Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Membiasakan Diri Menulis

Apa yang saya lakukan di setiap pagi hari, bakda sholat subuh, yaitu menulis artikel pendek dan sederhana, ternyata menarik perhatian beberapa teman. Mereka bertanya, bagaimana hal itu dilakukan. Saya yakin mereka memperhatikan tulisan itu bukan karena kualitasnya, tetapi terletak pada istiqomahnya. Sudah lebih dari setahun, kebiasaan menulis itu memang tidak berhenti dan putus.

Beberapa pertanyaan yang diajukan, misalnya bagaimana mempertahankan ke-istiqomah-an itu. Pertanyaan lainnya, bagaimana mendapatkan ide-ide baru sebagai bahan penulisan. Selain itu juga ditanyakan, bagaimana menulis jika lagi dalam keadaan bepergian atau di perjalanan pada saat-saat yang semestinya menulis. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti ini yang diajukan yang terkait dengan tulisan-tulisan tersebut. Saya percaya dan bahkan yakin, bahwa semua teman dimaksud di antaranya lulusan perguruan tinggi dari luar negeri, telah memiliki kemampuan menulis yang baik. Kepercayaan itu saya dasarkan pada kenyataan bahwa tatkala mereka belajar di luar negeri, tersedia fasilitas dan pembimbing yang handal. Sehingga, kemampuan mereka tidak perlu diragukan. Namun memang anehnya, ternyata ketika lulus dan atau telah pulang dari luar negeri, mereka masih memiliki sisa kelemahan, yaitu kesulitan dalam membiasakan diri untuk menulis itu. Pertanyaan itu rasanya tidak terlalu sulit dijawab. Sebab saya memiliki kebiasaan dua-duanya. Yaitu pernah menjadi orang yang tidak pernah menulis sepotong kalimat pun dalam waktu sekian lama, dan sebaliknya juga telah memiliki kebiasaan itu, sekalipun beberapa tahun saja, dan bisa istiqomah dalam pengertian tidak putus baru selama setahun terakhir ini. Pengalaman ini yang saya gunakan untuk menjawabnya. Memelihara kebiasaan secara istiqomah sesungguhnya tidak terlalu sulit. Jika hal itu harus dirasakan, maka kesulitan itu hanya pada fase-fase awal, yakni dalam waktu sekitar tiga bulan. Setelah menjadi kebiasaan, maka kegiatan itu sudah tidak dirasakan sulit lagi. Sesuatu yang sudah terbiasa, maka justru terasa tidak enak jika tidak dilakukan. Hal itu mungkin sama, jika setiap pagi minum kopi, lantas suatu saat tidak tersedia hidangan itu, maka terasa ada sesuatu yang kurang. Dalam membangun kebiasaan, orang Jawa menyebutnya dengan kalimat : “ witing trisno jalaran songko kulino”. Persoalan lainnya adalah menyangkut ide. Bagaimana pada setiap hari harus mendapatkan ide sebagai bahan tulisan. Kebiasaan menulis memang tidak sama dengan berceramah. Jika mau menulis pada setiap hari, maka tema tulisan harus berbeda-beda. Hal itu berbeda dengan berceramah. Berkali-kali ceramah, bahannya bisa sama, apalagi pendengarnya berbeda-beda. Sehingga ceramah lebih mudah dari menulis. Saya mengatakan bahwa bahan atau ide itu sesungguhnya sekian banyak, dan bahkan berseliweran datang dan pergi setiap saat. Pada setiap hari kita bertemu teman, mendengarkan radio, melihat televisi, membaca koran, majalah, buku dan bahkan yang lebih inspiratif adalah al Qur’an. Semua itu adalah sumber-sumber ide yang tidak pernah putus atau habis. Hanya saja, mungkin idea yang sedemikian banyak itu tidak tertangkap. Atau mungkin, sesuatu selalu dipandang sederhana, hingga dianggap tidak layak ditulis. Padahal yang sederhana itu justru dipandang penting atau dibutuhkan bagi orang lain. Selanjutnya, saya menambahkan bahwa ide itu sesungguhnya selalu lahir dan sekaligus juga beranak pinak. Saya mendapatkan kesimpulan sederhana, bahwa ide itu bisa diungkap dalam sebuah kata. Kata itu biasanya tidak mau sendiri, selalu saja ingin mendapatkan teman, hingga kemudian jika beberapa kata itu bergandeng akan menjadi kalimat. Selanjunya, kalimat pun juga tidak mau sendirian. Ia ingin mencari teman untuk menjelaskan ide tersebut. Maka kemudian kalimat-kalimat tersebut akan berkembang menjadi sebuah alinea. Akhirnya alinea pun juga tidak mau sendirian, ia selalu mencari teman baru. Beberapa alinea tersebut, setelah berkumpul dan bersatu maka sesungguhnya sudah berhasil terbangun sebuah artikel untuk menjelaskan ide yang ingin disampaikannya. Pada saat sekarang ini, membiasakan menulis tidaklah sulit. Sarana untuk itu sudah sekian banyak. Hampir tidak ada orang yang tidak memiliki komputer, setidak-tidaknya bisa pinjam di kantor atau milik teman. Saya seringkali membayangkan, para ulama’ besar terdahulu, berhasil menyusun berbagai kitab tebal-tebal. Padahal ketika itu belum tersedia alat-alat modern sebagaimana sekarang ini. Mereka menulis dengan alat sederhana, menggunakan pena, yang bisa jadi suatu saat kehabisan tinta. Namun karena mereka memiliki kemauan keras, di mana saja dan kapan saja mereka menulis, sehingga berbagai buku berkualitas berhasil ditulis. Dari penjelasan singkat tersebut sesungguhnya sudah ditemukan jawab dari persoalan di muka. Bahwa ternyata kunci dari keberhasilan itu adalah kemauan. Yaitu kemauan dan tekat untuk melakukan sesuatu secara sungguh-sungguh dan istiqomah. Memang sementara ini, untuk menjadikan seseorang bisa dan trampil melakukan sesuatu sudah ada sekolah atau bahkan juga tempat-tempat kursus. Tetapi tatkala membuat orang menjadi mau melakukan sesuatu, memang sampai hari ini belum ada sekolahnya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah melalui pemaksaan. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu adalah mudah, apalagi pihak yang memaksa memiliki wewenang atau kuasa untuk itu. Akan tetapi, jika paksaan itu harus datang dari diri sendiri, ternyata dalam praktek, tidak lebih mudah dilakukan. Inilah sesungguhnya, kendala yang sebenarnya tatkala kita mau membiasakan sesuatu, termasuk membiasakan menulis. Membiasakan apa saja yang baik, pada awalnya tidak mudah. Apalagi kebiasaan itu harus dibangun atas inisiatif atau bersumber dari dirinya sendiri. Ternyata memimpin diri sendiri, sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, tidak semudah memimpin orang lain. Membiasakan diri menulis adalah sama halnya memimpin diri sendiri, yang memang dirasakan tidak terlalu mudah itu. Tapi saya yakin, sesungguhnya semua orang berpotensi bisa melakukan itu, di mana dan kapan saja, dan memang harus bisa. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *