dilakukan secara sembarangan, atau asal memilih. Sebab, peran pimpinan tidak sebatas sebagai penjaga kantor, melainkan sebagai sumber ide, inspirasi, kekuatan penggerak sekaligus penunjuk arah, yaitu akan dibawa ke mana lembaga yang dipimpinnya. Pemimpin juga seharusnya tidak saja tahu ke mana lembaganya akan di bawa, tetapi juga mengetahui jalan yang harus ditempuhnya, dan bahkan juga mengetahui halangan-halangan dan sekaligus cara mengatasi halangan itu. Pemimpin juga harus mengetahui peta kekuatan yang dipimpinnya. Setiap saat pemimpin juga berperan sebagai pengambil keputusan. Keputusan yang diambil, tentu harus berkualitas, artinya harus tepat terkait dengan tujuan-tujuan jangka pendek, menengah maupun jangaka panjang. Boleh jadi keputusan itu tidak terlalu menguntungkan sebagian kelompok, tetapi tidak mengapa asal strategis untuk kepentingan jangka panjang. Pemimpin harus memiliki pengetahuan tentang itu, termasuk kemampuan melihat jauh ke depan. Karena itu, tugas pemimpin harus tidak henti-hentinya mengkomunikasikan dan menjelaskan tentang pandangannya, keputusan-keputusannya, dan hal itu harus dilakukan berulang-ulang, tidak boleh merasa bosan. Dalam setiap pemilihan pimpinan, selalu yang muncul adalah kelompok, golongan atau partai. Pikiran, perasaan, aspirasi, emosi seseorang biasanya terikat dalam kelompok, golongan atau partai itu. Padahal perasaan sekelompok, segolongan dan separtai itu tidak jarang mempertumpul pikiran-pikiran rasional. Orang menjadi sangat subyektif dan bahkan pikiran menjadi mati jika seseorang sudah terlalu jauh terpengaruh oleh emosi kelompok, golongan atau partainya. Ideologi, memang biasanya begitu. Bersifat subyektif, irrasional, tertutup, selalu berorientasi menang atau kalah. Hal itu berbeda dengan itu adalah ilmu, yang selalu berusaha menjaga obyektivitas, rasionalitas, keterbukaan dan bukan orientasi sebatas kalah menang, melainkan benar atau salah. Ideologi memang selalu memiliki kekuatan luar biasa dalam mempengaruhi pikiran dan perasaan. Atas ideologi itu emosi seseorang seringkali menjadi sedemikian mendalam, sehingga keterikatan terhadap kelompok, golongan atau suatu partai, menjadi sangat sulit dipengaruhi oleh logika apapun. Bahkan, sekalipun logika yang dimiliki nyata-nyata terkalahkan, tetap tidak akan menyerah. Lebih aneh lagi, ternyata orang yang telah menyandang tingkat pendidikan setinggi apapun tidak menjamin dapat mematikan emosi ashobiyah ini. Tatkala sedang memilih pemimpin orang saling mengelompok. Pengelompokan itu biasanya biasanya atas dasar aneka ragam ikatan. Adakalanya ikatan faham keagamaan, suku, asal daerah, afiliasi politik dan lain-lain. Pengelompokkan mana yang lebih menonjol tatkala akan memilih pemimpin, ternyata akhir-akhir ini sudah mulai bergeser, dari hal yang bersifat ideologis kepada kepentingan, dan bahkan terdorong ke arah pertimbangan yang lebih rasional. Pemilihan pemimpin lembaga pendidikan di beberapa tempat, memang ada yang mendasarkan pada kesamaan kelompok, atau faham keagamaan. Akan tetapi akhir-akhir ini pertimbangan yang bersifat ideologis itu sudah mulai ditinggalkan, sebaliknya, sudah mulai ada gejala-gejala lebih rasional. Mungkin sudah dirasakan orientasi itu tidak terlalu menguntungkan. Mereka beralih ke pertimbangan yang berorientasi pada kepentingan bersama, yaitu keuntungan lembaga. Jika gambaran itu benar, maka lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan tinggi Islam, akan teruntungkan, menjadi semakin maju. Semogalah gejala itu semakin berkembang dan orang tidak lagi terlalu berashobiyah, artinya mereka akan menjadi lebih rasional sejalan dengan identitasnya sebagai warga kampus, yang seharusnya memang lebih rasional, termasuk dalam memilih pemimpinnya. Allahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang