Memperingati maulid  di mana-mana biasa dilakukan. Bahkan hari kelahiran Nabi Muhammad di Indonesia ditetapkan sebagai hari libur nasional. Tanggal tersebut  berwarna merah, petanda hari itu libur nasional. Kantor-kantor pemerintah dan juga swasta, termasuk sekolah-sekolah mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi semuanya libur.
 Masyarakat  pada umumnya memperingati hari lahir Nabi Muhammad dengan berbagai cara. Di antaranya membaca kitab barzanji di masjid-masjid, mushalla dan juga di rumah-rumah  bersama-sama. Selain itu, mereka juga berkenduri dengan cara yang khas sesuai dengan tradisi daerah masing-masing.  Pada malam maulid itu, saya di  perjalanan pulang dari Universitas Jember dalam acara pertemuan Rektor PTN se Jawa Timur. Kebetulan pada saat sekitar waktu maghrib melewati Pasuruan. Saya menyaksikan, suasana maulid  benar-benar berbeda dari tempat lain, setidak-tidaknya dari lingkungan tempat tinggal saya.  Peringatan Maulud di Pasuruan benar-benar menjadikan wilayah itu sepi. Rupanya semua orang berkumpul di masjid-masjid, mushalla dan atau lainnya misalnya di rumah para ulama’atau kyai mereka masing-masing. Jalan-jalan menjadi sangat sepi. Kalau ada kendaraan roda empat yang lewat, tampaknya bukan mobil Pasuruan. Sepeda motor hanya satu dua yang lewat di jalan-jalan. Suasana religious menjadi sangat tampak dan terasakan sekali.  Toko-toko di sepanjang jalan, saya lihat tutup. Kalau ada yang buka, semisal Alfamart atau Indomart, rupanya juga tidak ada pembeli. Tampak dari luar, di dalam  toko-toko swalayan tersebut hanya para penjaganya masing-masing. Malam itu di jalan-jalan sepanjang Pasuruan sepi. Semua orang berkonsentrasi memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw.   Sebaliknya, masjid-masjid atau mushalla dipenuhi oleh jamaáh. Seseorang di antara mereka dengan menggunakan pengeras suara membaca barzanji, sedangkan  lainnya mendengarkan. Saya lihat dari jalan yang saya lewati, mereka  di masjid-masjid atau mushalla duduk bersama-sama secara  khusuk mendengarkan bacaan kitab Barzanji, shalawat,  dan doa yang dipimpin   oleh salah seorang di antara mereka.  Melihat kenyataan itu, dalam pikiran saya muncul  beberapa pertanyaan yang sulit saya jawab sendiri.  Di antaranya misalnya, apa yang terbayang bagi kebanyakan mereka tatkala memperingati hari kehiran Nabi Muhammad saw. Apakah mereka ingin mendapatkan pahala atau syafaat nanti di akherat,  atau benar-benar merupakan  bentuk ekpresi kecintaan mereka terhadap rasul yang menjadi anutannya, atau  sekedar tradisi yang harus dijalankan.   Pertanyaan tersebut sederhana, tetapi menjadi agak rumit tatkala dikaitkan dengan gelala lain pada umumnya di Pasuruan. Semaraknya peringatan maulid  tersebut ternyata belum sepenuhnya berkorelasi dengan kehidupan ber-Islam sehari-hari. Di Pasuruan memang banyak pesantren, madrasah, masjid, ulama’, dan kyai,  tetapi beberapa jenis  penyimpangan sosial,   kabarnya  juga tidak sedikit, belum berbeda dari daerah-daerah lainnya. Sehingga antara kecintaan pada Rasul yang diekpresikan melalui peringatan Maulid dengan hal yang disebutkan itu,  seperti belum  ada korelasi.  Sebagai masyarakat yang terlalu mencintai Rasulnya, semestinya di Pasuruan dalam berbagai aspeknya, ——pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, akan menjadi lebih maju atau lebih Islami bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Misalnya  fakir miskin dan anak yatim terurus dengan baik. Akan tetapi pada kenyataannya kasus-kasus terkait kemiskinan dan semacamnya  masih dengan mudah terdengar. Demikian pula pengangguran, angka drop out dan lain-lain masih banyak.  Gambaran tersebut,  memunculkan pertanyaan baru yang agaknya juga tidak mudah dijawab, misalnya bagaimana masyarakat Pasuruan memahami dan menghayati agamanya. Apakah agama dipandang sekedar sebagai keharusan ritual yang seharusnya dijalankan, ataukah agama sebagai pandangan hidup yang luas, seluas kehidupan itu sendiri. Jika yang terjadi bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad  hanya dipandang sebagai tuntunan ritual, maka sebenarnya ada sesuatu  yang masih perlu disempurnakan, yaitu tentang pendidikan agama Islam itu sendiri. Islam dengan begitu belum dimaknai secara utuh, yaitu sebagai ajaran untuk  mendorong  dan sekaligus memberi tuntunan  agar ummatnya  selalu mencari ilmu pengetahuan seluas-luasnya, menuntut mereka agar menjadi manusia unggul, ——bertauhid, menjadi orang yang dapat dipercaya, dan selalu menjaga kesucikan dirinya, selalu menjunjung tinggi keadilan, menjalankan ritual secara baik, dan selalu beramal shaleh atau bekerfja secara professional.  Hingga sampai di sini, saya juga berpikir lebih jauh lagi, bahwa jangan-jangan apa yang terjadi di masyarakat Pasuruan yang terkait dengan Islam itu, sebenarnya juga terjadi di tempat-tempat lain secara luas, tidak saja di Indonesia melainkan juga di mana saja. Jika benar demikian, maka diperlukan gerakan pemahaman kembali tentang Islam dan begitu juga seharusnya dilakukan reformulasi  pendidikan Islam  secara mendasar dan menyeluruh. Wallahu a’lam.    Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang