Akhir Maret tahun 2010 ini, NU akan menyelenggarakan muktamar di Makassar. Denyut-denyut semangat muktamar sudah terasa di mana-mana. Berbagai persiapan, tidak saja di Makassar sebagai tuan rumah penyelenggara, tetapi juga terdengar di mana-mana, baik terkait dengan rencana pemberangkatan, dan bahkan juga calon pemimpin mendatang yang akan dipilih pada saat muktamar itu. Memang ciri khas organisasi massa pada umumnya adalah seperti itu. Gemanya menjadi memuncak tatkala muktamar menjelang atau sedang dilangsungkan . Seolah-olah kesibukkan itu hanya di saat-saat muktamar. Para pengurus, bendera, dan juga simbol-simbol organisasi lainnya, dengan kegiatan lima tahunan itu menjadi diingat kembali. Padahal semestinya tidak begitu, kapan saja harus terasa semarak, baik di saat muktamar ataupun tidak. Saya pun setiap muktamar NU selalu ingat ayah saya. Orang tua saya semasa hidup, aktif di NU. Lama sekali, ia menjabat sebagai ketua MWC (Majelis Wakil Cabang) NU dan juga masih merangkap sebagai anggora syuriah di tingkat kabupaten. Saya ingat, semangat ayah ber NU luar biasa. NU menjadi bagian hidupnya terpenting. Ia sangat mencintai NU. Karenanya, sekalipun secara material tidak mendapatkan apa-apa, sehari-hari yang dipikirkan dan diperjuangkan adalah organisasi ini. Namun saya heran, sekalipun beliau sangat fanatik terhadap NU, tetapi ketika saya minta izin memenuhi ajakan guru saya —–Prof.Masyfu’Zuhdi, untuk bekerja di Universitas Muhammadiyah Malang, ayah saya secara spontan merestui. Beliau malah berpesan, bahwa bekerja dan terlibat organisasi apa saja tidak mengapa, asalkan tugas utamanya selalu dilakukan. Diterangkan bahwa tugas utama yang dimaksudkan itu adalah agar di mana dan kapan saja harus mengajak orang untuk mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Tugas itu saja jika selalu ditunaikan secara istiqomah sudah cukup. Pesan itu selalu saya ingat dan saya renungkan. Akhirnya, saya simpulkan bahwa pandangan itu sesungguhnya sangat benar. Warna warni pandangan keagamaan di mana dan kapan saja tidak bisa dihindari. Perbedaan itu selalu terjadi, tidak saja antar organisasi keagamaan, tetapi juga di lingkungan internal organisasi. Jangan dikira bahwa di lingkungan Muhammadiyah atau NU misalnya, selalu ada kesamaan. Ternyata tidak begitu. Ketika PP Muhammadiyah mengumumkan bahwa hukum merokok adalah haram, maka tidak serta merta anggota dan bahkan pimpinan yang lain segera meninggalkan kebiasaan merokok. Begitu juga di kalangan NU. Hal yang saya ingat, ayah begitu fanatik dan cintanya terhadap NU. Organisasi keagamaan ini benar-benar dijadikan sarana untuk perjuangannya. Hampir setiap waktu ia gunakan untuk mengurus NU. Bahkan sebagian tanah miliknya dan juga kalau memiliki uang juga digunakan untuk membangun lembaga pendidikan, yang selanjutnya diberi nama NU itu. Bahkan tidak sebatas menyediakan tanah dan biaya pembangunan, bahkan kehidupan guru-guru pengajar di madrasah itu juga menjadi tanggungannya. Selain mengurus madrasah NU, ayah juga menggerakkan dan mengkoordinasi pengajian-pengajian di berbagai kalangan. Sarana efektif untuk mengumpulkan orang adalah kegiatan kultur keagamaan seperti dibaán, yasinan, tahlil dan semacamnya. Dengan semangat dan kegiatan seperti itu, NU menjadi selalu terasa hidup. NU tidak saja terasakan pada saat muktamar, tetapi juga di setiap saat. Karena fanatiknya itu, maka di setiap rumah warga NU dipasang simbol NU, gambar tokoh-tokoh NU, tidak terkecuali para pendiri dan perintis NU. Memang ketika itu, ekonomi rakyat tidak sebagaimana yang bisa dilihat pada saat sekarang, yaitu apapun selalu menggunakan uang. Uang sekalipun sehari-hari menjadi instrument transaksi dalam kehidupan ekonomi, tetapi belum merasuk ke seluruh kehidupan masyarakat sebagaimana sekarang ini. Orang ketika itu masih bisa digerakkan melalui semangat berjuang. Hal itu berbeda dengan sekarang, ternyata tidak mudah dilakukan. Orang sekarang hanya mungkin digerakkan lewat uang. Itulah barangkali sebagai tanda kehidupan modern yang selalu diwarnai oleh suasana transaksional. Kenyataan itu, mengakibatkan bahwa upaya menggerakkan NU tidak cukup dengan menggunakan kepintaran berpidato, ceramah, atau bentuk komando-komando lainnya. Orang sekarang, baru bergerak jika tersedia uang. Oleh karena itu, pada saat sekarang ini, jika akan mengadakan kegiatan, maka pertanyaan yang diajukan terlebih dulu adalah uangnya dari mana. Jika tidak tersedia anggaran, jangan berharap rencana kegiatan itu berjalan. Oleh karena itu sesuai dengan tuntutan zamannya, pemimpin apa saja, tidak terkecuali pemimpin NU, harus berbekal uang yang cukup. Inilah persoalan yang tidak kecil yang harus dihadapi oleh pemimpin organisasi, termasuk social keagamaan. Padahal sumber-sumber keuangan tidak mudah didapat. Oleh karena itu maka wajar dan mudah dimengerti jika kehidupan organisasi hanya muncul pada saat muktamar. Sedangkan setelahnya, karena tidak tersedia anggaran, maka simbol-simbol organisasi terpaksa disimpan kembali. Selain itu biasanya, setelah muktamar hanya sebatas meneruskan tradisi sebelumnya, yaitu misalnya mengurus madrasah, sekolah, atau pesantren yang sudah berjalan sebagaimana sebelumnya. Memahami kondisi obyektif seperti itu, saya kadang berpikir, apa mungkin umat ini kembali bisa digerakkan dengan modal semangat atau emosi sebagaimana dahulu dilakukan. Menurut hemat saya, hal itu harus bisa. Gerakan keagamaan harus berhasil menghidupkan keimanan sekaligus semangat berzakat, berinfaq, shodaqoh. Semangat beragama harus menumbuh-kembangkan kedua-duanya. Bagian dari keberagamaan seseorang harus diartikan sebagai upaya menumbuh-kembangkan semangat untuk berbuat dan menolong sesamanya. Tokh perintah sholat juga selalu diikuti oleh perintah zakat, iman selalu diikuti oleh perintah amal sholeh dan seterusnya. Apapun beratnya, menurut hemat saya, tugas menghimpun dana tersebut harus bisa dilakukan. Hanya, dalam suasana materialitik seperti ini tidak mudah dilakukan. Oleh sebab itu diperlukan contoh atau ketauladanan. Organisasi social keagamaan, tidak terkecuali NU, memerlukan pemimpin, yang tidak saja mampu menjalankan organisasinya, memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, jaringan social yang kuat, melainkan juga kesediaan untuk memberi contoh mengorbankan apa yang dimiliki, melaui zakat, infaq, shodakoh dan lain-lain.. Atas dasar pandangan tersebut, menurut hemat saya, pemimpin NU ke depan, harus memiliki jiwa pejuang yang tinggi, berani berkorban, dan berani menanggung resiko apapun yang harus dihadapi. Jika muktamar di Makassar beberapa hari ke depan berhasil mendapatkan pemimpin seperti itu, maka organisasi sosial keagamaan ini akan bergerak maju, dan keberadaannya akan dibanggakan oleh semua. Bahkan ia tidak saja diingat tatkala menjelang dan saat muktamar, tetapi juga pada setiap waktu. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang