Beban seorang pemimpin selalu sangat berat. Seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Namun anehnya banyak orang berkeinginan menjadi pemimpin. Memang, sebagai seorang pemimpin akan mendapatkan imbalan, berupa kehormatan, prestise, dan juga fasilitas lainnya. Akan tetapi jika direnungkan secara mendalam, sesungguhnya imbalan itu tidak seberapa dibanding dengan beratnya beban itu. Sekalipun beban itu amat berat, namun posisi itu di mana-mana selalu diperebutkan. Bahkan setelah masa jabatan itu habis masih berharap diperpanjang. Hal itu menunjukkan bahwa posisi pemimpin sesungguhnya tidak selalu berat. Dikatakan berat kalau benar-benar harus bertangung jawab. Jika demikian, di mana sesungguhnya beban berat para pemimpin itu. Jika pemimpin tidak memiliki cita-cita, target, atau jangkauan yang besar yang ingin diraih, maka pemimpin itu memang ringan. Siapapun akan bisa menajalaninya. Bahkan semakin tinggi jabatan itu bukan berarti beban itu semakin berat, justru sebaliknya semakin ringan. Sebab semua fasilitas dan daya dukung termasuk para pembantunya semakin komplit. Sebaliknya, jika pemimpin itu memiliki ambisi, cita-cita, target untuk memajukan masyarakat atau lembaga yang dipimpinnya, maka beban itu terasa berat. Seorang pemimpin akan menggerakkan, mengarahkan, memfasilitasi, memperkuat, termasuk juga mencari jalan keluar jika menghadapi problem atau bahkan harus menyingkirkan apa saja yang menghambat tugas-tugas dari semua yang dipimpinnya. Memimpin manusia untuk meraih cita-cita atau ambisi besar tidak selalu mudah. Bahkan jika tidak lagi untung, tidak ada pekerjaan lain yang lebih sulit kecuali memimpin manusia. Manusia bisa menampakkan berbagai wajah, dan itu pun bisa berubah-ubah pada setiap saat. Seseorang pada suatu saat terasa loyal dan tulus, tetapi pada saat yang berbeda ternyata justru sebaliknya. Ia bisa saja menggunting dalam lipatan. Banyak literature yang mengupas tentang perilaku manusia, yang seharusnya diketahui oleh seorang pemimpin. Namun dari sekian banyak literature itu belum lengkap jika belum membaca kitab suci. Watak dan karakter manusia, juga dijelaskan oleh Al Qurán. Manusia melalui surat al Baqoroh digambarkan sebagai makhluk yang memang rumit. Di awal Surat al Baqoroh itu, manusia dikelompokkan menjadi tiga, dua kelompok di antaranya tampak jelas, yaitu yang disebut dengan istilah kelompok muttaqien dan kelompok kafirien. Sedangkan kelompok lainnya, yang berada di tengah-tengah menunjukkan sikap tidak jelas, yaitu disebut kelompok munafiqien. Melalui kitab suci itu bisa dipahami bahwa pada setiap komunitas manusia, selalu terdapat ketiga kelompok itu. Di antara ketiganya yang paling sulit dihadapi, adalah justru kelompok yang tidak jelas itu. Para pemimpin tentu tidak akan mudah menghadapi kelompok yang berubah-ubah yang tidak jelas posisinya. Banyak manusia tatkala mereka mendapatkan keuntungan menampakkan diri sebagai orang yang loyal dan mendukung, tetapi lewat sedikit saja akan lari dan menjadi penghalang. Betapa sulitnya menghadapi karakter, watak, dan perilaku manusia dijelaskan melalui berbagai ayat selanjutnya dalam surat al Baqoroh itu. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang selalu bertanya untuk menghindari tugas-tugas yang diberikan, mereka tidak pernah bersyukur kecuali yang sedikit jumlahnya, selalu mengeluh, lari dari tanggung jawab, dan seterusnya. Namun beberapa ayat dalam surat al Qurán pula dijelaskan bahwa manusia yang berperilaku seperti itu, bisa menjadi baik dan bermartabat melalui keimanan, ketaqwaan, dan akhlaknya setelah mendapatkan bimbingan dari kitab suci dan tauladan Rasul. Pemimpin sehari-hari menghadapi orang-orang yang beraneka ragam karakter, watak, dan perilakaku itu. Lebih dari itu, kesulitan pemimpin menjadi semakin bertambah karena manusia selalu bersifat unik. Sekian banyak manusia, masing-masing memiliki ciri, karakter, watak, dan perilaku masing-masing yang berbeda-beda. Belum lagi, perbedaan itu juga terbentuk dari latar belakang yang berbeda-beda, seperti etnis, keturunan, ekonomi, idiologi, tingkat keimanan atau keberagamaannya, problem-problem hidup yang dihadapi, orientasi, dan berbagai macam lainnya. Seorang pemimpin harus menghadapi mereka itu semua. Jika pemimpin berhasil menyatukan mereka melalui visi, misi, serta tekat bersama untuk membangun cita-cita dan memperjuangkannya, maka kepemimpinannya berpeluang akan berhasil. Pekerjaan memimpin rupanya adalah seni. Pendekatannya bersifat situasional, kadang menggunakan pendekatan individual, kelompok, dan suatu saat juga menyeluruh. Demikian pula pemimpin kadang melakukan pendekatan formal, tetapi juga informal, atau bahkan dengan kekeluargaan. Namun di antara sekian banyak cara atau pendekatan itu, berdasarkan pengalaman selama ini, saya berani mengatakan bahwa pendekatan agama adalah yang paling banyak membawa hasil. Pendekatan agama yang saya masud adalah pendekatan yang utuh dan konprehensive, baik melalui rasa, logika, perintah, instruksi, hingga pengetrapan peraturan secara tegas. Bahkan sekali-kali, selama masih didasari oleh nuansa kasih sayang, menghukum pun boleh dilaksanakan. Sebagai bagian dari pendekatan agama, tatkala menggerakkan orang yang kadang sangat sulit dilakukan, bisa ditempuh misalnya melalui tradisi sholat berjamaáh, memperkukuh tali silaturrahim, membangun kesamaan dan kebersamaan, mengenal dan mengasihi, dan hal lain yang harus ditumbuhkan dari diri pemimpin sendiri adalah ketulusan dan kesediaan berkorban. Pemimpin yang berhasil menunjukkan ketulusan dan kesediaaan berkorban, akan diikuti dan ditaati oleh mereka yang dipimpinnya. Pendekatan sedemikian baik dan berat itupun, juga tidak ada jaminan bahwa kepemimpinan akan sepenuhnya berhasil. Keberhasilan itu selalu ditentukan oleh berbagai factor, baik bersumber dari pemimpin itu sendiri, lingkungan, maupun mereka yang dipimpinnya. Faktor kepemimpinan, misalnya ia tidak berhasil secara sempurna memberikan arahan, petunjuk, atau ketauladanan. Kegagalan juga bisa jadi disebabkan oleh factor lingkungan dan atau pihak yang dipimpinnya. Itulah sebabnya, bahwa tugas pemimpin, ——yang benar-benar pemimpin, memang berat. Oleh karena itu, agar kepemimpinannya berhasil, setelah mencurahkan segala kemampuannya, bagi pemimpin selalu memohon pertolongan pada Allah, adalah cara terbaik. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang