Tidak banyak lembaga pendidikan Islam, apalagi lembaga pendidikan tinggi mengembangkan tradisi yang bernuansa spiritual, misalnya membaca al Qur^an bersama-sama, membaca sholawat nabi, puasa sunnah Senin dan Kamis, sholat berjama^ah di masjid, dzikir bersama dan lain-lain. Kegiatan semacam itu telah lazim dilakukan oleh komunitas masyarakat pada umumnya, tetapi tidak banyak dilakukan di kampus-kampu. Padahal kegiatan semacam ini, selain memperkukuh keimanan, juga akan sangat penting untuk membangun kultur Islam.
Kegiatan semacam itu, bahkan sering kali masih diperdebatkan, apakah perlu atau tidak dilakukan, ketika dikaitkan dengan fungsi dan peran kampus. Sementara pihak berpendapat bahwa kampus hanya memiliki otoritas pengembangan ilmu dan bukan lainnya. Tugas kampus yang sebenarnya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan melalui riset dan kajian ilmiah. Kegiatan kultural spiritual seperti itu semestinya tidak dilakukan oleh kampus. Perguruan tinggi menurut pandangan sebagian orang tersebut adalah mencetak orang cerdas, kritis dan pintar. Sebaliknya, ada juga pihak lain yang berpendapat bahwa kegiatan spiritual sangat penting untuk menyempurnakan kegiatan intelektual, agar aspek-aspek kehidupan yang dikembangkan menjadi lebih utuh. Manusia tidak cukup hanya dibekali dengan akal atau rasio, tetapi juga harus disempurnakan dengan kekayaan hati. Masing-masing wilayah itu harus dikembangkan secara bersamaan dan seimbang. Kecerdasan atau kepintaran jika tidak diikuti oleh sifat-sifat terpuji, akan menjadikan orang lain justru dibuat sengsara olehnya. Sifat-sifat terpuji belum tentu bisa ditumbuh-kembangkan melalui ilmu pengetahuan, melainkan harus ditempuh melalui kegiatan spiritual. Atas dasar pandangan ini maka kegiatan spiritual dianggap besar sekali artinya, termasuk di kampus-kampus. Kegiatan spiritual seperti sholat berjama’ah bersama di masjid kampus, membaca al Qur’an bersama, dzikir bersama dan semacamnya itu, setidaknya akan mempererat hubungan atau sillaturrahmi sesama warga kampus. Hubungan-hubungan yang dibangun atas dasar kekuatan logika —–sebagai tradisi orang kampus, kadangkala justru melahirkan suasana kontraproduktif, yakni bersifat transaksional, untung rugi, dan bahkan juga bersifat manipulatif. Untuk memperkokoh hubungan antar sesama warga kampus diperlukan media, dan ternyata kegiatan ritual spiritual tersebut sangat efektif dan besar sekali hasilnya. Seringkali tidak disadari oleh banyak orang bahwa hubungan yang hanya didasari oleh kekuatan akal, hanya akan melahirkan jarak sosial sebagaimana dikemukakan di muka. Sebaliknya, sifat-sifat ketulusan, keikhlasan, sabar yang sangat diperlukan dalam kehidupan bersama hanya bisa dibangun melalui kegiatan ritual, spiritual dan kultural seperti itu. Manusia dalam hidup bersama tidak saja membutuhkan pandangan mata yang tajam, tetapi kekuatan itu seharusnya disempurnakan dengan ketajaman hati. Akhir-akhir ini banyak orang mengatakan bahwa berbagai kedewasaan, —–dewasa intelektual, sosial dan spiritual harus dibangun secara bersama. Di kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang kegiatan kultural semacam itu telah lama dikembangkan. Bahkan sebagai rangkaian kegiatan dies natalis, juga dilakukan dzikir bersama warga kampus dan diikuti oleh masyarakat umum. Hasilnya yang dapat dilihat ialah di antaranya, menjadikan komunikasi antar warga kampus dan bahkan dengan masyarakat menjadi lebih lancar, terjadi saling mengenal, saling memahami, mengerti persoalan yang dihadapi dan akhirnya terjadi saling menghargai dan membantu, atau paling tidak, terjadi saling menyapa di antara mereka. Dunia yang semakin menyeret manusia ke alam kehidupan yang bersifat indifidualistik, egois, dan bahkan angkuh terhadap yang lain, utamanya terhadap mereka yang dianggap lebih rendah, maka dengan kegiatan spiritual bersama itu akan menjadi jembatan atau sarana untuk saling bertemu dan mengenal. Kegiatan kampus yang bernuansa spiritual dan kultural itu, rasanya akan mampu membangun kebersamaan di antara warga kampus, sehingga selayaknyalah dikembangkan dan didukung oleh semua. Wallohu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang