Berbeda dengan anggota legislatif, artis lebih banyak berperan sebagai penghibur masyarakat lewat seni menyanyi, melawak, dan kegiatan lain sejenisnya. Memang tidak sembarang orang mampu melakujkan peran itu. Para artis selain menghibur juga bisa pula mencerdaskan termasuk juga menyampaikan aspirasi masyarakat. Tetapi, kalaupun toh melakukan peran-peran pendidikan dan juga penyampaian inspirasi, mereka tidak melalui lembaga parlemen melainkan ada tempat sendiri, yaitu di panggung seni. Hanya akhir-akhir ini muncul fenomena, banyak partai pollitik merekrut artis untuk diajukan sebagai calon legislatif. Cara-cara itu sesungguhnya syah-syah saja. Mereka pun sesungguhnya adalah juga berstatus sebagai rakyat yang berhak duduk sebagai wakil di lembaga parlemen. Hanya saja gejala itu, sementara orang menafsiri sebagai hal yang kurang murni sifatnya. Mereka membaca bahwa para artis yang dicalonkan sebagai anggota legislatif, apalagi jumlah mereka cukup besar, ditengarai sebagai upaya untuk mengumpulkan sejumlah suara. Artis diperlakukan seperti tokoh agama, karena mereka banyak penggemar, lalu ditampilkan sebagai calon anggota legislatif. Kiranya tidak terlalu menjadi sorotan umum jika artis yang diterjunkan ke dunia politik jumlahnya hanya beberapa, dan dikenal bahwa artis tersebut, selain menyanyi atau melawak, mereka juga dilihat memiliki kapasitas sebagai pemain politik. Hanya, sayangnya penilaian terhadap para artis dimaksud tidak seperti itu. Mungkin ada beberapa artis yang tidak pernah bersentuhan dan juga dianggap mengerti tentang politik, tetapi tiba-tiba tampak wajahnya diekspose sebagai calon legislatif. Inilah yang kemudian memunculkan berbagai pertanyaan itu. Tentang bagaimana sesungguhnya efektivitas para anggota legislatif yang berasal dari para artis, mungkin tidak perlu berdebat panjang lebar. Jika masih ragu, dan boleh-boleh saja kita meragukan sesuatu, termasuk pada kemampuan artis dalam berpolitik, kita bisa melihat kinerja para politikus dari kalangan artis selama ini. Sebab fenomena artis terjun ke dunia politik sesungguhnya bukan gejala baru, telah ada sejak beberapa puluh tahun terakhir ini. Dari pengalaman itu, kiranya bisa didapat jawaban yang lebih akurat atau tepat. Memang yang lebih tepat, produktif dan akan berhasil secara maksimal manakala tugas-tugas apa saja dilakukan oleh ahlinya. Seorang yang sehari-hari berprofesi sebagai penyanyi atau pelawak, akan lebih tepat jika ditugasi menyanyi dan atau melawak. Seorang guru akan menjadi baik hasilnya kalau ditugasi sebagai pendidik. Orang yang memiliki keahlian sebagai per-bank-an, maka mereka akan lebih sukses bekerja di bank. Memang tanpa menutup kemungkinan, ada seorang pelawak yang berhasil tatkala duduk sebagai bupati, gubernur atau juga anggota legislatif. Tetapi gejala itu tentu tidak dimiliki banyak orang. Kiranya syah-syah saja, artis duduk sebagai anggota legislatif. Hal itu sama, tatkala kyai, guru, pedagang, atau apalagi duduk di sana. Sebab pada hakekatnya, anggota legislatif itu adalah para wakil rakyat. Sehingga artis di sana mewakikli komunitasnya ialah para artis itu sendiri. Akan tetapi kalau jumlahnya melebihi kewajaran, maka akan dipertanyakan banyak orang, karena dikhawatirkan kualitas kinerjanya rendah. Jika artis itu direkrut karena pertimbangan kepantasan, kepatutan dan kelayakan, dan sebaliknya bukan sebatas dimaksudkan untuk menarik jumlah suara yang akan dihasilkan dalam pemilu, kiranya tidaklah perlu dipersoalkan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait dengan artis masuk parlemen mungkin karena jumlahnya yang terlalu besar. Selain itu kekhawatiran itu terjadi, jangan-jangan orientasi mereka duduk di lembaga itu kurang semestinya. Masyarakat juga tidak salah jika menuntut profesionalisme dalam semua pelayanan publik, termasuk di parlemen. Karena sebenarnya masyarakat telah mengongkosi melalui pajak sehingga memiliki hak aspirasi mereka tersalurkan. Masyarakat menuntut agar peran strategis terkait kepentingan umum selalu jelas. Seorang guru atau dosen tugasnya sebaiknya adalah mendidik di sekolah atau di kampus. Pedagang tugasnya berdagang. Pengusaha bertugas mengembangkan perusahaannya. Jika mereka itu merangkap, misalnya guru merangkap sebagai bertani, maka dikhawatirkan peran itu tidak bisa dilakukan secara sempurna. Apalagi misalnya, guru merangkap sebagai broker atau makelar, maka bisa jadi murid-lembaga pendidikan di mana mereka mengajar akan dimakelari. Begitu pula jika artis merangkap sebagai politikus, dikhawatirkan produk-produk seninya menjadi tidak seindah, jika mereka misalnya tidak merangkap tugas sebagai politikus. Begitu juga selanjutnya, mereka khawatir jangan-jangan para artis yang duduk di lembaga parlemen, karena tidak ahli, hanya sebatas duduk itu. Tuntutan masyarakat sesungguhnya sederhana, yaitu agar semua pekerjaan ditangani oleh mereka yang ahli di bidangnya, apalagi pekerjaan itu sangat strategis, terkait dengan perjuangan meraih kesejahteraan dan kemuliaan bangsa. Itu saja. Allahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang