Saya masih ingat. Saat itu awal semester ganjil, pertengahan 1991.
“Jangan,” kata Pak Zainal Alim singkat. Tegas. “Koen kate cuti gak kuliah hanya gara-gara gak bisa bayar SPP?” Ruangan itu seperti senyap. Hanya suara putaran kipas angin tua di langit-langit yang terdengar jelas. “Jangan, Dik.”
Saya terus menekuri lantai sembari memilin kedua tangan yang basah. Ruangan itu mendadak serasa sempit dan membuat saya gerah. “Tetapi kelihatannya saya tidak punya pilihan lain, Pak,” jawabku memastikan. “Saya mungkin akan nyari kerja dulu, agar nanti bisa melanjutkan kuliah.”
Dosen wali itu menggeleng. Rambut kepalanya yang sudah memutih dipenuhi uban membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Asap kemudian mengepul dari rokok yang disulutnya. Ia kemudian tersenyum. “Eman-eman kuliahmu, Dik. Coba usahakan dulu cari pinjaman atau apa. Apa Ayahmu sudah tak bisa membiayai?”
Kini beliau menyedot rokok itu dalam-dalam.
Saya kini ganti tersenyum. Sebenarnya malu mau cerita. “Saya sejak semester dua mencari uang sendiri di Surabaya ini, Pak, untuk kuliah dan biaya hidup sehari-hari. Saya minta Ayah saya untuk tidak lagi mengirim wesel,” kata saya pada akhirnya. “Kedelapan adik saya lebih membutuhkannya. Biarlah saya cari sendiri.”
“O, begitu ya?” kata Pak Zainal manggut-manggut. Dari mulutnya mengepul asap rokok yang disedotnya bergumpal-gumpal. “Tapi, eman-eman lho, Dik, nek koen cuti kuliah. Apalagi baru mau semester tiga. Pira IP-mu?”
Lembar transkrip itu pun saya angsurkan ke beliau.
“Lha ini nilaimu cukup bagus. Wis, eman-eman nek cuti. Cobalah cari alternatif biaya SPP itu. Aku yakin koen isok oleh.”
***
Lunglai saya meninggalkan ruang dosen wali itu. Kemana harus mencari dana untuk membayar SPP? Padahal, besok hari terakhir SPP itu harus sudah lunas.
Setelah shalat ashar di Masjid Manarul Ilmi ITS, saya duduk-duduk di selasar bagian selatan dari masjid kampus itu. Tempatnya memang teduh dengan angin yang mengalir dari sawah-sawah sekitarnya membuatnya menjadi tempat duduk-duduk yang nyaman bagi siapa saja.
Saya menerawang jauh ke selatan, ke arah Asrama Mahasiswa ITS; tempat dimana saya sebulan yang lalu diminta pergi karena menunggak pembayaran biaya asrama hingga lebih dari tiga bulan. Saudara tak punya. Mau pinjam teman, saya malu mengatakannya.
Tiba-tiba seseorang mencolek pundak saya. Saya pun menoleh.
“Kelihatannya kamu sedang punya masalah?” tanya pencolek pundak saya. Ia seorang laki-laki, mungkin umurnya beberapa tahun di atas saya. Senyumnya tersungging. Khas. Saya melihat persahabatan pada senyumnya itu.
Saya hanya tersenyum. Menggeleng.
“Aku pernah mengalami berbagai masalah. Bahkan diantaranya sangat berat,” katanya menceritakan dirinya sendiri. Lalu ia melanjutkan, seperti menganalisa, “Aku tahu dari mimik dan bahasa tubuhmu kalau kamu sedang punya masalah.”
Saya lalu menunduk, tak tahu antara malu menceritakan dan kebingungan mencari jalan keluar.
“Boleh aku tahu masalahmu apa? Siapa tahu aku bisa bantu.”
Saya sekali lagi menoleh pada laki-laki tak kukenal itu. Dari kata-katanya kelihatannya ia bertanya dengan tulus. “Saya belum membayar SPP,” kataku pelan. Kalimat itu seperti tercekat di tenggorokan dan begitu berat diucapkan. “Besok terakhir. Saya sudah minta cuti ke Pak Zainal Alim, tetapi beliau tidak mengijinkan.”
“Pak Zainal Alim? Kamu jurusan Elektro ya? Atau Komputer?”
“Komputer, Mas. Angkatan 90.”
“Oh, aku juga Komputer! Tapi angkatan tuwek, 87. Aku cuti beberapa kali. Baru sekarang ini mau melanjutkan lagi. Mungkin kuliahnya nanti bareng ambek angkatanmu.”
Ia kemudian menyebut nama dan mengulurkan tangan. Kujabat tangan itu dengan hangat. “Nama saya Bahtiar,” kata saya memperkenalkan diri pada Mas P itu.
“Berapa SPP-mu, Bah? Mungkin aku bisa bantu.”
“Seratus delapan puluh ribu rupiah, Mas.”
Ia pun merogoh saku celananya. “Saya tidak punya banyak. Tetapi, ini bisa kamu pakai dulu untuk membayar SPP-mu besok.” Uang sejumlah itu segera diangsurkannya pada saya.
Mata saya berbinar. Tak kusangka sama sekali sore ini saya mendapatkan uang itu tanpa saya cari. Dari seseorang yang sebelumnya tak pernah saya kenal sama sekali.
“Aku jadi merepotkan Mas,” kata saya sambil menerima uang itu. “Kapan harus saya kembalikan?”
Laki-laki yang ternyata kakak angkatan saya itu tersenyum. “Ah, jangan kamu pikir. Terserah, kapan kamu punya, Bah.”
Jawaban itu begitu menyejukkan saya. Bagaimana tidak? Pada kondisi kritis begini ada seseorang yang membantu saya dengan begitu mudahnya. Tanpa jaminan. Tanpa banyak tanya.
Alhamdulillah, saya bisa melanjutkan kuliah semester tiga itu setelah keesokan harinya melunasi SPP.
***
Kabar yang saya terima ini mestinya membuat saya gembira. Ya, saya memang bergembira dan bersyukur. Nina, adik saya, diterima di sekolah akademi kebidanan di Klaten Jawa Tengah. Tetapi untuk biaya masuk berikut tetek-bengeknya diperlukan uang 3,5 juta!
Ayah sedang tak punya. Saya apalagi, meski kini sudah bekerja di sebuah perusahaan IT sebagai programer. Tetapi gaji programer di tahun 1995-an hanya seperlima dari uang yang diperlukan itu.
Namun sayang jika kesempatan itu dilepas begitu saja. Apalagi Nina memang bercita-cita menjadi bidan selepas sekolah keperawatan. Saya harus mencari cara. Bagaimanapun dia masuk ke akademi itu adalah karena dorongan saya juga.
Terpaksa saya memberanikan diri meminjam uang ke kantor. Potong gaji. Tetapi entah mengapa, jawaban yang saya terima dari bagian keuangan tak begitu enak di telinga. “Tak ada,” katanya singkat. Maksudnya, kantor lagi tidak ada dana cukup untuk dipinjam.
Saya nelangsa. Kemana saya harus cari? Beberapa teman di kantor juga sedang tak bisa dipinjami uang sebanyak itu. Saya akhirnya ingat seseorang. Mas P. Ia kini punya perusahaan IT sendiri yang baru dirintis.
Malam itu saya dolan ke kantornya. Senyumnya masih sama beberapa tahun yang lalu. Khas. Kami saling bertanya dan bercerita. Sampai tibalah saat yang sulit itu.
“Ada apa, Bah? Ada yang bisa aku bantu?”
Saya beringsut di tempat duduk yang tak panas. “Begini, Mas. Saya mau ngrepoti Mas lagi,” begitu kata saya membuka pembicaraan. “Adik saya baru diterima di sekolah bidan. Di Klaten. Ia perlu dana 3,5 juta. Saya bisa pinjam nggak ya?”
Untunglah pinjaman SPP yang dulu sudah lama saya kembalikan setelah saya bekerja. Kalau tidak, saya tidak tahu bagaimana ngomongnya.
“Apa nggak bisa pinjam di kantormu, Bah?”
Saya menggeleng. “Sedang tak ada uang, Mas, katanya. Maksud saya sih potong gaji di kantor gitu. Lebih gampang.”
Mas P nampak berpikir. Lalu ia menjawab, “Aku ada sih, Bah. Tapi duitnya nggak utuh. Gimana?”
“Nggak apa-apa, Mas,” jawab saya lega. Asal jumlahnya genap, duit receh juga tak masalah.
Ia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang. Lalu dompetnya, dan dikeluarkannya sejumlah uang. Ia lalu menghitungnya dan mengangsurkannya pada saya. “Sik, masih kurang,” katanya.
Saya menghitungnya. Ya, memang kurang beberapa ratus ribu.
Ia lalu membuka laci di meja kerjanya. Dari sana ia keluarkan uang kertas berbagai pecahan. Seratus ribu, lima puluh ribu, sepuluh ribu, lima ribu, bahkan seribuan rupiah. Akhirnya genaplah 3,5 juta yang saya perlukan.
“Sorry, uangnya pecahan begitu,” katanya sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa, Mas. Jumlahnya toh 3,5 juta,” jawab saya lantas tersenyum. “Kapan saya harus kembalikan?
Laki-laki di depan saya itu menjawab, sebagaimana jawaban beberapa tahun lalu. “Jangan dipikir, Bah. Terserah, kapan kamu punya.”
Dalam perjalanan pulang, saya mengingat peristiwa itu. Betapa laki-laki itu telah menolongku dua kali, tanpa banyak tanya. Seketika. Dan begitu mudahnya. Bahkan yang membuatku haru, ia mungkin telah menguras uang yang ia miliki untuk membantu saya. Terbukti uang yang dipinjamkannya itu ia ambil dari saku, dompet, bahkan lacinya. Bahkan ada yang pecahan seribuan.
Sepanjang perjalanan pulang itu, air mata saya tak henti menetes. Ternyata masih ada orang sebaik ini di semesta raya. Saya tak akan pernah melupakan jasa orang ini, yang dikirimkan-Nya untuk menolong saya saat terjepit. Saya tak akan melupakannya, hingga kapanpun.