Ada sebuah syair arab yang sungguh dalam kalau kita resapi artinya, kurang lebih terjemahannya seperti ini :
Ketika dilahirkan, kita menangis begitu kerasnya sementara orang-orang disekelilingย kita tersenyum bahagia.
Ketika kita menanggalkan hidup maka, kita adalah pihak yang tersenyum begitu bahagia sementara orang disekeliling kita menangis.
Syair tersebut menggambarkan bahwa kebahagian adalah hal nisbi, hanya orang tersebutlah yang mampu merasakan, dan hanya kita sendiri yang mampu memanagenya. ย Mau dibawa kemana kehidupan kita, Bahagia atau sengsara?. Tentunya islam telah mengajarkan bagaimana kita bisa mendapatkan kebahagiaan.
Islam menyatakan bahwa kebahagiaan atau dikenal dengan sebutan saโadah itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka. Kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu โ yakni: keyakinan akan Hak Ta’ala โ dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.’
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja kerasย untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain.
Seorang disebut orang yang bahagia bila dalam keadaan senang atau pun susah, lapang maupun sempit ia tetap merasa bahagia. Sedang seorang yang merasakan bahagia hanya ketika kelapangan memenuhi hidupnya, ia adalah seorang yang memiliki kebahagiaan. Bila kelapangan itu berganti kesempitan, bahagia itu akan hilang dari dirinya.
Maka kunci utama menjadi orang yang bahagia adalah dengan menciptakan bahagia itu di hati kita melalui rasa SYUKUR. Bahagia itu ternyata tidak perlu di cari, namun ia dapat kita ciptakan atau hadirkan di hati kita.
Rasulullah SAW memberikan teladan kepada kita untuk selalu mengucapkan โAlhamdulillahโ sebagai tanda syukur kita. Dengan memaknai โAlhamdulillahโ tidak hanya dengan lisan juga dengan hati kita yang sungguh-sungguh meyakini bahwa apa yang terlihat sempit belum tentu sempit, sebaliknya yang terlihat lapang belum tentu lapang.
Ahli Hikmah mengatakan:
“Kalau engkau kaya. senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit melalui hartamu.
“Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepadamu lagi, lantaran kemiskinanmu…”
“Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacimu…”
Mudah-mudahan. Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin.
Wallahu aโlam bisshowab.
Moch Wahib Dariyadi
Leave a Reply