Malam itu, saya membaringkan badan dengan menahan rasa melilit di sekitar perut. Mata berusaha saya pejamkan, tetapi rasa sakit yang intensitasnya makin sering terjadi itu mencegah saya dari tidur yang saya idamkan. Makin malam, rasa sakit itu makin menjadi-jadi. Sekitar pukul 2 malam, isteri saya menghubungi seorang dokter dan ia merekomendasikan suatu obat untuk meredakan rasa sakit itu.
Belum lama saya menelan tablet simpanan yang dianjurkannya, saya merasakan mual yang tertahankan. Secara reflek, langkah kaki saya menuju ke kamar mandi. Saya muntah-muntah dan menumpahkan semua isi perut di sana. Setelah isi perut itu tertumpahkan, badan terasa lebih lega.
Esok harinya, hari Ahad, perut saya masih terasa melilit namun sebentar timbul-sebentar tenggelam. Badan sedikit demam, pertanda masih adanya suatu perlawanan atas benda asing di dalam tubuh. Sore hari, saya memeriksaan diri ke dokter terdekat. Alhamdulillah, setelah mengkonsumsi beberapa obat, rasa sakit yang melilit itu berangsur-angsur hilang dan kondisi saya mulai membaik meski harus banyak istirahat. Dokter mengatakan saya mengalami infeksi usus, yang boleh jadi karena dampak dari suatu makanan yang saya konsumsi.
Senin pagi, saya menghubungi seorang rekan yang menemani saya bertugas di Bandung hari Senin hingga Jum’at sebelumnya. Ternyata ia mengatakan sakit juga. Tetapi ia berusaha berangkat ke kantor agak siang jika kondisinya lebih baik. Mendengar penuturannya yang hendak berangkat ke kantor meski badan merasa tidak enak, saya pun berusaha tidak memanjakan rasa sakit dan berusaha berangkat ke kantor juga.
Saat kami bertemu di kantor, saya tidak mengabarkan kalau dua hari terakhir saya menderita sakit. Saya langsung menanyakan bagaimana kabar sakitnya itu. Saat saya tanya barangkali ada makanan yang salah, ia langsung mencurigai sebuah tempat makan di Bandung yang menyebabkannya sakit itu. Saat itulah saya baru sadar, bahwa sakit yang saya alami dua hari terakhir, kemungkinan disebabkan oleh makanan serupa yang dimaksud oleh rekan saya itu.
“Pak, kayaknya kita sakit karena makan gudeg itu dech pak!”
Saya langsung ingat dan menimpali,
“Oh iya. Kamu mungkin benar. Saya ingat, sebelum makan gudeg itu, saya mencium bau tidak enak pertanda bahwa gudeg itu mungkin sudah dimasak berulang-kali. Warnanya pun sepertinya sudah tidak segar lagi.”
“Iya Pak, soalnya saya mikir-mikir telah makan apa ketika saya sakit kemarin. Dan yang mungkin ya karena makan gudeg itu Pak!”
Ya, selama sepekan di Bandung itu, kami merasa telah berkunjung ke tempat makan yang cukup bersih dan sehat. Kecuali ketika malam menjelang kami balik ke Jakarta, kami mengunjungi pusat jajan di sudut kota. Di sana, karena kami tidak menjumpai masakan yang pakai nasi selain nasi gudeg, maka kami memesan nasi gudeg itu.
Dampak dari makanan bermasalah itu, baru kami rasakan besok sorenya. Kami tiba ke rumah masing-masing dalam kondisi tidak nyaman. Kondisi itu berlanjut hingga esok harinya. Nampaknya makanan itu mengandung bibit penyakit yang kemudian berinkubasi di dalam tubuh. Kemudian pada saat yang tepat, bibit penyakit itu menyerang kami hingga kami demam dan mengalami kondisi yang serba tidak nyaman.
***
Kecurigaan kami terhadap makanan sebagai biang penyakit tersebut bukanlah kecurigaan yang tanpa dasar. Saat ini kejahatan manusia melalui penjualan makanan yang tidak layak konsumsi, sering saya jumpai. Baru-baru ini, isteri saya berbelanja beberapa ekor ikan di pasar sebagai variasi dari menu daging ayam yang biasa dikonsumsi. Ketika ikan-ikan itu sampai dirumah dan diperiksa lebih detail, ternyata ikan tersebut sudah tidak segar dan sangat mungkin mengandung bahan formalin. Kasus-kasus serupa cukup banyak terjadi dan sering saya saksikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang lebih miris adalah makanan yang beredar di kalangan anak-anak yang dijual oleh para penjaja di pinggir jalan dan di sekitar sekolahan. Seringkali mereka menggunakan zat warna/kimia yang berlebihan. Mereka sama tidak menyadari akan arti komposisi bahan dan dampak negatif yang bakal ditimbulkannya. Makanan kemasan yang berlabel halal saja, seringkali masih belum layak jika ditinjau dari segi ke-thoyyiban-nya. Telebih makanan yang tidak berlabel sama sekali.
Tentu tidak semua makanan itu membahayakan dan tidak baik. Namun kondisi marak beredarnya makanan yang mengancam kesehatan ini seyogyanya menjadikan kita lebih waspada terhadap makanan yang kita beli dan konsumsi. Nampaknya pengaruh budaya materialisme yang merusak tata kehidupan bermasyarakat, begitu merasuk dalam jiwa-jiwa yang hampa dari nilai-nilai keimanan. Jangan-jangan hasil riset yang mengatakan bahwa satu dari empat orang di Indonesia mengidap penyakit mental, adalah benar adanya. Dan mereka yang berusaha mengambil keuntungan dengan tidak memperhatikan kepentingan orang lain, adalah salah satu dari mereja yang mengidap penyakit mental tersebut. Sungguh memiriskan.
Kewajiban kita dalam memerangi penyakit mental ini, adalah amanah dari Allah SWT sebagaimana telah diamanatkan kepada Nabi Syu’aib, jauh sebelum Rasulullah SAW lahir ke dunia. Allah SWT berfiman,
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan adzab hari yang membinasakan (kiamat).” (QS 11:84)
Motif utama dari mengurangi timbangan adalah mengambil keuntungan dengan mengorbankan kepentingan orang lain (konsumen). Hal ini tidak ada bedanya dengan mereka yang menjual barang busuk dengan menampakkannya sebagai sebagai barang bagus atau menyembunyikan cacatnya itu. Intinya, mereka berusaha menuai keuntungan dengan menipu konsumen, padahal asas utama jual beli yang diperintahkan Allah SWT adalah transparansi dan kejujuran.
Kini kita melihat bahwa adzab yang ditimpakan Allah SWT kepada kita begitu nyata. Sakitnya saya dan rekan saya itu adalah sebagian kecil saja dan sangat ringan. Dalam kasus lain lain, banyak anak manusia yang menjadi korban meninggal atau derita fisik yang cukup parah karena berawal dari mengkonsumsi makanan yang merusak, baik yang timbul secara tiba-tiba ataupun yang timbul setelah beberapa waktu yang cukup lama.
Semua berawal dari mental-mental yang sakit, bermula dari jiwa-jiwa yang kosong dari nilai keimanan, sehingga mereka merasa nyaman dengan menikmati keuntungan di atas penderitaan orang lain. Bahkan mereka tidak menyangka bahwa Allah SWT menurunkan adzab-Nya bukan karena siapa-siapa, melainkan karena ulah-ulah mereka. Naudzubillah min dzalika.
Rasa sakit yang kami derita membawa ibrah yang demikian besar. Semoga Allah SWT meneguhkan keimanan kita sehingga darinya Allah SWT membimbing kepada jalan-jalan penegakkan keadilan. Amin.
Waallahu’alam bishshawaab