Suatu sore di saat musim gugur, ketika kami sekeluarga sedang menikmati jalan-jalan sore. Kami melewati sebuah rumah berhalaman luas, dipenuhi oleh pepohonan. Di kanan kiri rumah tersebut diapit oleh apartemen. Rumah tersebut tidak jauh dari supermarket. Ada yang menarik perhatian saat kami melewati rumah itu. Di halaman depan rumah itu, pemiliknya berjualan buah aki (seperti buah kesemek, kalau di Indonesia). Sekilas tidak ada yang aneh,untuk kebiasaan di negara mereka. Mereka berjualan tanpa rasa takut akan jualan mereka dicuri orang. Tidak ada orang yang menunggu jualannya dan mereka tak memerlukan CCTV untuk mengawasi jualannnya. Untuk pembayarannya pun mereka sudah meletakkan tempat uang beserta harga yang akan diijual. Tak ada rasa was-was sedikit pun.
Subhanallah, betapa saya yang terbiasa hidup di negara yang penuh rasa was-was dan curiga, cukup dibuat berdecak kagum.Saya berpikir, “bagaimana ya, kalau keadaan itu diterapkan di Indonesia?”. Mungkin jualannya sudah habis dan tidak akan mendapatkan uang sepeser pun. Bukannya saya pesimis atau pun berhusnudzon. Seperti contohnya, tetangga di sebelah rumah saya yang juga berprofesi sebagai pedagang, saat dikecoh dengan cara meminta dibuatkan minuman kopi.Saat kopi selesai dibuat maka menghilang pulalah orang yang datang tersebut dengan membawa sejumlah barang dagangan tetangga saya. Tapi memang seperti itulah kenyataannya. Masyarakat di negara yang saya ceritakan tadi, mereka sadar akan hukum, karena memang hukum ditegakkan di negara tersebut. Di suatu negara yang mana hukum benar-benar ditegakkan, maka akan sedikit sekali pelanggaran hukum yang terjadi. Selain itu pun kebiasaan untuk berbuat jujur ditanamkan sejak anak-anak usia dini. Padahal negara tersebut, secara umum masyarakat bukan beragama Islam yang punya rasa takut kalau Allah SWT senantiasa mengawasi.
Sungguh ironi memang. Beberapa waktu yang lalu, saat suami ada tugas di acara Olimpiade Sains Nasional(OSN) di Makasar, ada kejadian yang cukup menggelitik. Saat ujian OSN sedang berlangsung, ada anak yang sering bolak balik ke toilet. Ternyata anak tersebut menyembunyikan HP di tempat sampah dekat toilet. Jadi ketika ada soal OSN yang tidak dimengerti, anak tersebut langsung pergi ke toilet untuk menghubungi pembimbingnya supaya bisa menyelesaikan soal yang tdak bisa dikerjakannya. Selain anak tersebut ada juga anak yang lain yang sering bolak balik ke lobi untuk menghubungi pembimbingnya. Beruntung kejadian tersebut diketahui panitia. Paling tidak kecurangan yang terjadi tidak terus berlanjut.
Lain waktu ada juga kejadian di salah satu universitas terkenal, yang mana mahasiswanya rela berbohong untuk mendapatkan nilai yang baik dengan cara menyalin jawaban soal yang benar. Setelah lembar jawaban ujian (LJU) dinilai, dan diumumkan, mahasiswa diberi kesempatan untuk melihat LJU kalau-kalau ada jawaban yang belum atau salah dinilai dengan cara menyamakan dengan solusi ujian. Ternyata mahasiswa tersebut mengganti LJU-nya dengan kertas baru yang sebelumnya telah ditulis dengan jawaban yang benar dan membawa berbagai macam spidol dan pena serta membuat seolah-olah ada kesalahan nilai pada jawaban yang diberikannya saat ujian, tetapi akhirnya ketahuan karena perbedaan nilai cukup besar dan terdapat keanehan pada kertas LJU yang digunakan. Kasus ini ditindaklanjuti dengan memberikan hukuman mahasiswa tersebut tidak boleh ikut kuliah selama satu tahun, dan harus mengulang mata kuliah tersebut.
Ironinya, saat orang tua mahasiswa tersebut dipanggil, ternyata kedua orang tuanya adalah aparat penegak hukum. Yang satu hakim,dan yang satunya lagi adalah notaris. Apa yang ada dipikiran orang tua mahasiswa tersebut kala mengetahui anaknya melakukan praktek kecurangan.
Mungkinkah kebiasaan yang berlaku di masyarakat Indonesia, yang menyebabkan anak dan mahasiswa tersebut melakukan kecurangan? Bagi sebagian masyarakat mungkin tuntutan akan hasil, lebih dihargai dari pada prosesnya sendiri. Pada Allah SWT lebih menghargai Proses, karena hasil diserahkan kepada keputusan Allah SWT.