Konflik Di Lembaga Pendidikan

Konflik di mana-mana bisa terjadi, termasuk di lembaga pendidikan.  Keluarga kecil yang terdiri atas suami dan isteri saja tidak luput dari  konflik, dan bahkan tidak mustahil mengakibatkan perpisahan atau  perceraian. Atas dasar  kenyataan itu, maka sementara orang berpandangan bahwa konflik adalah kejadian yang wajar, sehingga dapat saja terjadi di mana-mana, yaitu di keluarga, di perusahaan, organisasi sosial, pemerintah  dan tak terkecuali adalah di lembaga pendidikan.

    Konflik di lembaga pendidikan muncul diakibatkan oleh persoalan-persoalan yang menyangkut tentang kepemimpinan, manajemen, perbedaan-perbedaaan pandangan, kepentingan-kepentingan  dan lain-lain. Pemilihan kepala sekolah, rektor atau jabatan-jabatan lainnya yang dipandang tidak adil dan transparan, seringkali mengakibatkan konflik.  Demikian pula pengelolaan keuangan yang tidak terbuka serta rekruitmen kepegawaian yang tidak adil biasanya mudah sekali melahirkan konflik-konflik yang berkepanjangan.     Sementara orang mengatakan bahwa konflik justru  menguntungkan lembaga. Sebab, dengan terjadinya konflik maka akan terjadi dinamika internal organisasi. Konflik akan memaksa  kelompok pimpinan dan juga anggota melakukan fungsi dan perannya secara terbuka, demokratis, dan saling menghormati di antara anggota komunitasnya.     Konflik akan mencegah kebijakan yang bersifat menguntungkan sepihak dan sikap-sikap otoriter. Tetapi menurut pandangan ahli di bidang organisasi, konflik yang  melebihi kadarnya akan justru mengganggu dinamika organisasi itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana organisasi mampu menciptakan konflik yang produktif dan bukannya yang kontraproduktif itu.     Lembaga pendidikan dijadikan oleh para siswa atau mahasiswa sebagai wahana mematangkan diri, baik intelektual, emosional, spiritual dan sosialnya. Guru atau dosen bukan manusia yang selalu benar, maksum atau suci  dari dosa atau kesalahan. Mereka bukan nabi atau  seorang rasul. Posisi mereka adalah sebagai manusia biasa, yang tidak akan luput dari sifat salah dan lupa.     Sehubungan dengan pandangan tersebut,  maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah  bagaimana membangun budaya sekolah dan atau kampus yang kondusif, sehingga lembaga pendidikan tetap mampu membangun iklim pendidikan yang tepat,  artinya benar-benar menjadi tempat persemaian  sifat-sifat unggul yang akan  disandang oleh para siswa dan atau mahasiswa yang sedang belajar berbagai hal di dalamnya ?       Suasana atau iklim demokratis seperti : berbeda tanpa merasa bermusuhan atau dimusuhi, bersatu dan saling menyayangi tetapi juga tidak mengganggu munculnya sikap kritis; terdapat kelompok yang berposisi di atas, tetapi juga tidak memaksa dan merasa menguasai yang di bawah; dan sebaliknya terdapat kelompok yang di bawah tetapi juga tidak merasa dieksploitasi oleh mereka yang sedang di atas; dan seterusnya harusnya selalu dikembangkan. Konfkil dengan begitu mungkin masih ada, tetapi tidak mengganggu iklim pendidikan.       Suasana lembaga pendidikan semestinya dibangun hingga menjadi  bagaikan  permainan olah raga professional. Semua pihak boleh memperjuangkan aspirasinya, akan  tetapi harus mengikuti aturan main yang ada, misalnya harus objektif, selalu menjaga korp, sportif, terbuka dan semacamnya. Dengan begitu lembaga pendidikan masih akan tetap dinamis,  dan  mampu menumbuh-kembangkan sifat-sifat mulia,  yang disandang oleh  manusia berpendidikan unggul. Wallahu a’lam    

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share