“Tiga talen”
“Kemana yang tiga puluh lima sen?”
“Mana sahaya tahu, Ndoro. Cap jempol saja, kata mereka tidak lebih dari tiga talen sebahu. Delapan belas bulan, katanya. Nyatanya dua tahun sampai tunggul-tunggul tebu habis di dongkeli”.[10]
Dialog di bawah ini dilakukan Minke ketika berbincang-bincang dengan salah seorang mandor pabrik tebu. Tentang fenomena masyarakat yang lebih senang menjadi buruh, dari pada menjadi petani.
“Tahu Tuan upah kuli tebu yang baik dalam sehari? Tiga talen sehari. Kalau orang kerja jadi kuli, dua hari saja, yang diperolehnya sudah melebihi sewa tanahnya sendiri sebanyak satu bahu. Siapa bilang orang lebih suka menggarap sawah sendiri daripada jadi kuli tebu? Berapa harga kerja cangkul dalam sehari? Tiga benggol, tidak lebih.”[11]
Ekspansi Belanda pada Indonesia yang mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia menjadi meninggal karena melawan Belanda, miskin dan perampasan terjadi dimana-mana. Pram memotretnya sebagai awal penindasan yang melahirkan kelas proletar dan borjuis.
Pribumi bertombak dan berpanah akan mati bergelimangan lagi atas perintahnya, entah dimana akan terjadi. Demi keutuhan wilayah, kata-kata lain dari: demi keamanan modal besar Hindia. Darah, jiwa, perbudakan, penganiayaan perampasan, penghinaan akan terjadi lagi di bawah tudingan tangannya.[12]
Kekejaman Belanda tidak pernah berhenti mesti rakyat sudah sangat menderita, manusia sudah tidak ada lagi harganya. Perampasan bukan hanya pada ekonomi semata tetapi juga istri dan anak gadisnya.
Perlakuan sewenang-wenang dalam perusahaan-perusahaan kereta api, perkebunan, kantor-kantor Gubermen, perampasan anak gadis dan istri oleh pembesar-pembesar setempat dengan menggunakan kekuasaan yang ada pada mereka, mengisi permohonan-permohonan pertolongan.[13]
Cerita yang di bawah ini adalah awal berdirinya organisasi pribumi pertama yaitu Boedi Oetomo, yang akan menjadi cikal bakal organisasi lain di Indonesia.
Utusan Raden Tomo telah datang kebandung untuk menagih janji. Ia dan teman-temannya sesekolah telah berhasil membentuk sebuah organisasi sebagaimana pernah di anjurkan oleh dokter Jawa pensiunan dulu. Juga olehku sendiri. Nama organisasi: Boedi Oetomo[14].
Boedi Oetomo sebuah organisasi pribumi pertama, yang bergerak pada bidang pendidikan untuk semua masyarakat. Karena pada penjajahan Belanda pendidikan hanya boleh dinikmati oleh orang Belanda, Indo, dan juga dari kaum priyayi. Rakyat jelata tidak bisa sekolah, B. O melihat hal tersebut sebagai penindasan yang harus dihapuskan. Pendidikan penting untuk menciptakan masyarakat yang kritis hingga mampu merubah nasibnya.
“Dan bahwa ada gerak dari minus ke plus pada umat manusia, dan itu dinamai gerak juang? Lupa kau, Koen? Atau B.O yang lupa? Kan B.O. tidak bermaksud mempertahankan yang ada, agar yang miskin tetap miskin, yang bodoh tetap bebal, dan yang sakit tinggallah menggeletak menungggu sakratulmaut?”[15]
Tidak ada tingkatan dalam bahasa Melayu, dan bahasa tersebut sesuai untuk digunakan dalam sebuah organisasi, karena dalam sebuah organisasi tidak ada yang lebih senior atau yunior semua punya kedudukan yang sama. Minke tengah berdialog dengan adiknya yang juga seorang organisatoris.
“Dalam rapat-rapat cabang yang tahu bahasa Jawa tentu tak diharuskan berbahasa melayu. Tetapi kalau tingkatnya sudah Kongres atau tingkat Pusat, atau berhubungan denga pusat, tak bisa tidak harus dipergunakan Melayu.” “Mengapa Jawa harus dikalahkan oleh Melayu?” “Diambil praktisnya, Mas. Sekarang, yang tidak praktis akan tersingkir. Bahasa Jawa tidak praktis. Tingkat-tingkat di dalamnya adalah bahasa presentasi untuk menyatakan kedudukan diri, melayu lebih sederhana. Organisasi tidak membutuhkan pernyataan kedudukan diri. Semua anggota sama, tak ada yang lebih tinggi atau lebih renadah.”[16]
S.D.I adalah Serikat Dagang Indonesia. organisasi tersebut bergerak pada bidang ekonomi, yang didirikan oleh para pembatik dari Solo dan Yogya. S.D. I tersebut kelak yang akan melahirkan organisai-organisasi lainnya seperti PKI, Serikat Islam (SI).
Di kota-kota sepanjang pesisir utara Jawa Barat telah berdiri cabang-cabang dengan anggota rat-rata empat puluh sampai seratus orang. Di kota-kota pegunungan memang lebih sendat. Di Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi nampak adanya kegiatan mengagumkan. Garut mencactat sejarah: disini pernah di adakan rapat umu propaganda S.D.I. rapat umum pertama.[17]
S.D.I membuat komitmen dengan para anggotanya tentang garis kebijakan organisasi. Sebagai organisasi pribumi pertama yang berkonsentrasi masalah ekonomi, dan harus melawan kebijakan ekonomi Belanda maupun Cina dan juga Arab yang sudah lebih dulu menguasai ekonomi masyarakat Indonesia. Sehingga dibutuhkan kebijakan yang sangat tegas dalam S.D .I. agar tidak keluar dari garis organisasi.
“Organisasi ini lahir di tanah Hindia sebagai organisasi Pribumi, bukan organisasi segala bangsa yang bermaksud untuk mrerugikan Pribumi. Tidak ada hak pada siapa pun, bangsa apa pun anggota atau bukan anggota S.D.I. untuk merugikan Pribumi, baik pedagangnya atau petaninya, ataupun tukang-tukangnya. Kalau ada cabang yang punya cara dan jalan sendiri yang sengaja dan diketahui melakukan tindakan merugikan terhadap pribumi, itu bukan cabang S.D.I. seluruh Hindia dapat melakukan tindakan serentak terhadap cabang durjana demikian. Aku yakin, saudara-saudara, dewan pimpinan pusat tidak akan ragu-ragu mengeluarkan titahnya.”[18]
Minke menyadari pentingnya sebuah pendidikan untuk rakyat Indonesia, karena dengan menguasai ilmu pengetahuan, rakyat Indonesia bisa maju. Ilmu pengetahuan yang tidak terlalu menyanjung Eropa, karena ternyata bukan Eropa saja yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, Negara Arab yang selama ini tidak ada dalam benak Minke ternyata juga mengusai banyak ilmu pengetahuan. Minke sebelumnya sangat mengagumi ilmu pengetahuan Eropa.
Orang Arab, yang sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan Eropa ini, ternyata mempunyai pengetahuan praktis yang sangat patut untuk kuindahkan dan kupelajari. Putra-putranya ia kirim ke Universitas Turki, menguasai banyak bahasa modern.[19]
Minke ketika memikirkan ucapan guru agamanya yang bernama Syeh Ahmad Badjened, dan Minke membenarkannya. Bahwa dalam berdagang membuat orang jadi lebih demokratis dan berpengetahuan luas, karena pedagang lebih banyak bertemu orang dan singgah di berbagai tempat yang berlainan adat istiadatnya.
“Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang paling pintar. Orang menamainya juga saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi s.a.w pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikir cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.”[20]
Minke menolak ketika S.D.I akan diganti Indisch bukannya Islam, sebab menurut Minke Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat luas dari pada Indisch. Karena istilah Indisch sendiri adalah untuk indo eropa.
“Islam dan dagang mempunyai landasan lebih luas dan lebih mengikat dari pada indisch. Pikiran-pikiran Tuan bukan tidak kupertimbangkan. Landasannya tidak ada, kurang jelas. Setidaknya-tidaknya belum aku lihat, hanya berupa cita-cita, bukan kenyataan. Memang cita-cita bisa menjadi kenyataan di kemudian hari, tetapi landasannya tetap kenyataan sosial masakini”.[21]
Minke memandang bahwa hanya Islam yang mampu membangkitkan rasa perlawanan terhadap sistem penjajahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, Islam bukan hanya semata mempermasalahkan hubungan manusia dan Tuhan semata. Tapi di dalamnya juga terdapat konsep ekonomi, politik dan banyak hal.
Islam, kataku selanjutnya, yang secara tradisional melawan penjajah sejak semula Eropa datang ke Hindia, dan akan terus melawan selama penjajah berkuasa. Bentuknya yang paling lunak: menolak kerjasama, jadi pedagang. Tradisi itu patut di hidupkan dipimpin, tidak boleh mengamuk tanpa tujuan. Tradisi sehebat dan seperkasa itu adalah modal yang bisa menciptakan segala kebajikan untuk segala bangsa Hindia[22].
Rapat S.D.I pertama pada saat itu Minke, sang tokoh protagonis menjadi ketua. Minke berpendapat bahwa Islam harus membela yang lemah. Seperti petani, karena dalam banyak kasus petanilah yang paling menderita dalam kebijakan ekonomi Belanda, dan kebanyakan di antara mereka bodoh serta buta huruf.
“Tetapi para petani itu adalah saudara-saudara kita sendiri, sebangsa kita sendiri, yang hendak diperas tanah dan duitnya secara gegabah oleh perusahaan-perushaan raksas Eropa, Arab dan Cina. Kalau Tuan-tuan membiarkan ini terjadi, Tuan-tuan membenarkan pemerasan itu, Tuan-tuan membenarkan kejahatan, apa itu di benarkan dalam Islam? Kan kita akan malu sebagai Muslim membiarkan yang demikian terjadi?”
akhirnya Islam harus menentang keputusan sindikat dan berpihak pada petani.[23]
Douwager adalah salah satu gubermen Belanda, dia merasa sudah benar dengan kedatangan Belanda dan sistem ekonomi yang ada. Minke membatah hal tersebut, karena kebijakan Belanda sangat merugikan masyarakat, meski ketika Belanda datang mengatas namakan berdagang.
“Eropa datang berdagang kemari, Tuan, tapi menjauhkan dirinya dari Pribumi. Malah memperdagangkannya.”
“Eropa datang bukan untuk berdagang dengan kita. Mereka datang dengan meriam dan bedil.”
“Apa pun alat yang dibawanya, mereka berdagang.”
“Kalau sekarang ini aku todong Tuan dengan senapan, aku rampas semua pakaian Tuan, sehingga tinggal selembar setangan untuk menutup kemaluan, kemudian aku tinggalkan pada Tuan satu setengah sen, pastilah itu bukan berdagang. Dan itulah wajah Eropa colonial, sesungguhnya.”
“Tuan lupa, meriam dan Bedil juga alat berdagang pada jamannya,” bantah Douwager. “Masih berlaku di banyak tempat sampai sekarang, kalau bangsa sudah ditaklukkan seperti di Hindia ini, bangsa taklukan dibikin jadi penghasil barang dagangan. Malah diperdagangkan.”
“Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama tak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan”[24] .
S.D.I mulai berganti nama menjadi S.I ( Sarikat Islam), kalau S.D.I hanya membahas masalah ekonomi semata, S.I tidak demikian, SI juga membahas politik, budaya, dan juga ekonomi.
Dokumen keempat adalah sebuah laporan panjang dari Sala, memakan tidak kurang dari empat puluh halaman, di tulis oleh tangan yang mahir, kecil-kecil dan rampak, tapi dalam bahasa Melayu yang sangat buruk. Laporan itu mencatat tentang terjadinya kegiatan S.D.I. di Sala, yang menarik perhatian pemerintah putih dan Pribumi: haji Samadi dengan pimpinan S.D.I. cabang Sala telah mengeluarkan pernyataan, bahwa telah didirikan perkumpulan bernama Syarikat Islam dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tetapi, semua pimpin di dalamnya adalah juga pimpinan S.D.I.[25]
S.D.I diseluruh daerah juag mengganti nama menjadi S.I, sesuai dengan keputusan organisasi.
Cabang-cabang S.D.I. segera menyesuaikan diri dengan menamakan diri Syarikat Islam dalam suatu koperensi darurat di Sala. Arus anggota baru tak dapat kubendung. Aku mengerti, bahwa saat untuk berorganisasi telah tiba dalam daftar kebutuhan pribumi di Jawa. Tugasku menghadang ini. Tidak hanya aku saja. Aku kira semua ahli dan penguasa colonial terheran-heran mengikuti perkembangan Syarikat setelah terjadinya penyerahan pimpinan dari Minke ke tangan Hadji Samadi.[26]
Belanda untuk mempertahankan kekuasaanya salah satu strateginya adalah memberi kesadaran mistis kepada rakyat Indonesia. Kesadaran kritis sama sekali tidak diperbolehkan oleh Belanda, karena hal tersebut bisa membahayakan keberadaanya di Indonesia.
Sudah tepatkah pandangan Eropa colonial ini? Bukan saja tidak tepat, juga tidak benar. Tetapi Eropa colonial tidak berhenti sampai di situ. Setelah Pribumi jatuh dalam kehinaan dan tak mampu lagi membela dirinya sendiri, dilemparkannya hinaan yang sebodoh-bodohnya. Mereka mengetawakan penguasa-penguasa Pribumi di Jawa yang menggunakan tahyul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak mengeluarkan biaya untuk menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya. Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan raja-raja Pribumi Jawa. Tapi juga Eropa mempertahankan tahyul: tahyul tentang hebatnya ilmu pengetahuan agar orang-orang jajahan tak melihat wajah Eropa, wujud Eropa, yang menggunakannya. Baik penguasa Eropa colonial maupun Pribumi sama korupnya[27].
S.I mulai terpecah karena terlalu banyaknya anggota, sehingga kontrol terhadap para anggotanya sangat sulit. Indische Partij, adalah aliran sosialisme yang dibawa masuk oleh orang Belanda yang di usir dari negaranya, kemudian mereka tinggal di Indonesia.
Syarikat aku anggap sebagai gelembung akibat samudra kehidupan yang telah teraduk unsur-unsur modern, dan pada suatu kali gelembungan ini akan meletus berpecahan tanpa meninggalkan bekas. Indische Partij lain lagi. Ia justru mempersatukan unsur-unsur manusia modern di Hindia, peranakan Eropa dan terpelajar Pribumi sekaligus. Dalam jumlah anggota ia tidak berarti dibandingkan dengan Syarikat. Dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul.dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul. Dalam kesadaran berpolitik Mas Tjokro masih harus banyak belajar dari mereka. Tapi bagaimana pun dua organisasi itu menyala di angkasa hitam seperti dua bintang, terpisah jutaan mil satu dari yang lain, tak pernah ada usaha pendekatan, jangankan persinggungan. Yang satu gemuk dengan kebanyakan anggota dan tak bisa berbuat apa-apa. Yang lain dengan hanya anggota ratusan orang dan bakal kurus-kering dirongrong oleh keinginan-keinginan tanpa batas[28].
Tulisan ini tidak untuk mengucilkan kaum Nasrani, penggambaran Nasrani di sini bukan agamanya. Hanya simbol Nasrani lahir di Eropa, maka Eropa yang dimaksud oleh Pram. Eropa di sini adalah Belanda, dan juga sekutunya.
Aku tahu, bahwa aku harus mengelakkan percakapan yang menyudutkan ini. Benar sekali, bahwa pada jamannya agama juga politik. Bangsa-bangsa Hindia yang Nasarani memang tidak mencari pertengkaran dengang gubermen yang Nasrani pula, tetapi tulisan-tulisan Raden Mas Minke menunjukkan contoh-contoh, bahwa juga orang-orang tertentu bisa mencari pertengkaran dengan bangsanya sendiri, seperti Khouw Ah Soe dan Ang San Mei. Benar mereka Protestan dan Katholik, tapi mereka bukan karena agama ikut berusaha menggulingkan dinasti Ching. Mereka digerakkan oleh sesuatu yang lain, yang bernama Nasionalisme.
Mas Marco Kartodikromo, dia adalah pencipta Sama Rata Sama Rasa. Dengan slogan tersebut banyak masyarakat yang berani melawan Belanda, di dukung juga oleh tulisan-tulisannya yang selalu membakar semangat nasionalisme.
Marco, Ia mencoba mengerti dan mengikuti arus jaman yang semakin santar mendatangi. Ia selau bercelana pantolan putih dan berbaju putih. Sisirannya selalu rapi sibak tengah, matanya dibukanya lebar-lebar selalu, seakan-akan tak hendak kehilangan sesuatu atas segala yang terjadi di sekelilingnya dan di dunia besar di luar negerinya[29].
Tulisan di bawah ini memotret saat terjadinya perpecahan di dalam S.I, perpecahan tersebut melahirkan banyak organisasi di antaranya PKI.
Mempertentangan dua golongan dari pandangan dan sikap yang berlain-lainan memang terlalu gampang. Tetapi akibatnya akan berlarut. Syarikat akan menghadapi mereka sebagai orang Eropa pada umunya, dan kebencian pukul rata pada Belanda akan menjadi hasilnya. Sedang sayap Marco, yang selama ini tidak mendapat medan untuk berpiawai akan menggunakan kesempatan ini. Bila ia memisahkan diri dari pimpinan Mas Tjokro, dengan sayapnya ia akan menjadi sangat berbahaya. Perkembangan secepat itu belum lagi diharapakan.[30]
Pram tidak lupa juga menulis tentang pemberontakan para karyawan pegadaian, mereka adalah para anggota PKI. mereka menuntut kenaikan upah dengan cara memboikot tidak masuk kerja, dan cara-cara tersebut juga diikuti oleh anggota PKI yang lain.
Di Jawa Timur dan Tengah orang memekik-mekik menuntut kenaikan upah sambil membelot-kerja alias staking. Pegawai-pegawai pegadaian di beberapa tempat menolak memasuki tempat kerjanya dan kumpul-kumpul di pelataran, berbaur dengan orang-orang yang hendak menggadaikan. Buruh beberapa perkebunan kemudian mengikuti.
Bahasa melayu juga menjadi alat untuk melawan system feodal Belanda, sebab bahasa tersebut lebih demokratis dari pada bahasa Belanda maupun Jawa.
“ Perhitungan tidak meleset. Hanya dengan bahasa Melayu bukan Gubermen, dan di antara orang-orang bebas, tidak dengan orang-orang dengan jabatan negeri, organisasi umum di hindia akan bisa menjadi besar dan subur. Beberapa kali aku harus bekerja keras meyakinkan Samadi, yang lebih menghendaki bahasa Jawa. Bahasa melayu, semakin jauh dari pengajaran Gubermen, semakin jauh dari orang-orang feodal, semakin demokratis dan menjadi alat perhubungan yang nyaman, memang bahasa bebas untuk orang bebas. Dan hanya golongan bebas yang akan menentukan nasib bangsa-bangsa Hindia, karena salah satu syarat untuk persatuan bagi bangsa-bangsa ganda ini adalah dekat mendekati atas dasar demokrasi[31].”
Perkembangan kesadaran mulai terlihat di sini, bahwa media jurnalistik adalah alat yang paling ampuh untuk melawan system yang menindas. Karena jurnalistik mampu membangun opini masyarakat, tanpa harus pergi ke daerah-daerah tersebut.
Dari semua kegiatan Pribumi itu, ternyata yang dianggap mahkota kegiatan adalah jurnalistik. Dan barang tentu bukan jurnalistik sebagaimana dikenal oleh Eropa, tapi menulis di Koran atau majalah dengan nama terpampang, baik nama benar, nama pena atau inisial. Gejala baru ini langsung berasal dari Raden Mas Minke, ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Ucapan lain dari si Gadis Jepara: menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan jurnalistik gaya Hindia merupakan perpaduan alamiah dari gerakan Pribumi untuk kepemimpinan dan keabadian.[32]
Berikut adalah tulisam Mas Marco Kartodikromo, dengan slogan “ Sama Rata Sama Rasa” yang begitu kuat tuntutan keadilan :
Dari tulisannya (Mas Marco Kartodikromo) dapat diketahuai apa sesungguhnya yang selama ini hidup dalam sanubarinya.
Pada suatu hari dia tak mampu bekerja. Bininyapun tidak, karena telah jatuh sakit terlebih dahulu. Tinggal anaknya yang berumur sembilan tahun yang masih sehat. Tak urung punggawa desa memaksa anak umur sembilan tahun itu berangkat juga mewakili bapak dan emaknya.
Anak ini menangis sepanjang jalan setapak yang empat kilo meter jauhnya itu. Bukan hanya karena lapar, kakinya disarangi bubul, dan patek meruyak sepenuh badan. Dalam iring-iringan yang berjalan lambat-lambat itu terdapat perempuan kurus yang sedang bunting tua, kakek-kakek yang bertongkat dan terbatuk-batuk, seorang lelaki yang menggendong anak susuan karena emaknya baru saja mati kelaparan.
Iring-iringang calon mayat pada beberapa bulan mendatang semua menuju keselatan. Kekebun nila Gubermen. Kerja paksa. Tanam paksa! Tanpa upah. Cultuurstelsel
Nama desa itu adalah Cepu. Bukan Cepu yang sekarang. Desa itu miskin. Tetapi bekas desa ini sekarang telah jadi distrik yang terkaya di Hindia. Disini aku dilahirkan. Disini pula aku dengarkan cerita orang-orang tua yang dahulu setiap hari dalam sekian bulan berangkat kekebun nila Gubermen, tanpa upah, tanpa jaminan, tidak sempat menggarap sawah dan ladang sendiri. Dan setiap hari ada saja diantara mereka berjatuhan mati karena sakit dan lapar.
Desaku seperti desa-desa lain. Semestinya orang hidup bertani, mencari kayu dihutan, berternak kambing, sapi, ayam dan dirinya sendiri, dan hidup dalam keluarga besar. Tetapi cultuurstelsel telah mencerai beraikan keluarga besar itu dan merampas nasi dan jiwa mereka.
Pendeknya jangan bayangkan Cepu desaku sebagai Cepu distrik yang sekarang ini. Cepu desaku dilindungi oleh begitu banyak pohon buah, Cepu distrik dilindungi oleh tiang-tiang listrik dan telfon.
Sianak berumur sembilan tahu itu sudah bekerja selama sepuluh hari ketika Ia ditemui dirumahnya yang kosong dimalam hari. Daun-daunan yang ia kumpulkan dari perjalanan pulang Ia letakkan diatas lantai tanah . tungku dingin. Tak ada makanan, tak ada orang. Ia berseru-berseru memanggil-manggil bapak dan emaknya yang sakit tanpa jawaban. Ia pergi kerumah tetangga-tetangga. Melulu orang-orang sakit saja yang ada. Yang seperempat dan setengah sakitpun pada pergi.
Menjelang subuh bapaknya pulang bergandengan tangan dengan orang-orang lain yang sama kehabisan tenaga, tunjang menunjang agar tak roboh dan tak tersasar dalam kegelapan. Mereka baru pulang dari menguburkan emaknya.
Sebulan kemudian lebih banyak lagi orang dikuburkan semacam itu, termasuk bapaknya sendiri.
Sibocah itu terus juga melakukan kerja paksa makannya rumput muda, karena itulah yang termudah didaptnya sewaktu kerja. Lagi pula daun dan buah muda petai cina itu, biarpun agak berasa, membikin semua rambutnya rontok, dan dalam keadaan kurus kering tanpa rambut, orang akan kelihatan seperti setan.
Pada suatu kali orang mendengar kabar, Gubermen telah menghapuskan kebun nila, menghapuskan kerja tanam paksa. Tetapi desa itu terus juga melakukan tanam paksa sampai dua tahun lagi. Dikemudian hari dapat aku ketahui, tanam paksa setelah Gubermen menghapuskannya adalah untuk kepentingan pembesar-pembesar setempat, Eropa dan pribumi.
Aku tak tahu bagaimana jalannya maka tanam paksa akal-akalan setempat itu akhirnya dihentikan. Mungkin juga karena pembagian hasil yang tidak seimbang. Pendeknya aku tahu. Itu urusan dewa-dewa yang berkuasa. Maka orang kembali mengerjakan sawah dan ladang yang telah kembali jadi hutan dan semak-semak. Penduduk telah berkurang lima puluh persen. Maka pembukaan hutan kembali dan semak itu tidak begitu sempurna. Dan pemerintah desa tidak menjadi lebih baik dengan penghapusan pertanian Negara alias Cultuurstelsel tu.
Kemudian menyusul berita-berita, kebun-kebun Gubermen akan dijadikan kebun swasta. Dan kebun-kebun itu akan jadi milik orang-orang Eropa. Orang-orang desa boleh bekerja di sana kalau mau, dengan mendapat upah cukup-cukup untuk makan sekeluarga.
Sementara itu si bocah itu telah berumur sebelas tahun, sudah lebih kuat dari tiga tahun sebelumnya. Berita-berita itu tak pernah menjadi kenyataan. Yang benar: tanha-tanah perorangan dan desa malah dirampas oleh Gubermen, termasuk lima-perenam dari milik desa. Juga katanya untuk perkebunan sawsta. Melihat perampasan itu, petani-petani yang baru saja bangun dari kematian dan kelaparan, bangkit marah. Di pimpin oleh pak Samin, seorang desa lain, sebuah pemberontakan tani terjadi.
Si bocah berumur tiga belas tahun itu menggambungkan diri dengan para pemberontak. Tapi petani-petani itu dikalahkan dan dikalahkan dengan mudah, oleh polisi lapangan, yang didatangkan dari kota. Mereka tak pernah berhadapan dengan kompeni, karena kabarnya semua mereka ditarik ke Aceh.
Penduduk lelaki yang terlepas dari penangkapan kembali kedesa semula. Jumlahnya lebih sedikit lagi, mati dalam banyak pertempuran.
Si bocah berumur lima belas.
Rasa-rasa ketenangan dan kedamaian akan berlangsung terus dan tanah-tanah akan dikembalikan. Ternyata tidak. Tanah-tanah yang dirampas mulai dihutankan dengan jati. Katanya, tak ada perusahaan Eropa mau mengerjakan tanah rampasan, yang dianggap terlalu banyak mengandung kapur dan tidak subur itu.
Ternyata bintang kecelakaan tetap bersinar. Kemudian penduduk diusir dari desa, karena perusahaan minyak akan mendirikan kantor-kantor dan kilang-kilang di situ. Penduduk pindah dengan ternaknya, kembali membabat hutan untuk ladang, sawah dan perumahan. Orang bilang, tanah yang dirampas itu akan diganti dengan uang, tapi tak seorang pun pernah melihat uang yang dijanjikan tanpa jumlah disebutkan itu. Bahkan setiap pohon di atas tanah rampasan, katanya, telah dibayar penuh. Hanya berita belaka.
Desaku yang sejuk di bawah rerimbunan pohon-pohon buah seperti disulap berubah jadi tanah lapang. Podok-pondok hilang. Jalan-jalan yang indah dibangun, demikian juga gedung-gedung. Semua serba indah, hanya bukan milik penduduk desa.
Si bocah tinggal di desanya yang baru. Disana ia kawin dengan sisa dari perawan-perawan yang tidak direnggut oleh maut. Dan di antara anak-anak adalah aku.
Dikemudian hari, jauh di kemudian hari, dapat kuketahui, bahwa dalam hanya lima tahun, perusahaan minyak yang bermodal lima ribu gulden itu telah menjadi perusahaan raksasa dengan kekayaan setengah juta gulden. Penduduk yang terusir dari desanya tak pernah mendengar, apalagi melihat, keuntungan-keuntungan besar itu. Juga di kemudian hari kuketahui, bahwa jati yang dihasilkan oleh bumi nenek moyangku adalah jati terbaik di seluruh dunia, terkenal dengan nama dagang Java-teak. Bahkan kwalitas satu tak boleh dipergunakan di Hindia, hanya khusus untuk ekspor. Dan kami, tak pernah mendapat bagian dari keuntungan itu. Hanya seluruh kerugian dan kehilangan ditimpakan pada kami.
Betapa anehnya pembagian rezeki dan pembagian nasib bikinan manusia ini. Aku tahu dan berani membuktikan, bahwa tuan-tuan minyak ini pada mulanya adalah insiyur Geologi Gubermen di Bandung. Dengan tugas Gubermen mereka melakukan eksplorasi-eksplorasi di daerah hidup aku, orang tuaku, tetangga dan sanak-keluarga, di atas tanah nenek-moyangku dilahirkan, dan dikuburkan. Penduduk desa selalu menyambut pendatang-pendatang itu dengan baik dan ramah, tak perduli warna kulit dan apa agamanya. Kayu-bakar, kelapa tua dan muda, buah-buahan kami antarkan ketempat mereka. Setelah sumber ditemukan, mereka balik kembali ke Bandung, dan : minta keluar dari jabatan Gubermen. Mereka kembali lagi ke Cepu sebagai nyamuk-nyamuk raksasa yang menyedot darah, daging, tanah kami, dan minyak kami dalam kandungan bumi nenek-moyangku. Dalam sepuluh tahun perusahaan minyak ini telah jadi perusahaan berjuta, sedang bekas tuan rumahnya telah kehilangan tanah dan tetap hidup dalam keadaan yang semakin miskin. Bukan itu saja, dari petani bebas berbahagia mereka mulai berubah jadi kuli-kuli bekas tamunya.
Ketika pengeboran-pengeboran baru sedang giat-giatnya dilakukan di sekitar daerah hidup kami, aku dilahirkan. Bapakku, si bocah berpatek dan berbubul dulu, kini bukan lagi kuli minyak. Ia jadi lurah. Dan perusahaan minyak menjadi rakus akan tanah. Mereka takut saingan perusahaan-perusahaan minyak lainnya yang tumbuh seperti cendawan di sekitar daerah hidup kami. Tanah-tanah yang dirampas mulai dibayar. Pesaing-pesaing itu takut saling membongkar kejahatannya terhadap penduduk.
Desa kami rasa-rasanya telah kehabisan tanah untuk melepas ternak besar kami. Bila ada salah seekor ternak kami lepas dan memasuki daerah perusahaan minyak, polisi minyak akan menangkapnya, menyitanya, dan pemiliknya dicari untuk didenda, seratus kali penghasilan umum dalam sehari, alias ringgit.
Aku hanya hendak menceritakan, dalam pemerintahan Gubermen masih ada pemerintahan minyak, dua-duanya harus dipatahkan oleh penduduk desa kami.
Sekarang ribuan orang dari daerah-daerah lain, segala bangsa, datang mencari penghidupan di Cepu. Dalam waktu pendek Cepu, yang tadinya terdiri hanya atas tiga desa berbiak menjadi dua puluh tiga desa, menjadi kota yang sibuk. Kejahatan dan kemesuman merajalela. Sipilis mulai merambat desa kami, dan meninggalkan orang-orang cacat dan invalid sebagai beban desa.
Hampir-hampir terjadi pemberontakan lagi di kalangan petani. Mendadak beberapa orang di antara penduduk desa di tangkapi dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya. Mereka ditangkapi oleh polisi-polisi minyak.
Setelah itu rasa-rasanya keadaan takkan gelisah lagi. Seakan-akan kembalilah keamanan yang lama dalam segala kekerdilannya. Baik Gubermen maupun perusahaan minyak tetap tak berbagi keuntungan dengan penduduk. Dan pada kami tak ada ternak besar lagi. Peternakan desa pun telah tumpas semasa tanam-paksa.
Kalau aku seorang Ameri Srikat, Tuan-tuan pembaca yang terhormat, tahulah Tuan-tuan apa yang akan aku perbuat: tarik pistol dan membela apa yang masih dapat dibela. Tapi aku hanya seorang bocah pribumi tanpa sarana, tanpa pengetahuan tentang dunia. Bahkan di mana sesungguhnya desa tempat kelahiranku di tengah-tengah dunia ini, aku tak tahu. Di mana tempat orang-orang yang memiskinkan kami aku tak tahu. Aku hanya lulusan sekolah desa tiga tahun, dididik untuk jadi kuli minyak, bekerja untuk mereka yang telah merampas tanah leluhurku. Dididik untuk tetap tidak berpengetahuan, dan mematuhi segala apa saja yang diperintahkan pada kami oleh tuan-tuan kulit putih.
Ketika bapakku hendak meninggal, ia berpesan dengan sangat:
“ Mereka telah merampas semua dari kita. Jangan, Nak, jangan kau lebih lama jadi kulinya. Pergi kau ke Bandung. Mengabdilah pada seorang yang mulia hati. Orang itu bernama Raden Mas Minke. Carilah orang itu. Lakukan segala yang diperintahkan kepadamu, dan contohlah perbuatannya yang baik[33]. “
[1] Pramoedya Ananta Toer, Realisme sosialis dan sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003)., hlm. 39.
[2] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa ( Yogyakarta : Hasta Mitra, 2002), hlm. 209.
[3] Ibid…hlm.130-131.
[4] Pramoedya Ananta Toer, op. cit.,hlm. 174.
[5] Ibid., hlm. 177.
[6] Pramoedya Ananta Toer,. Op. cit., hlm 209.
[7] Ibid, hlm. 208.
[8] Ibid., hlm. 302-303.
[9] Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Yogyakarta: hasta Mitra, 2002), Cet ke-4., hlm.79.
[10] Ibid., hlm. 178-179.
[11] Ibid., hlm. 215.
[12] Ibid., hlm. 38 .
[13] Ibid., hlm. 231.
[14] Ibid., hlm. 294.
[15] Ibid., hlm. 315.
[16] Ibid., hlm. 448.
[17] Ibd., hlm. 416.i
[18] Ibid., hlm. 423.
[19] Ibid., hlm. 400.
[20] Ibid., hlm. 400-401.
[21] Ibid., hlm. 404.
[22] Ibid., hlm. 407.
[23] Ibid., hlm. 483.
[24] Ibid., hlm. 405.
[25] Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Yogayakarta: Hasta Mitra, 2002),. hlm. 134.
[26] Ibid., hlm 146.
[27] Pramoedya Ananta Toer, op. cit. hlm. 77.
[28] Ibid., hlm. 175.
[29] Ibid., hlm. 245.
[30] Ibid., hlm. 291.
[31] Ibid., hlm. 226.
[32] Ibid,. hlm. 352-353.
[33] Ibid….hlm. 246-250.
