Banjir menghantam Jakarta lagi. Aku menyaksikannya melalu berita malam yang ditayangkan oleh televisi Jepang di Tokyo. Terbayang rumah orang tua ku di Jakarta kebanjiran. Sofa yang baru di beli dengan susah payah dengan penuh perjuangan adikku itu… kulkas yang baru di beli setelah belasan tahun penantian itu….
Terbayang susahnya orang tua dan adik adik berusaha menyelamatkan barang-barang yang menurut kami berharga. Terbayang ketakutan ibuku akan suara derasnya air mengalir, kecemasan mereka, …..
Tapi yang lebih membuatku cemas dan sedih adalah kampung kampung yang terletak bersebrangan dengan perumahanku yang di batasi oleh sungai. Rumah rumah di kampung itu sangat memprihatinkan. Tidak ada lantai, alasnya hanya tanah. Dibuat dari bambu atau dari kayu kayu yang lapuk. Penghuninya makan hanya 2 kali sehari, anak anak mereka tidak sekolah. Ya Allah…. Mungkin saat ini rumah mereka rata dengan tanah karena rumah mereka tepat di pinggir sungai. Bagaimana dengan bayi bayi yang ada di rumah itu, anak anak itu…. Ingin aku pulang untuk menjenguk mereka.
Ah, perih hatiku ini mengingatnya. Karena banjir yang datang ini bukan sepenuhnya gejala alami, tapi karena ulah manusia juga. Dan juga ketidak seriusan pemerintah untuk menanganinya. Tentu saja aku tidak menyalahkan pemerintah saja, banjir itu pastinya ulahku juga, ulah kita semua. Tapi pemerintahpun punya andil yang besar dalam hal ini. Karena yang namanya pemerintah artinya mengemban tanggung jawab yang besar untuk mengayomi rakyatnya.
“ Ah…. Sebesar apapun dana mengucur untuk banjir, mungkin tak akan sampai …..” timpal salah satu temanku.
Aku bolak balik menelpon ke luarga ku takut banjir susulan. Tapi sebenarnya yang paling aku khawatirkan bukan ke luargaku, tapi perkampungan kumuh dipinggir sungai itu……
Orang orang itu cukup dekat dengan penduduk kompleks kami. Karena mereka ada yang berja sebagai pencabut rumput untuk orang orang kompleks, penjual keliling, pencuci pakaian, dan sebagainya dengan penghasilan harian yang tidak seberapa.
Ya Allah, aku dan ke luargaku tau, betapa susahnya hidup mereka tanpa banjirpun.
Kini mungkin mereka kedinginan di suatu tempat tak beratap, lapar…
Adakah orang orang kompleksku ingat akan keadaan mereka? Karena mereka pun sedang sibuk dengan banjir yang menggenangi rumah mereka.
Di berita aku baca ada yang meninggal karena kesetrum, ternggelam dan sebagainya.
Di berita foto terlihat orang orang dengan susah payah menyelamatkan diri di tengah air yang kotor. Ada yang menangis karena kehilangan, ada yang terpampang dengan wajah khawatir, tapi ada yang tersenyum karena mencoba untuk bersabar. Dan tiba- tiba aku lihat berita lagi….
Seorang menteri menyalahkan media massa yang telah membesar-besarkan bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Sebab pada kenyataannya, jelas menteri tersebut banyak pengungsi banjir yang masih dapat tersenyum. “Kalau kita lihat para korban itu masih ketawa. Jangan sampai dikondisikan seolah-olah dunia mau kiamat seperti yang televisi Anda katakan demikian, ” kata menteri itu di Jakarta, seperti yang diberitakan suatu media.
Seperti kilat menyambar hatiku. Perih, sedih, adakah seorang manusia yang mempunyai jiwa, perasaan, dapat mengatakan hal seperti itu di tengah tenagh musibah yang nyata nyata masih berlanjut dan di depan mata. Dan hal itu ke luar dari mulut seorang pemimpin yang di beri amanah oleh rakyat. Mungkin beliau itu tidak pernah berjalan jalan di tengah air kotor mengangkut barang barang miliknya. Beliau tidak pernah menyaksikan kampung kampung kumuh di seberang sungai dekat kompleksku. Beliau tidak pernah tau penderitaan mereka yang berlantaikan tanah, makan 2 kali sehari dan berpenghasilan harian dan kini rumah mereka rata dengan tanah.
Pemimpin yang lain berkata “Jangan saling menyalahkan. Hari ini saya tidak tidur sampai jam 3 pagi untuk mengatasi masalah pengungsi…”
Bagi orang Jepang itu suatu pernyataan yang lucu dari seorang pemimpin. Karena di Jepang berkerja sampai jam 3 pagi lalu bangun lagi jam 8 pagi untuk bekerja adalah hal yang rutin yang biasa dilakukan orang orang yang mempunyai jabatan sebagai pemimpin entah itu hanya pemimpin bagian dari sebuah kantor kecil atau kantor besar. Apalagi seorang pemimpin dalam pemerintahan.
Nabi tercinta Rasulullah Sallalahu alaihi wassalam dan sahabatnya terkenal sebagai pemimpin pemimpin yang sederhana yang sangat memperhatikan rakyatnya dan bahkan takut sekali manyalah gunakan uang rakyatnya. Meraka adalah pemimpin pemimpin yang takut hanya pada Allah. Sangat jauh sekali dengan pemimpin pemimpin kita yang kadang malah berpesta terang terangan di atas penderitaan rakyat. Seharusnya paling tidak, sebagai negara yang mayoritasnya penduduk muslim dan mengenal agama dan bernamakan dengan nama nama Islam, ada arah menuju seperti yang di contohkan Rasulullah.
Kontrasnya di negara yang tidak beragama ini di negeri sakura, setiap orang begitu diperhatikan oleh pemerintahnya. Kalau di negara kita pada umumnya pmerintah dari camat sampai yang ke atas berlomba lomba untuk memanfaatkan jabatan memperkaya diri. Di jepang dari pemerinath seperti lurah sampai gubernur berlomba lomba untuk memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Misalnya di kelurahan A berusaha agar penduduk yang tinggal di kelurahan itu bisa berobat dengan sangat murah atau kalau bisa gratis. Di kelurahan lain, berusaha membangun fasilitas yang berguna dan modern untuk penduduk di ke luarahan itu agar penduduk di ke luarahan itu dapat lebih maju dengan memakai fasilitas itu seperti cultural center, dan sebagainya.
Jadi jangan heran kalau rakyat Jepang punya banyak asuransi dari asuransi yang di ke luarkan oleh kelurahan, kota, kantor hingga negara.
Bayi bayi yang lahir berobat gratis sampai umur 2 tahun. Di banyak kelurahan sampai 3 tahun. Setiap 6 bulan sekali bayi sampai umur 2 tahun cek kesehatan gratis. Umur tiga tahun ada cek kesehatan lagi yang sampai masalah gigi dan mata pun ada cek terpisah juga. Konsultasi untuk kesehatan sang ibu secara fisik dan mental, psikologis sang anak. Dan semua itu gratis.
Perlu ambulan? Anda tidak usah memikirkan dari mana uang harus di dapat setelah orang tercinta kita di antar ambulan ke rumah sakit. Ambulan gratis. Bahkan sebelum ambulan datang, kru pemadam kebakaran terdekat rumah anda akan datang duluan mengecek si pasien memberikan pertolongan darurat sembil menunggu ambulan yang datangnya kurang dari tujuh menit kerumah kita. Karenahampir di setiap kelurahan tersedia pos pemadam kebakaran dan rumah sakit.
Untuk ibu ibu yang melahirkan bayinya pun pemerintah menyediakan dana. Bahkan jika si ibu memilih melahirkan di rumah sakit yang sangat murah sehingga jatah dana ibu itu ada sisanya, sang ibu bisa mengambil sisanya.
Dan dari setiap rumah sakit di berikan banyak sekali buku panduan tentang melahirkan, merawat bayi, kesehatan jasmani dan psikologis ibu dan anak serta ayah sampai yang mendetil seolah semua sudah di antisipasi oleh pemerintah dan pemerintah sudah menyediakan solusinya sebelum masalah datang.
Dan di rumah sakit manapun kitaberada, di kantor manapun kita berada, walau itu rumah sakit pemerintah yang murah atau kantor sipil, mereka akan melayani dengan ramah, senyum dan sopan.
Jikalau kita melihat, sebenarnya nilai nilai Islam itu ada di negeri sakura ini yang sayangnya saja belum ada hidayah turun di sini. Setiap rakyat tau hak dan kewajibannya. Pemerintah yang sangat simpati dan memperhatikan rakyatnya.
“Kalau kita lihat para korban itu masih ketawa. Jangan sampai dikondisikan seolah-olah dunia mau kiamat seperti yang televisi Anda katakan demilian.”
Ah, jika hati ini sudah mengeras seperti batu sehingga empati sudah mati rasa, semoga akan ada air mengalir diantarnya seperti pada surat Al-Baqarah ayat 74 :
“ Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantarnya sungguh ada yang terbelah lalu ke luarlah mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan .”
Dan harapan kita akan lahirnya pemerintahan yang amanah ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah itu sendiri. Ini adalah tanggung jawab kita semua. Kuncinya adalah di mulai dari dirikita, selanjutnya adalah anak anak kita.
Jika kadang kita lelah dalam berusaha, lihatlah wajah wajah layu di perkampunga kumuh atau anak anak jalanan di lampu merah. Bangkitkan lagi semangatmu untuk merubah diri.
Merubah diri kita, anak anak kita, untuk menjadi manusia yang lebih baik agar berguna bagi mereka, saudara saudara kita di pelosok perkampungan kumuh.