Malam sudah cukup larut, namun mata ini masih tak bisa terpejam. Semua tugas-tugas kantor yang kubawa pulang sudah selesai, tak lupa kusediakan setengah jam sebelum pukul 23.00 untuk membalas beberapa email yang baru sempat terbaca malam ini. Nyaris saja kupilih menu ‘shut down’ setelah sebelumnya menutup semua jendela di layar komputer, tiba-tiba muncul alert yahoo masuknya email baru. “You have 1 new message(s)…”. Seperti biasanya, aku selalu tersenyum setiap kali alert itu muncul, karena sudah bisa diduga, email itu datang dari orang-orang, sahabat, saudara, kerabat, intinya, aku selalu senang menunggu kabar melalui email dari mereka. Tapi yang ini … Ooopss … ini pasti main-main … disitu tertulis “From: Muhammad Rasul Allah”
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Walaupun sudah seringkali menerima junkmail atau beraneka spam, namun kali ini aku tidak menganggapnya sebagai email sampah atau orang sedang main-main denganku. Maklum, meski selama ini sering sekali teman-teman yang ‘ngerjain’, tapi kali ini, sekonyol-konyolnya teman-teman sudah pasti tidak ada yang berani mengatasnamakan Rasulullah Saw. Maka dengan hati-hati, kuraih mouse-ku dan … klik …
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> “Salam sejahtera saudaraku, bagaimana khabar imanmu hari ini …
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Kebaikan apa yang sudah kau perbuat hari ini, sebanyak apa perbuatan dosamu hari ini …”
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Aku tersentak … degub didada semakin keras, sedetik kemudian, ritmenya terus meningkat cepat. Kuhela nafas dalam-dalam untuk melegakan rongga dada yang serasa ditohok teramat keras hingga menyesakkan. Tiga pertanyaan awal dari “Rasulullah” itu membuatku menahan nafas sementara otakku berputar mencari dan memilih kata untuk siap-siap me-reply email tersebut. Barisan kalimat “Rasulullah” belum selesai, tapi rasanya terlalu berat untuk melanjutkannya. Antara takut dan penasaran bergelut hingga akhirnya kuputuskan untuk membacanya lagi.
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> “Cinta seorang ummat kepada Rasulnya, harus tercermin dalam setiap perilakunya. Tidak memilih tempat, waktu dan keadaan. Karena aku, akan selalu mencintai ummatku, tak kenal lelah. Masihkah kau mencintaiku hari ini?”
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Air menetes membasahi pipiku, semakin kuteruskan membaca kalimat-kalimatnya, semakin deras air yang keluar dari sudut mataku.
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> “Pengorbanan seorang ummat terhadap agamanya, jangan pernah berhenti sebelum Allah menghendaki untuk berhenti. Dan kau tahu, kehendak untuk berhenti memberikan pengorbanan itu, biasanya seiring dengan perintah yang diberikan-Nya kepada Izrail untuk menghentikan semua aktifitas manusia. Sampai detik ini, pernahkah kau berkorban untuk Allah?”.
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Kusorot ketengah halaman ….
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> “Sebagai Ayah, aku contohkan kepada ummatku untuk menyayangi anak-anak mereka dengan penuh kasih. Kuajari juga bagaimana mencintai istri-istri tanpa sedikit melukai perasaannya, sehingga kudapati istri-istriku teramat mencintaiku atas nama Allah. Aku tidak pernah merasakan memiliki orangtua seperti kebanyakan ummatku, tapi kepada orang-orang yang lebih tua, aku sangat menghormati, kepada yang muda, aku mencintai mereka. Sudahkah hari ini kau mencium mesra dan membelai lembut anak-anakmu seperti yang kulakukan terhadap Fatimah? Masihkah panggilan sayang dan hangat menghiasi hari-harimu bersama istrimu? Sudahkah juga kau menjadi pemimpin yang baik untuk keluargamu, seperti aku mencontohkannya langsung terhadap keluargaku?.
“Aku telah memberi contoh bagaimana berkasih sayang kepada sesama mukmin, bersikap arif dan bijak namun tegas kepada manusia dari golongan lainnya, termasuk menghormati keberadaan makhluk lain dimuka bumi. Saudaraku …”
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Cukup sudah. Aku tak lagi sanggup meneruskan rentetan kalimatnya hingga habis. Masih tersisa panjang isi email dari Rasulullah, namun baru yang sedikit ini saja, aku merasa tidak kuat. Aku tidak sanggup meneruskan semuanya karena sepertinya Rasulullah sangat tahu semua kesalahan dan kekuranganku, dan jika kulanjutkan hingga habis, yang pasti semuanya tentang aku, tentang semua kesalahan dan dosa-dosaku.
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Kuhela nafas panjang berkali-kali, tapi justru semain sesak. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, entah apa yang terjadi. Sudah tibakah waktuku? Padahal aku belum sempat me-reply email Rasulullah itu untuk memberitahukan kepada beliau bahwa aku tidak akan menjawab semua emailku dengan kata-kata. Karena aku yakin, Rasul lebih senang aku memperbaiki semua kesalahanku hari ini dan hari-hari sebelumnya, dari pada harus bermanis-manis mengumbar kata memikat hati, yang biasanya tak berketerusan dengan amal yang nyata.
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]>
// = 0; –i) { if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”; } // ]]> Pandanganku kini benar-benar gelap, pekat sampai tak ada lagi yang bisa terlihat. Hingga … nit… nit… alarm jam tanganku berbunyi. 00.00 WIB. Ah, kulirik komputerku, kosong, kucari-cari email dari Rasulullah di inbox-ku. Tidak ada. Astaghfirullaah, mungkinkah Rasulullah manusia mulia itu mau mengirimi ummatnya yang belum benar-benar mencintainya ini sebuah email? Ternyata aku hanya bermimpi, mungkin mimpi yang berangkat dari kerinduanku akan bertemu Rasul Allah. Tapi aku merasa berdosa telah bermimpi seperti ini. Tinggal kini, kumohon ampunan kepada Allah atas kelancangan mimpiku. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)