Sebagai warga masyarakat bisa, akhir-akhir ini saya merasa tidak nyaman menyaksikan perilaku masyarakat kita baik pada tingkat elit maupun tingkat bawah. Berbicara lantang katanya demi tegaknya demokrasi. Berbicara lepas kendali dengan menghujat sana sini katanya wajar sebagai perwujudan demokrasi. Tidak memenuhi panggilan aparat penegak hukum untuk klarifikasi sebuah masalah dikatakan sebagai haknya sebagai warga negara untuk menolak. Berunjuk rasa dengan membakar dan menginjak-injak foto tokoh yang didemo dan membawa binatang kerbau dan kambing dianggap sebagai seni berekspresi yang dijamin oleh undang-undang dalam alam demokrasi. Menirukan dan bahkan melecehkan gaya seorang tokoh dipandang sebagai bunga-bunga demokrasi. Masih banyak lagi perilaku atas nama demokrasi yang tidak sesuai ukuran masyarakat beradab. Kalau begitu apa sejatinya yang terjadi dengan masyarakat kita? Apa demokrasi sebagai sebuah paham yang salah? Kalau salah mengapa sebagian besar negara di dunia (lebih dari 75%) menggunakan demokrasi sebagai pilihan sistem politik? Apa pemahaman masyarakat tentang demokrasi yang salah? Atau pada tataran praktiknya yang salah? Tampaknya kita perlu membuka lembaran sejarah dunia mengenai hal ihwal demokrasi. Menurut filsuf Aristoteles (384-322 SM) ada 3 orang filsuf sebagai peletak dasar-dasar demokrasi, yakni Peisistratos (605-527 SM), Kleisthenes (570-507 SM), dan Perikles (495-429 SM) yang hidup dan memerintah di zaman Yunani Kuno. Di bawah pemerintahan para filsuf dan peletak dasar demokrasi itu masyarakat Yunani saat itu hidup dalam ketentraman dan kemakmuran. Penguasa itu dapat menciptakan ketenangan masyarakat karena secara bertahap mampu menyertakan rakyat dalam mengurus negara. Selain itu, mereka juga adil dalam menegakkan hukum, memberi santunan kepada masyarakat yang memerlukan bantuan. Harkat dan martabat orang sebagai warga masyarakat juga dijunjung tinggi. Masyarakat tidak saja hidup dalam ketentraman dan kedamaian karena hukum ditegakkan dan santunan diberikan kepada yang memerlukan, tetapi juga hidup saling menghargai dan menghormati antar-sesama warga. Menurut Aristoteles itulah esensi dasar demokrasi. Jadi dalam sejarah penciptaannya, demokrasi bertujuan sangat mulia dan dipraktikkan dengan cara yang sangat baik. Sebab, eksistensi warga sangat dijunjung tinggi dan hak-hak dasar dipenuhi. Dengan demikian, ketika dijalankan oleh peletak dasarnya demokrasi tidak ada masalah sama sekali. Tetapi ketika paham demokrasi diadopsi oleh masyarakat dunia timbul praksis yang berbeda-beda karena masing-masing memaknai secara berbeda pula sesuai selera mereka. Di Indonesia sendiri di zaman Orde Lama oleh Soekarno dikenalkan sistem Demokrasi Liberal. Di zaman Orde Baru Soeharto mengenalkan sistem Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Ada pula yang menyebut sebagai soft democracy (demokrasi semu). Di era Pasca-Orde Baru saat ini ada sebagian orang menyebutnya sebagai demokrasi kebablasan karena perilaku eforia yang beelebihan akibat sekian lama terkungkung oleh sistem otoriter yang dijalankan Orde Baru. Bahkan sebuah stasiun televisi swasta punya acara khusus yang diberi nama DEMOCRAZY. Di zaman ketiga filsuf peletak dasar demokrasi itu justru dalam rangka mewujudkan demokrasi warga hidup saling menghormati. Tapi saat ini seakan terjadi paradoks, yakni demi demokrasi orang bebas berbuat apa saja — bahkan mengucapkan apa saja — yang penting maksud tercapai. Tampaknya, masyarakat kita tidak memahami makna demokrasi sebagaimana dijalankan oleh penggagas awalnya yang tujuan dan praktiknya sangat mulia. Jika persoalannya pada kesalahpahaman dan kebingunan dalam memaknai demokrasi atau tidak tahu hal ihwal demokrasi diciptakan, persoalannya tidak separah jika dibanding dengan akibat yang ditimbulkannya. Perhatikan berapa banyak proses pilkada sebagai bagian dari demokrasi yang akhirnya berujung pada konflik, perusakan sarana publik, dan saling gugat. Karena itu, pakar itu pakar politik Snyder secara panjang lebar pernah menyatakan sebagai proses politik demokrasi tidak serta melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana dibayangkan orang selama ini. Sebaliknya, demokrasi justru awal terjadinya konflik, perpecahan dan disharmoni sosial. Jika para politisi atau pelaku demokrasi ditanya mengapa tindakannya yang atas nama demokrasi kok justru melenceng jauh dari norma dan nilai-nilai sosial yang mestinya dijunjung tinggi? Mereka umumnya menjawab dengan dua alasan. Pertama, sebagai bangsa yang baru saja lepas dari cengkeraman rezim otoriter, kita baru belajar demokrasi dan karenanya wajar jika perjalanannya masih compang-camping seperti ini. Karena itu, biarkan saja. Toh ini sebuah proses. Kedua, demokrasi tidak mesti kita maknai sebagaimana bangsa lain, termasuk bangsa yang menciptakan demokrasi, memaknainya. Kita mesti bisa memaknai demokrasi sebagiamana mau kita yang sesuai dengan konteks sosial dan kultural kita. Negara-negara lain seperti Jepang (yang punya Kaisar), Malaysia dan Thailand (yang punya raja), Myanmar (yang punya junta militer) Iran (yang punya pemimpin spiritual sebagai pemimpin tertinggi), Cina (yang pernah melibas habis para demonstran di Tianamen, Russia (yang bekas Uni Soviet) dan lain-lain juga menyatakan sebagai negara-negara demokrasi menurut versi mereka. Katena itu, apa salahnya kita menciptakan makna dan siste demokrasi menurut versi kita sendiri. Dengan demikian jelas bahwa banyak bangsa meciptakan demokrasi sesuai yang mereka mau. Ini sah-sah saja. Asal apa yang dimaksud pelakunya sesuai dengan yang dimaknai masyarakat konstituennya. Persoalannya adalah yang dimaksud para politisi, penguasa, atau penggiat demokrasi tidak sama dengan yang dimaknai oleh masyarakat. Akibatnya terjadi apa yang dalam studi ilmu bahasa disebut semantic gap, yakni kesenjangan makna antara produser dan masyarakat sebagai mitra. Ini berbahaya. Sebuah tindakan dilakukan pasti ada maksud yang hendak dicapai. Begitu juga sebuah ungkapan demokrasi dipakai jelas tersirat maksud untuk dicapai dan makna yang saling disepakati oleh produser dan khalayak ke mana sebuah ungkapan ditujukan. Tidak ada sebuah tindakan yang tidak bermakna. Begitu juga tidak ada kata dan ungkapan yang tidak bermakna. Jika diteruskan, sekecil apapun, tidak ada sebuah ungkapan yang tidak berdampak. Dengan kata lain, sebuah kata atau ungkapan mempunyai aspek pragmatik. Agar aspek pragmatik terjaga, kehati-hatian melakukan tindakan dan memroduksi ungkapan mutlak diperlukan. Jika orang mengaku hanya ungkapan dan maksudnya yang paling benar, maka di situ terjadi kekacauan pragmatik yang berdampak pada kekacauan sosial. Selain memiliki aspek pragmatik, sebuah ungkapan juga memiliki aspek etik, yakni bagaimana ungkapan disampaikan. Maksud yang baik menjadi tidak efektif atau berakhir sebaliknya jika disampaikan dengan tidak baik. Sebagaimana maksud dan tujuan demokrasi yang begitu mulia, jika tidak dilakukan dengan mengindahkan norma dan tata nilai masyarakat yang ada, maka maksud yang baik itu dapat berujung sebaliknya sebagaimana tesis yang dinyatakan oleh Snyder di atas. Setiap orang boleh dan berhak memroduksi ungkapan apa saja yang mereka inginkan. Tetapi perlu diingat bahwa setiap orang juga boleh dan punya hak untuk menikmati ketentraman, kesejukan, kesejahteraan dan harmoni sosial. Karena itu, kita tidak bisa bertindak apa saja yang kita mau. Begitu juga kita tidak bisa berperilaku apa saja atas nama demokrasi sebagaimana yang kita maksudkan sendiri. Kita harus sadar di kanan kiri kita ada other(s) yang juga punya hak seperti kita yang harus dihormati pula. Begitu beragamnya makna dan tindakan atas nama demokrasi yang begitu meluas, saya membayangkan andai saja ketiga filsuf penggagas demokrasi — Peisistratos, Kleisthenes, dan Perikles— masih hidup, saya kira mereka akan pergi ke mana-mana atau diundang di mana-mana untuk menjelaskan makna demokrasi sebagaimana yang meraka maksudkan dulu. Sayang ketiganya telah meninggal berabad-abad yang lalu, dan karenanya demokrasi dimaknai begitu beragama sesuai maksud penggunanya. Ketiganya mungkin menyesal mengapa cita-cita demokrasi yang begitu indah tidak dijalankan seindah maksud penggagasnya ! ________ Malang, 20 Februari 2010. .
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang