Loman sama artinya dengan dermawan. Lawan kata loman adalah bakhil. Jadi orang yang loman adalah orang yang suka memberi kepada orang lain. Pemberian itu bisa berupa uang, barang, atau bahkan juga senyuman saja. Tidak semua orang memiliki kebiasaan nyopoan, entengan dan juga loman ini. Umumnya orang yang memiliki jiwa seperti itu disenangi banyak orang. Karena suka menyapa orang, maka ia akan memiliki banyak teman atau kenalan. Orang yang ditokohkan di tengah masyarakat, biasanya memiliki jiwa seperti yang disebutkan itu. Biasanya jika diselenggarakan pemilihan pimpinan, mulai dari jabatan ketua RT, RW, Kepala Desa, sampai pada Caleg, maka orang yang memiliki jiwa seperti itu akan terpilih. Namun orang yang seperti itu biasanya jumlahnya tidak banyak. Mereka itu tanpa memperkenalkan diri akan selalu dikenal, dipercaya dan bahkan juga dicintai banyak orang. Akhir-akhir ini, orang yang memiliki jiwa yang amat mulia seperti disebutkan itu semakin langka. Antar sesame tidak saling mengenal. Bahkan, karena kebanyakan rumah dipagari tinggi-tinggi, menjadikan antar tetangga tidak saling kenal dan ketemu, apalagi menyapa. Apalagi orang sekarang kemana-mana naik mobil, jika bertemu di jalan, sulit saling menyapa. Satu-satunya cara sebagai pengganti komunikasi adalah menyalakan lampu mobil atau membunyikan klakson. Tradisi saling menyapa menjadi hilang. Mereka saling bertetangga, atau bertempat tinggal di satu blok, namun kadang tidak saling mengenal. Jarak fisik di antara mereka sangat dekat, tetapi mereka saling memiliki jarak psikologis yang jauh. Jarak psikologis seperti itulah yang menyebabkan sifat-sifat mulia seperti dikemukakan di muka tidak pernah bisa dikembangkan. Hubungan antar manusia menjadi berjarak dan kadang-kadang jarak itu terasa jauh. Jarak social dan juga psikologis itu menjadikan antar mereka tidak saling mengenal. Mereka baru sadar betapa pentingnya bertetangga itu saling mengenal jika suatu ketika terjadi musibah, misalnya kematian. Peristiwa semacam itu tidak akan mungkin dapat diselesaikan oleh keluarga sendiri, pasti membutuhkan pertolongan orang lain. Masih sangat beruntung, jika di tempat perumahan terdapat masjid dan apalagi ditambah dengan kegiatan kulktural, seperti tradisi membaca al Qur’an bersama-sama, tahlilan, yasinan, pengajian bersama dan sejenisnya. Jika di perumahan itu terdapat masjid, maka setidak-tidaknya tiga kali sehari semalam, —–subuh, magrib dan insya”, anggota perumahan bertemu di masjid sholat berjama’ah. Kegiatan keagamaan seperti itu bisa mempererat hubungan antara anggota masyarakat. Sebaliknya, jika tidak terdapat tradisi keagamaan, maka antar anggota masyarakat menjadi tidak saling mengenal, karena di antara mereka dipisahkan oleh pagar tembok atau pagar besi yang tinggi-tinggi itu. Masyarakat yang semakin terpisah-pisah seperti itu, jangankan mereka harus nyopoan, entengan dan loman, sebatas ketemu saja sulit dilakukan. Mereka sebenarnya berkumpul, tetapi pada hakekatnya mereka saling terpisah dan bahkan juga berjarak jauh. Oleh sebab itu, wajar seperti yang kita saksikan sekarang ini, tatkala seseorang membutuhkan dikenal oleh banyak orang, karena mendaftar sebagai caleg, misalnya, maka harus mengiklankan diri. Agar masyarakat luas mengenalnya, maka harus mepasang foto-foto di sepanjang jalan atau sudut-sudut kota. Berapa besarnya biaya yang diperlukan, sudah barang tentu sangat mahal. Saat ini tatkala menjelang dilaksanakan pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislative maupun eksekutif, orang merusaha untuk menyapa, mematut-matutkan diri sebagai orang yang ringan membantu dan juga loman. Sebatas lewat foto di pinggir-pinggir jalan, mereka menyapa masyarakat. Kadang tanpa perhitungan, mereka mau saja menjadi sponsor berbagai kegiatan. Agar berhasil dipilih rakyat, mereka bersikap enteng membantu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka juga loman dengan membagi-bagi kaos atau kebutuhan lainnya. Umpama sifat-sifat mulia itu —–nyopoan, entengan dan loman, tersebut dijalankan sepanjang hidupnya, dalam arti tidak sebatas dilakukan secara musiman menjelang pemilihan umum, maka mereka tidak akan repot-repot minta dipilih dan dicalonkan oleh rakyat, tetapi justru dipaksa agar bersedia diangkat menjadi pemimpin mereka. Allahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang