Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Kepedulian Tetangga

Kali ini saya menulis sesuatu yang amat sederhana, sepele, dan bahkan juga mungkin disebut lucu. Yaitu, terkait dengan kasus raibnya seekor ayam. Sedemikian sepele cerita ini, sehingga bisa jadi sementara pembaca akan mengganggap hal itu tidak sepatutnya diceritakan melalui media modern, seperti website atau facebook. Namun betapapun, sesuatu yang kadang dianggap sepele tetapi justru memiliki nilai atau hikmah yang tinggi.

Cerita itu adalah sebagai berikut. Isteri saya, sudah lama memiliki kegemaran menanam sayur, bunga, dan juga pelihara ayam kampung. Kegiatan itu sebatas untuk mengisi waktu kosong dan sekaligus memanfaatkan lahan di bagian belakang rumah. Ayam yang dipelihara juga tidak banyak, biasanya tidak lebih dari lima ekor saja. Tidak sebagaimana biasanya, beberapa hari lalu, seekor ayam yang agak besar, ternyata raib dari kandang tanpa diketahui kemana unggas itu. Pembantu di rumah menduga, ayam tersebut diambil pencuri. Agaknya dugaan itu masuk akal, karena kandang ayam itu tidak terlalu sulit dijangkau oleh siapapun. Sekalipun di sekeliling rumah ada pagar tembok dengan tinggi sekitar dua setengah meter, tetapi bagi siapapun yang mau masuk, apalagi orang yang berniat tidak baik, akan mudah sekali. Saya sendiri ragu atas dugaan itu, karena umpama ayam tersebut diambil pencuri, maka semuanya akan hilang. Di antara lima ekor, hanya satu saja yang hilang, yang lain masih ada. Tapi saya ketika itu tidak mau terlibat ikut meributkan seekor ayam itu. Saya menduga, ayam itu tidak ada yang menyuri, tetapi lepas saja dari kandang lalu kabur. Saya tahu, kandang ayam itu tidak terlalu kuat, dan lubangnya cukup longgar, maka bisa saja ayam itu lepas. Saya juga tidak hirau peristiwa itu berkepanjangan. Daripada merhatikan seekor ayam, lebih baik nulis artikel pendek, sebagaimana yang saya lakukan setiap pagi. Dua hari berikutnya, setelah ayam itu hilang, datanglah seorang ibu, tetangga sebelah dengan membawa ayam jago. Ia menanyakan, apakah ayam tersebut milik saya. Setelah dilihat, rupanya memang benar, bahwa ayam itulah yang sejak dua hari lepas dari kandang. Ibu pembawa ayam yang rumahnya di sebarang sungai, kira-kira berjarak 100 meter dari rumah saya tersebut, bercerita telah menemukan ayam di sebelah rumahnya, yang tampak asing, dan kelihatan kebingungan, lalu ditangkap ramai-ramai, bersama anak dan tetangganya. Memang peristiwa kehilangan ayam itu, sebelumnya sempat didengar oleh beberapa tetangga. Berita itu diperoleh melalui pembicaraan para ibu-ibu sehabis sholat berjama’ah. Umumnya para ibu terbiasa berbincang-bincang apa saja setelah sholat di masjid. Kebiasaan berbincang-bincang sehabis sholat berjama’ah tersebut, menjadikan antar tetangga sangat akrab. Sehingga peristiwa sekecil apapun, mereka menjadi tahu, tidak terkecuali tentang kehilangan ayam tersebut. Dari peristiwa sederhana dan bahkan sepele itu, saya memperhatikan bahwa ada sesuatu yang bernilai amat tinggi, apalagi jika hal itu dikaitkan dengan kehidupan sekarang ini. Menyaksikan tetangga dengan semangat dan ikhlas mengantarkan seekor ayam yang hilang, saya menjadi kagum dan haru. Saya merasakan tetangga itu memiliki perilaku, watak dan karakter yang begitu baik. Sesungguhnya tetangga itu hidupnya biasa-biasa saja dan bahkan masih tergolong berkekurangan. Pendidikannya juga sekedarnya hanya lulus SD, pengetahuan agamanya juga terbatas, tetapi menurut saya, ia menyandang kejujuran yang luar biasa. Umpama setelah menemukan ayam itu, ibu tersebut pura-pura tidak tahu bahwa ayam itu milik tetangganya, kemudian disembelih olehnya, dijual atau dipeliharanya sendiri, tidak akan ada orang yang tahu. Peristiwa sederhana itu, bagi saya telah membuktikan bahwa tidak benar penyimpangan sosial hanya disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat, sebagaimana yang banyak disimpulan dalam berbagai seminar atau diskusi ilmiah. Banyak orang yang secara ekonomi lemah dan tingkat pendidikannya tidak seberapa, tetapi ternyata memiliki kejujuran yang tinggi. Sebaliknya, banyak orang kaya, pejabat dan bahkan berpendidikan tinggi, tetapi terbukti masih melakukan korupsi, kolosi dan nepotisme. Selain itu, dengan peristiwa tersebut saya membayangkan, jika seluruh warga negara ini, berperilaku, atau memiliki watak dan akhlak sebagaimana tetangga saya yang menemukan ayam tersebut, maka kehidupan masyarakat akan baik sekali. Apalagi jika penyandang akhlak mulia itu adalah pejabat, dan atau pemimpin bangsa ini, maka negeri ini seolah tidak memerlukan jaksa, hakim, tipikor dan bahkan juga KPK. Tanpa institusi itu pun, jika akhlak dijunjung tinggi, penyimpangan tidak akan sebanyak sekarang. Dengan akhlak yang mulia, semua warga masyarakat saling menjaga dan juga mengamankan. Selanjutnya setiap mengingat peristiwa itu, tidak hentinya saya berpikir, mengapa orang-orang yang justru berpendidikan tinggi, pejabat, dan orang-orang yang selama ini dipandang terhormat, tetapi tidak mampu mengemban amanah. Sebaliknya justru orang kampung yang berpendidikan rendah dan juga berekonomi pas-pasan itu, ternyata mampu dan berhasil menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak baik. Belajar dari pengalaman itu, siapapun tidak boleh gegabah, berkesimpulan bahwa seolah-olah hanya ekonomi yang dianggap penting untuk membangun bangsa ini. Lagi pula tidak boleh menganggap bahwa orang yang berekonomi lemah selalu identik dengan ketidak-jujuran. Pada kenyataannya tidak begitu. Orang berpendidikan rendah, dan juga tingkat ekonomi tidak seberapa tinggi, tetapi karena selalu menjaga kehidupan keagamaannya, misalnya dengan sholat berjama’ah di masjid secara istiqomah, maka ternyata berhasil membangun watak, pribadi dan akhlak yang baik. Hal itu terbukti, sebagaimana dalam kasus sederhana tersebut di muka, dengan akhlak yang mulia, ternyata kepedulian terhadap tetangga pun dapat dipelihara. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *