Kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan Weber (Ritzer, 2000) merupakan kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah- tengah mereka (Zubir, 2002). Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan (apa yang disebut sebagai) gerakan sosial atau social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya (Tarrow, 1994).
Scott (2000) mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (minsalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau kelompok superdinat terhadap mereka. Scott (2000) membagi perlawanan tersebut menjadi dua bagian, yaitu: perlawanan publik atau terbuka (public transcript) dan perlawanan tersembunyi atau tertutup (hidden transcript).
Kedua kategori tersebut, oleh Scott (2000), dibedakan atas artikulasi perlawanan; bentuk, karekteristik, wilayah sosial dan budaya. Perlawanan terbuka dikarakteristikan oleh adanya interaksi terbuka antara kelas – kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat. Sementara perlawanan sembunyi- sembunyi dikarakteristikan oleh adanya interaksi tertutup, tidak langsung antara kelas- kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat.
Untuk melihat pembedaan yang lebih jelas dari dua bentuk perlawanan di atas, Scott (2000) mencirikan perlawanan terbuka sebagai perlawanan yang bersifat: 1) organik, sistematik dan kooperatif, 2) berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri, 3) berkonsekuensi revolusioner, dan / atau 4) mencakup gagasan atau maksud meniadakan basis dominasi. Dengan demikian, aksi demonstrasi atau protes yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan (dan lain- lain) merupakan konsekuensi logis dari perlawanan terbuka terhadap pihak superdinat (Tarrow, 1994).
Menurut Fakih (Zubir, 2002), gerakan sosial diakui sebagai gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena memiliki orientasi pada perubahan, dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan analisis. Mereka tidak bekerja menurut prosedur baku, melainkan menerapkan struktur yang cair dan operasionalnya lebih diatur oleh standar yang muncul saat itu untuk mencapai tujuan jangka panjang. Mereka juga tidak memiliki kepemimpinan formal, seorang aktivis gerakan sosial tampil menjadi pemimpin gerakan karena keberhasilannya mempengaruhi massa dengan kepiawaiannya dalam memahami dan menjelaskan tujuan dari gerakan serta memiliki rencana yang paling efektif dalam mencapainya (Zubir, 2002).
Soekanto dan Broto Susilo (1987) memberikan empat ciri gerakan sosial, yaitu: 1) tujuannya bukan untuk mendapatkan persamaan kekuasaan, akan tetapi mengganti kekuasaan, 2) adanya penggantian basis legitimasi, 3) perubahan sosial yang terjadi bersifat massif dan pervasive sehingga mempengaruhi seluruh masyarakat, dan 4) koersi dan kekerasan bia sa dipergunakan untuk menghancurkan rezim lama dan mempertahankan pemerintahan yang baru.
J. Smelser (Sihbudi dan Nurhasim, ed., 2001) menyatakan, bahwa gerakan social ditentukan oleh lima faktor. Pertama, daya dukung struktural (structural condusiveness) di mana suatu perlawanan akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan (seperti lingkungan kampus, buruh, petani, dan sebagainya). Kedua, adanya tekanan- tekanan struktural (structural strain ) akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan.
Ketiga, menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas untuk membangun perasaan kebersamaan dan juga dapat menimbulkan kegelisahan kolektif akan situasi yang dapat menguntungkan tersebut. Keempat, faktor yang dapat memancing tindakan massa karena emosi yang tidak terkendali, seperti adanya rumor atau isu- isu yang bisa membangkitkan kesadaran kolektif untuk melakukan perlawanan. Kelima, upaya mobilisasi orang- orang untuk melakukan tindakantindakan yang telah direncanakan.
Sedangkan perlawanan sembunyi- sembunyi dapat dicirikan sebagai perlawanan yang bersifat: 1) tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual, 2) bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri, 3) tidak berkonsekuensi revolusioner, dan/ atau 4) lebih akomodatif terhadap sistem dominasi. Oleh karena itu, gejala- gejala kejahatan seperti: pencurian kecil- kecilan, hujatan, makian, bahkan pura- pura patuh (tetapi dibelakang membangkang) merupakan perwujudan dari perlawanan sembunyisembunyi (Scott, 2000).
Perlawanan jenis ini bukannya bermaksud atau mengubah sebuah system dominasi, melainkan lebih terarah pada upaya untuk tetap hidup dalam sistem tersebutsekarang, minggu ini, musim ini (Scott, 1993). Percobaan- percobaan untuk menyedot dengan tekun dapat memukul balik, mendapat keringanan marjinal dalam eksploitasi, dapat menghasilkan negosiasi- negosiasi tentang batas- batas pembagian, dapat mengubah perkembangan, dan dalam peristiwa tertentu dapat menjatuhkan sistem.
Tetapi, menurut Scott (1993), semua itu hanya merupakan akibat- akibat yang mungkin terjadi, sebaliknya, tujuan mereka hampir selalu untuk kesempatan hidup dan ketekunan. Bagaimanapun, kebanyakan dari tindakan ini (oleh kelas- kelas lainnya) akan dilihat sebagai keganasan, penipuan, kelalaian, pencurian, kecongkakan- singkat kata semua bentuk tindakan yang dipikirkan untuk mencemarkan orang- orang yang mengadakan perlawanan. Perlawanan ini dilakukan untuk mempertahankan diri dan rumah tangga. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komoditi kecil atau pekerja, mungkin dapat memaksa beberapa orang dari kelompok ini menyelamatkan diri dan mengorbankan anggota lainnya (Scott, 1993).
Scott (2000) menambahkan, bahwa perlawanan jenis ini (sembunyi- sembunyi) tidak begitu dramatis, namun terdapat di mana- mana, melawan efek- efek pembangunan kapitalis asuhan negara. Perlawanan ini bersifat perorangan dan seringkali anonim. Terpencar dalam komunitas- komunitas kecil dan pada umumnya tanpa sarana- sarana kelembagaan untuk bertindak kolektif, menggunakan sarana perlawanan yang bersifat lokal dan sedikit memerlukan koordinasi (Scott, 2000).
Koordinasi yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah konsep koordinasi yang dipahami selama ini, yang berasal dari rakitan formal dan birokratis. Tetapi merupakan suatu koordinasi dengan aksi- aksi yang dilakukan dalam komunitas dengan jaringanjaringan informasi yang padat dan sub kultur – sub kultur perlawanan yang kaya. Tidak terdapat aksi- aksi huru hara, demonstrasi, pembakaran, kejahatan sosial terorganisisr, dan kekerasan terbuka. Perlawanan ini akan terus berlangsung selama struktur social masih eksploitatif dan tidak adil (Scott, 2000).
Menurut Basrowi dan Sukidin (2003), studi yang membahas tentang gerakan dapat dijelaskan dengan menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan moral ekonomi. Pada pendekatan ini, aspek pokok yang memicu gerakan adalah: 1) adanya reaksi terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup komunitasnya yang berada dalam kondisi subsistensi, 2) faktor kepemimpinan sebagai faktor kunci gerakan dan umumnya berasal dari kalangan elit desa atau patron. Kedua, pendekatan ekonomi politik yang menyatakan bahwa gerakan pada dasarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual terhadap perubahan yang dikalkulasikan merugikan dan mengancam mereka. Keputusan melakukan gerakan terletak pada individu yang menganggapnya sebagai pilihan yang efektif dan efisien. Ketiga, pendekatan historis yang memfokuskan pada keberlangsungan kesejahteraan yang terdapat pada suatu masyarakat. Gerakan dipahami sebagai akibat dari terjadinya penyimpangan dan ancaman terhadap nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang dimiliki.
Perlawanan merupakan bentuk dari pernyataan sikap yang dilakukan oleh masyarakat. Penyikapan masyarakat tersebut dalam bentuk perlawanan terhadap kelompok atau pihak yang dianggap me ngancam eksistensi mereka selalu mengalami perubahan (Kusuma dan Agustina, ed., 2003). Hal ini tidak terlepas dari pengaruh isu yang diangkat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Soekanto (Kusuma dan Fitria, ed., 2003) berpendapat bahwa selama dasawarsa yang mendahului pemberontakan, kondisi- kondisi sosial dan ekonomi telah menimbulkan tekanan- tekanan dan tuntutantuntutan berbeda dari sebelumnya. Kemudian Soekanto menambahkan, tuntutan tersebut disebabkan oleh masalah- masalah yang sifatnya kumulatif dan tidak terungkap yang merupakan sumber frustasi bagi pemicu timbulnya perlawanan.
Zubir (2002) menyatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran (seperti buruh, pedagang, petani, dan lain- lain) bersifat sporadis. Dalam memperjuangkan keinginannya, gerakan ini tidak memiliki strategi perjuangan yang jelas sehingga lebih mudah untuk dipadamkan oleh pihak- pihak yang berkuasa. Apabila gerakan ini telah dimasuki oleh unsur idiologis, maka gerakan ini akan menjadi suatu gerakan yang radikal. Dalam percaturan politik, massa dari kelompok ini menjadi lahan perebutan yang subur dari berbagai kelompok yang bertikai. Ia memiliki tujuan yang jelas dan dalam gelombang yang besar, gerakan ini memiliki kecenderungan melawan arus zaman, arus dari status quo yang berkuasa. Gerakan seperti ini biasanya dipelopori oleh mahasiswa sebagai aktor intelektual (Zubir, 2002).
Gurr dalam Mas’oed (1998) menyatakan, bahwa adanya empat faktor yang menentukan intensititas perlawanan dan potensi untuk melakukan tindakan politis sebagai jalan keluar. Pertama, seberapa parah tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif komunal itu dibandingkan dengan kelompok lain. Kedua, kekuatan atau ketegasan identitas kelompok yang merasa terancam. Ketiga, keandalan derajat kohesi dan mobilisasi kelompok. Dan keempat, kontrol represif atau daya paksa tidak adil oleh kelompok- kelompok dominan.
Menurut Alain Touraine seperti yang dikuti oleh Adijtonro (1994) dalam paper yang berjudul “large dam victims and their defendersi: the emergence of an anti- large dam movement in Indonesia”, yang kemudian dikutip oleh Sangaji (2000), terdapat tiga karekteristik gerakan sosial, yakni: identifikasi, oposisi, dan totalitas. Identifikasi berkaitan dengan aktor- aktor gerakan yang dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu para korban (peremajaan pasar) dan para pembelanya. Oposisi berhubungan dengan apa (siapa) yang hendak ditentang. Dan prinsip totalitas berhubungan dengan teori- teori yang mendasari gerakan tersebut.
Berkaitan dengan cara- cara pengungkapan atau ekspresi perlawanan, Sangaji (2000) membagi kedalam dua bentuk, yakni: 1) perlawanan yang diungkapkan secara individual, 2) perlawanan yang dilakukan melalui tindakan- tindakan kolektif atau bersama. Kedua bentuk perlawanan tersebut diekspresikan dalam beragam cara, mulai dari aksi protes terbuka, yang diungkap melalui media massa, surat protes, pengiriman delegasi, atau melalui kesempatan dialog, seminar, hingga cara- cara tertutup, seperti aksi tutup mulut dan tidak menghadiri pertemuan dengan rival.
Di samping itu, perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran ini juga mendapat dukungan dari organisasi atau individu yang umumnya berasal dari kalangan terpelajar, seperti mahasiswa, NGO, tokoh intelektual setempat (Sangaji, 2000). Mereka dibedakan atas dua kategori, yaitu: 1) para pendukung spesialis, yakni individu dan organisasi yang secara spesifik membangun keterampilan dan idiologi untuk menentang kebijakan tersebut, 2) para pendukung umum, yakni individu atau organisasi yang menganggap pembelaan tersebut merupakan bagian dari perjuangan menegakkan hak asasi dan keadilan (Sangaji, 2000).
Sangaji (2000) menambahkan, bahwa alasan dilakukannya perlawanan oleh pelaku perlawanan dibagi atas dua. Pertama, alasan yang berdimensi sosio- kultural, berkaitan dengan tanah leluhur, biasanya alasan ini diungkapkan oleh penduduk asli. Kedua, alasan- alasan yang bersifat sosial- ekonomi, biasanya diungkapkan oleh penduduk pendatang yang telah lama bermukim di tempat tersebut. Menurut A.S. Hikam (Prisma, 1990), terjadinya perlawanan terhadap kekuasaan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, fenomena perlawanan dari sudut pandang otoritas moral sebagai basis hubungan- hubungan sosial dan stabilitas sosial.
Pandangan ini berargumen, bahwa terjadinya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan merupakan suatu bentuk keberangan moral. Dan hal ini, menurut Moore (Prisma, 1990), dipengaruhi oleh tiga elemen penting dalam sistem sosial: 1) Koordinasi sosial atau kekuasaan, 2) pembagian kerja, dan 3) distribusi barang. Koordinasi sosial dan kekuasaan akan selalu dievaluasi oleh masyarakat (dalam pengertian) tentang kemampuannya memberikan perlindungan dan memelihara kedamaian serta ketertiban, sebaliknya masyarakat bertanggung jawab untuk tunduk dan mentaati kekuasaan yang berlaku. Apabila kewajiban timbal balik ini, menurut Hikam (Prisma, 1990), tidak dapat terpenuhi dengan baik akan menyebabkan terjadinya keberangan moral dan kerusakan sosial.
Sementara itu, tentang pembagian kerja, Hikam (Prisma, 1990) menerangkan bahwa kegagalan dalam menciptakan keadilan dalam pembagian kerja akan mengakibatkan kesenjangan sosial, dan selanjutnya akan mengakibatkan keberangan moral dalam bentuk protes secara terbuka maupun sembunyi. Sedangkan distribusi barang, jika dilihat dari kacamata moral, akan memainkan peranan penting untuk mengurangi kontradiksi kesenjangan moral, demikian Hikam (Prisma, 1990) menjelaskan.
Kedua, perlawanan terjadi karena adanya keharusan struktural yang menentukan tindakan dan perilaku- perilaku individu. Menurut Hikam (Prisma, 1990), pandangan ini berpendapat bahwa perlawanan terhadap kekuasaan terjadi karena adanya dukungan kolektif, bukan muncul dari kehendak individu. Konflik yang timbul dari fenomena kekuasaan yang mendominasi masyarakat, ternyata telah menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang di dominasi. Konflik yang tidak bisa terselesaikan dengan baik akan menimbulkan kerusakan sosial di masyarakat (Prisma, 1990). Oleh karena itu, konflik perlu diselesaikan dengan baik, yang dikenal dengan resolusi konflik (conflict resolution).