Kiranya banyak orang membayangkan bahwa, keberadaan perguruan tinggi  selalu memberikan berbagai manfaat bagi masyarakatnya. Tetapi peran itu, ternyata di mana-mana belum bisa dilakukan secara maksimal. Banyak hal yang kiranya menghambat, mulai dari ketersediaan dana dan dosen yang masih terbatas jumlahnya, manajemen, dan taraf pertumbuhannya sebagian yang masih belum cukup lama.
 Selama ini sementara perguruan tinggi memang, bentuk kegiatannya masih terbatas. Setiap musim penerimaan mahasiswa baru, sibuk mempromosikan diri agar didatangi calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, menyelenggarakan kuliah, mengurus tugas akhir mahasiswa, ujian, dan mewisuda lulusannya. Ukuran-ukuran keberhasilan atau kemajuan perguruan tinggi dengan keadaannya seperti itu juga sederhana.  Perguruan tinggi disebut hebat manakala jumlah peminat masuk jauh lebih banyak dari yang diterima, sanggup menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, jumlah dosen cukup, dan mahasiswa bisa lulus dan diwisuda tepat waktu. Selain itu, ukuran keberhasilan lainnya adalah seberapa lama lulusannya mendapatkan pekerjaan. Semakin pendek masa tunggu para wisudawannya mendapatkan pekerjaan, perguruan tinggi yang bersangkutan dianggap semakin maju.  Hal sederhana juga  tatkala mengukur kinerja para dosennya. Dosen hanya diukur dengan ukuran yang sederhana, bersifat serba kuantitatif. Misalnya, apakah para dosen telah menunaikan tugas sebagaimana jumlah yang mestinya,  yakni berapa kali memberi kuliah pada setiap semesternya, apakah telah genap  16 kali pertemuan, telah memberikan tugas-tugas kepada mahasiswa, melakukan kegiatan di laboratorium dan seterusnya. Semua itu diukur dan dihitung dengan ukuran kuantitatif. Padahal sudah diketahui, bahwa pemenuhan kuantitatif tidak selalu diikuti oleh pemenuhan kualitatifnya.   Penilaian yang bersifat kualitatif, yang sesungguhnya lebih penting, seringkali diabaikan. Padahal tatkala mahasiswa lulus dan memasuki dunia nyata di tengah masyarakat, ukuran-ukuran yang digunakan adalah justru yang bersifat kualitatif itu. Sehingga yang sesungguhnya diperlukan adalah apakah   isi atau materi yang diberikan oleh dosen di hadapan mahasiswa benar-benar berhasil membangkitkan semangat dan memperkaya pengetahuan baru yang dibutuhkan. Mestinya, kinerja dosen dilihat, baik dari aspek kuantitatif dan kualitatifnya.   Kelemahan lainnya juga  terjadi tatkala mengukur  karya-karya para dosennya. Dosen yang secara kuantitatif telah menerbitkan karangan ilmiah di sejumlah majalah, jurnal, dan menulis  buku, bahkan sejumlah laporan penelitiannya, dipandang cukup untuk dinaikkan pangkatnya.  Penulisan karya ilmiah hanya dilihat dari  jumlah halamannya, ketepatan formatnya, dan benar cara mengutipnya. Hal yang terkait dengan hal baru apa yang ditemukan, kualitas isi tulisan, dan orisinalitas temuan penelitiannya kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya, karya dosen yang bersifat kuantitatif dan bahkan simbolik seperti itu, melahirkan cara kerja yang  kurang terpuji di kalangan para dosen, misalnya melakukan flagiat dan sejenisnya.  Oleh karena itu selama ini, manajemen dan tata kelola  perguruan tinggi, bisa dikatakan hanya dijalankan bagaikan  sebuah mesin, sehingga semua aspek  bersifat mekanis,  rutin, dan berulang-ulang. Kehidupan seperti itu, menjadikan semua aspek berjalan, tetapi tidak menunjukkan adanya inovasi, pembaharuan, kreativitas yang seharusnya menjadi  ciri khas perguruan tinggi. Akhirnya, perguruan tinggi  menjadi seolah-olah hidup, tetapi sebenarnya hanya mengikuti peraturan dan kebiasaan yang diciptakan, baik oleh dirinya sendiri maupun pemerintah yang mengaturnya.  Dengan demikian, perguruan tinggi bagaikan barang hidup tetapi tidak memiliki jiwa atau ruh. Jati diri perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu, penelitian, pembaharuan, dan tempat lahirnya ide-ide atau pikiran baru,  tidak hidup dan tidak mampu bersinar. Gambaran seperti itu menjadikan peran peran perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat kurang maksimal. Padahal siapapun akan membayangkan, bahwa perguruan tinggi  seharusnya menjadi tempat berkumpulnya para guru besar yang penuh kreativitas dan  ide-ide inovatif di  berbagai disiplin ilmu. Institusi ini  bagaikan mercusuar di tengah laut, yang tugasnya adalah memberikan penerangan dan bahkan juga arah bagi siapapun yang ada di lautan gelap itu, agar tidak tersesat dan menubruk karang.   Selanjutnya, sebagai sebuah mercusuar, maka para guru besarnya  sehari berpikir, meneliti, —–baik di laboratorium atau di lapangan, menulis hasil penelitiannya, menulis buku-buku, berdiskusi dan seminar bersama koleganya. Dengan begitu perguruan tinggi memang benar-benar sebagai pusat atau sumber ilmu pengetahuan. Ukuran kehebatan perguruan tinggi juga bukan saja dilihat dari jumlah lulusan yang dihasilkan pada setiap tahun, berapa kali mewisuda sarjana, melainkan adalah  kualitas hasil pikiran-pikiran, temuan, dan karya-karya ilmiah, dan sumbangannya terhadap pengembangan masyarakat yang dilakukan  oleh para dosen, guru besar, dan para mahasiswanya.  Jika gambaran perguruan tinggi seperti itu, maka masyarakat di sekitarnya menjadi teruntungkan. Hasil penelitian yang dilakukan dijadikan dasar untuk pengembangan masyarakat di sekitar kampus. Bidang ilmu dan penelitian yang dikembangkan oleh kampus juga menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakatnya. Masyarakat yang berada di sekitar hutan, misalnya akan  mengembangkan ilmu kehutanan. Masyarakat di pinggir laut maka mengembangkan kelautan. Dan demikian pula seterusnya. Oleh karena itu, tidak ada kajian perguruan tinggi yang  tidak sejalan dengan kebutuhan hidup masyarakatnya.  Gambaran ideal itu, ternyata belum seluruhnya diraih oleh semua perguruan tinggi. Masih banyak perguruan tinggi yang berada pada fase pertumbuhan.  Berbagai factor yang seharusnya telah dicukupi, ternyata masih pada taraf pencaharian. Tenaga dosen masih harus ditambah, dana masih harus dicari, fasilitas masih harus dipenuhi dan bahkan konsep perguruan tinggi yang dikembangkan masih dicarikan formatnya. Hal seperti inilah yang menjadi sebab, pertumbuhan kebanyakan perguruan tinggi tidak secepat yang diharapkan, sehingga belum sepenuhnya berhasil memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekelilingnya secara maksimal.  Perguruan tinggi di negeri ini tidak bisa tumbuh secara cepat, di anataranya selain disebabkan hambatan pendanaan, juga  oleh karena manajemen dan otonomi pengelolaannya. Hambatan itu lebih-lebih dirasakan oleh perguruan tinggi  negeri. Anggaran yang bersumberkan dari pemerintah  menjadikan perguruan tinggi tidak memiliki keleluasaan untuk mengelolanya. Karena aturan yang sedemikian ketat, hingga pimpinan universitas tidak memiliki ruang kreativitas untuk memajukan kampusnya. Bahkan bentuk kreativitas  kadang dimaknai sebagai penyimpangan. Inilah sebagian kecil dari dilema perguruan tinggi.  Oleh karena itu, yang seringkali muncul dari kalangan pimpinan perguruan tinggi adalah tuntutan agar diberikan otonomi secara luas, baik otonomi akademik, tata kelola, dan pengelolaan anggarannya. Wallahu a’lam.Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang