MENJADIKAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH
DUA SUMBER HUKUM YANG PADU
Nama : Tazkiya Nur Azmina
NIM : 210231605233
Offering : B 12
Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam
- A. Kehujjahan Al-Hadits Sebagai Sumber Syari’ah
Para ulama’ menegaskan bahwa hadits yang shahih dapat dijadikan hujjah bagi segenap umat islam. Hal ini dikarenakan dalil Qur’ani yang menegaskan kaum mu’min untuk senantiasa taat kepada Nabi SAW. Telah jelas, tanpa membutuhkan takwil. Sedangkan ketaatan kepada beliau terwujud dengan berpegang pada sunnahnya serta mengamalkan hadits-hadits beliau SAW. Seorang muslim tidaklah cukup membatasi diri hanya mengambil hukum-hukum dari al-Qur’an tanpa al-Sunnah, karena hal ini merupakan indikasi ketidak taatan seseorang pada Rasulullah SAW. sebagai pondasi keimanan seorang muslim.
Secara umum al-Sunnah selalu sesuai dengan al-Qur’an, karena al-
Sunnah berfungsi menjelaskan kesamaran, merinci yang global, serta menjadi penjelas ayat-ayat al-Qur’an. Demikian juga hukum-hukum syar’i yang hanya berdasarkan pada dalil al-Sunnah tidaklah menurunkan derajatnya sebagai sumber hukum, karena semua yang bersumber dari al-Sunnah al-Shahîhah adalah haq. Sebagaimana firman Allah:
01
Diriwayatkan oleh Abd al-Rahmân ibn Yazîd11, bahwa beliau melihat seorang lelaki yan berihram pada musim hajji menggunakan pakaian yang berjahit. Kemudian Abd al-Rahmân mengingatkan lelaki tersebut agar melepas pakaiannya dan mengikuti sunnah Rasul. Serta-merta lelaki tersebut berkata: ”Tunjukkan padaku (jika memang ada) ayat Qur’an yang melarang hal tersebut!.” Maka Abd al-Rahmân membacakan firman Alloh:
01
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
10Qs. Al-Najm: 3
11Dia bergelar Ibn al-Qoys, Abû Bakr al-Kûfî, lihat: Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqolânî, Tahdzîb al- Tahdzîb 6 (India: tp, 852 H), 299.
12Qs. Al-Hasyr: 7. Diriwayatkan oleh Abd al-Bir , lihat: Ibn Abd al-Bir, Jâmi’ Bayân al-Ilmi wa Fadhlihî,
Jûs II bab Maudhî’u al-Sunnah…. (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 463 H), 189.
- Taujih Rabbani Tentang Kehujjahan Al-Sunnah
- Perintah untuk Beriman kepada Para Rasul adalah Indikasi Wajibnya Taat pada
Rasululloh SAW.
َمْ هُُُْْ
أَمْ َهُ لَمْ هِِبرَدْنِعَُءادهشْ
لاوَنوقُيدِ صِ
لاَمُ هُ َكِئلوُأَهِِلسُ رُوَهِّللاِبَاوُنماءَنيذِ ّلاوَ
01َمِيحِ جْلاَبُ
احصْ
أَكِئلوُأَانِتايآِبَاوُبذّ كوَاوُُفكَنيذِ ّلاوَمْ هُرُوُنو
- Perintah Beriman kepada Rasul SAW. Bersamaan dengan Perintah Iman kepada
Alloh.
|
َاوُُهذْ يَمْ َلَعٍ مِاٍَُْمْأَىلعَُهعمَاوُناكَاذِإوَهِِلوسُ روَهِّللاِبَاوُنماءَنيذِ ّلاَنوُنمِؤْمُ ْلاَامّنِإ .0
ِ ِ ِِ
ِ ِ ِِ
ِ ِ ِ
َُهوُنذِْأتسْ
ِ
يَىّتح
َباتتْلاوَهلو سُ رَىلَعَ
لّنَنذّلاَبِ
اتتْلاوَهلو سُ روَهّللابَاوُنماءَاوَُنماءَنيذّلاَاهْيأاي .1
َ 01َلُ ُْقَنْ مَِ لْنأَنذِ ّلا
- Wajibnya Taat Pada Para Rasul Merupakan Indikasi Wajibnya Taat Pada
Rasululloh Saw.
َمْ هُ َلَّوَمْ هِيْلَعَفٌ
وْخَلَفَحلصْ
أوَنماءَنْ مفَنيرِ ذِ نْمُوَنيُِشِ ُمَُلَِّّإَنيِلسُْمُ ْلاَلُ سَُُِْنَامو
01َنوُنلحْ ي
- Perintah Taat Kepada Rasul Saw Bersamaan Dengan Perintah Taat Kepada
Alloh Swt.
ََِفَمُْتعَْاَنتَنْ ِفَمْ تُ ْنمَُِِمْنْاََِلوُأوَ و
سُ ُّلاَاو
يوِ أوَهّللاَاوُعيوِ أَاوُنماءَنيذِ ّلاَاهْيأاي
َنُ
سحْ
أوٌَُيْخَكِلذََُِخَِ
ْاَخِوْ يْلاوَهِّللاِبَنوُنمِؤُْتَمُْتْنكَُنْ ِإَ ِو سُ ُّلاوَهِّللاَىلِإَُهوهُُْفَءٍَْ ش
َ 10َلًَيوِْأت
- Perintah Alloh untuk Taat kepada Rasulullah SAW. secara Mandiri.
َََِفَاودُ
جِ يَلََّمَُّمْ هُ نْيبَُج شَا ميِفَِومُ تِ
حُيَىّتحَنوُنمِؤُْيَلََّك ِبروَلَف .0
12امً يِلسْ
تَاومُ ِلسَُيوَتيْضقَامّ مَِاًُْحَمْ هِسِ فُْنأ
13Qs. Al-Hadîd, 19.
16Qs. al-Nûr: 62
17Qs. al-Nisâ’: 136.
19Qs. al-An’âm: 48
21Qs. al-Nisâ’: 59
24 Qs. al-Nisâ’: 65
12مٌَيِلأَبٌ
اذَعَمْ هُ ُيصِ ُيَوْأٌَةنْتِفَمْ هُ ُيصِ
ُتَنْ أَهُِِمْأَنْ عَنوفُِلاخُيَنيذِ ّلاَرِ ذحْ
يْلفَ .1
َ
- C. Tata Cara Menafsirkan Al-Qur’an
Untuk memperoleh penafsiran yang baik selain kelengkapan
persyaratannya, juga ada etika-etika (adabul mufassir). Sebab meskipun persyaratannya telah terpenuhi, namun jika tata caranya salah, maka akibatnya tidak memperoleh tafsiran yang baik dan benar. Seperti menafsirkan al-Qur’ân hanya dengan dasar pendapat orang, tanpa dicari dasarnya lebih dahulu, baik dari Qur’an, hadith, pendapat sahabat dan tâbi’in.
Secara garis besar tata cara menafsirkan al-Qur’ân yang baik adalah:
1) Mendahulukan tafsir al-Qur’ân dengan al-Qur’ân.
Hal ini karena suatu yang diterangkan secara global pada suatu tempat, telah dirinci pada tempat yang lain. Dengan demikian maka makna ayat akan semakin jelas dengan keterangan dari ayat yang lain, karena sebagian al-Qur’ân menafsirkan sebagian yang lain. Tapi bukan berarti boleh menafsirkan dengan ayat secara langsung tanpa dasar, melainkan harus berdasarkan riwayat baik nabi, sahabat maupun tâbi’in bahwa ayat tersebut merupakan tafsiran dari ayat yang lain.
Contoh: QS. Al-An’am: 82
ودُ تهْ مَُمَْ َهُوَنُ مْنْاَمُ هُ لَكِئلوُأَمٍْلُظِبَمْ هُ ناميِإَاوسُ
ُِْليَمْ لوَاوُنماءَنيذِ ّلا
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ditafsiri dengan QS. Luqman: 13
َمٌيظِ عَمٌْلُظلَُِْشِ لاَنّ ِإ
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar”.
2) Menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Sunnah
Dalam hal ini karena al-Qur’ân sendiri telah menjelaskan bahwa diantara fungsi sunnah adalah menjelaskan maksud al-Qur’ân seperti yang ditegaskan dalam Qs.An-Nahl (16):44.
َنوُُتّ فتيَمْ هُّلعلوَمْ هِيْلإَِ
لُِنَامَسِ اّنلِلَنََ ِيَبُتِلَُكْذِ لاَكيْلِإَانْللْنأو
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,
Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an, yakni:
نآُقلاَةولَتبَنوتيَدق : Terkadang dengan membacanya
ليصفتوَهيناعمَحُشبَنوتيَدق : Menjelaskan makna dan perinciannya
25 Qs. al-Nûr: 63
هماتحأَنايبوَهلامْإَنوتيَدق
hukumnya
: Menjelaskan keglobalan dan hukum-
هيلعَةهايللابَنوتيَدق : Terkadang memberikan tambahan
3) Menafsirkan al-Qur’ân dengan pendapat sahabat.
Bila tidak diperoleh tafsiran dari al-Qur’ân maupun al-Sunnah, maka mufassir harus mencari pendapat sahabat, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui situasi dan ihwal ketika al-Qur’ân turun. Di samping itu karena mereka mempunyai pemahaman, pengetahuan dan pengamalan yang Shâlih. Oleh sebab itu tafsir dari sahabat menduduki hadith marfû’.2
Contoh penafsiran shahabat tentang: Shirathal Mustaqim adlah: Islam, Al-Qur’an As-Sunnah,
Contoh lain ada dalam QS Al-Maidah:3
َُةذوُقوْمْلاوَُةقِنخْنمُ ْلاوَِهِبَهِّللاَُِيْغِلَلّ هَُِأَاموَُِيلِنْخِ ْلاَمُ حْ
لوَُخدّ لاوَُةتْيمْلاَمُ تُ ْيلعَتْ
مُِحُ
َاومُ سِ قْ تسْ تَنْ أوََبِ صُ
ْنلاَىلعَحِبُذَاموَمُْتْيكّ ذَامَلَِّّإَعُ ُُسّ لاَلكأَاموَُةحيطِ ّنلاوَُةيهُِتمُ ْلاو
َخوْ يْلاَنِوْشخْ اوَمْ هُوْشخْ
تََلَفَمْ تُ ِنيهَِنْ مَِاوَُُفكَنيذِ ّلاَسِئيَخوْ يْلاَقٌ سْ ِفَمْ تُ ِلذَخِلََّْنْاِب
َُُّطضْ
اََنِ مفَاًنيهَِخلَسْ لِْْاَمُ تُ لَتُ
يضِ روََِتمعِْنَمْ تُ ْيلعَتُ
مْ مْتأوَمْ تُ نيهَِمْ تُ لَتُ
ْلمكْ أ
َمٌيحِرَرٌوفُغَهّللاَنّ ِفَمٍْلَِِْفٍ
Al-Azlam mereka maknai dengan catur
ِناجتمَُُْيغَةٍصمخْ
مََِف
4) Menafsirkan al-Qur’ân dengan pendapat tâbi’in.
Bila pendapat dari sahabat juga tidak didapati, maka mufassir mencari tafsiran dari tokoh Tâbi’in seperti Mujâhid, Sa’id bin Jâbir dan lain-lain. Karena kebanyakan mereka itu menerima langsung dari sahabat.3
5) Menafsirkan al-Qur’ân dengan kaidah bahasa Arab.
Bila tidak diperoleh penafsiran dari Tâbi’in, maka barulah ditafsirkan menurut kaidah kebahasaan, karena al-Qur’ân diturunkan dalam bahasa Arab.
2 Al-Zarkashi, al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân (Mesir: Isa al-Babi al-Halaby Wa Syurakauhu, II, 1957),157.
3 Manna’ al-Qaththân, Mabâhits Fi al-Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1971), 282.
4 Qs.26: 193-195.
“(Dia) Al-Qur’ân dibawa turun oleh al-Ruh al-Amîn (Malaikat Jibril) kedalam hatimu (Muhammad), agar kamu menjadi salah seorang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas”.4
6) Menafsirkan al-Qur’ân dengan ilmu pengetahuan.
Jika kaidah kebahasaan juga tidak diperoleh, maka penafsiran dilaksanakan menurut tuntutan ilmu pengetahuan lain yaitu dengan jalan Istimbath dan Ijtihad.
Dari paparan tersebut diatas maka jelaslah bahwa yang paling baik adalah menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, karena dengan begitu kalam Ilahi dijelaskan dengan maksud Allâh itu sendiri. Namun kendalanya tidak semua ayat ada penjelasannya dalam ayat yang lain, sehingga perlu dicari penjelasan dari sunnah. Tapi dalam hal ini perlu dicermati bahwa Rasulpun belum menafsirkan al-Qur’ân seluruhnya sehingga masih diperlukan penjelasan dari sahabat yang mengetahui hal ihwal ayat dan sebab turunnya.
Contoh:
QS. Az-Zumar:6
َةيِناَم َخِاعْننْاَنمَِمْ تُ لَ لْنأوَاهْوََْاهْنمَِلعَْمٍَُّةدحِ اوَسٍ
فْ نَنْ مَِمْ تُ قلخ
َمُ تُ ِلذٍٍََ
لَ ٍٍَ
امُلَََُُِفَقٍْلخَدِ عْ بَنْ مَِاقًْلخَمْ تُ ِتاهمُّأَنِوُطُبََِفَمْ تُ قُُلخْ
يَجٍ اوَْأ
QS. Al-An’am: 125
َنوُفُصْ
ُتَىّنأفَوهُ َلَِّّإَهلِإََلََّكُ
لْمُ ْلاَُهلَمْ تُ ْبرَُهّللا
َُهردْ صَلْ عجْ
َيَُهّلضِ ُيَنْ أَهُُِْيَنْ موَخِلَسْ لِِْْلَُهردْ صَحُْشْ يَُهيدِ هيَنْ أَُهّللاَهُُِِيَنْ مف
َلََّنيذِ ّلاَىلعَسْْ ُِلاَُهّللاَُلعجْ
يَكِلذكَََءِامسّ لاََِفَدُ عّصّ
يَامّنأكََاًْ ُحَاقًِيض
َنوُنمِؤُْي