Memperbincangkan Pentingnya Akhlak

Dalam perjalanan ke sebuah kota, di sepesawat terbang, saya duduk berdampingan dengan seseorang yang mengaku sudah berkali-kali pindah tempat tugas. Orang tersebut ternyata suka bercerita tentang pengalaman hidupnya. Saya tidak bertanya, tentang di mana dan sebagai apa ia bekerja.  Terakhir ini, ia bertugas di salah satu kantor di Batam.

  Orang yang saya maksudkan ini rupanya memang benar-benar suka bercerita. Untuk menyenangkannya, saya mencoba untuk mendengarkan baik-baik ceritanya itu. Sesekali saja saya berkomentar. Rupanya dengan begitu, ceritanya tidak putus-putus. Ia mengaku sudah belasan kota ditempati, sehingga merasa memiliki banyak pengalaman.   Beberapa kota yang pernah ditempati disebutkannya, mulai dari  Riau, Padang, Sumenep, Banyuwangi, Pamekasan, Medan, Surabaya, Bandung dan lain-lain.  Seringnya berpindah tugas dari satu kota ke kota lainnya itu adalah  resiko dari jabatannya itu. Sehingga, di manapun tugas yang diberikan, menurut pengakuannya, ia jalani sebaik-baiknya.       Dari pengalaman panjang ia bekerja dan berpindah-pindah tempat itu, hal yang dianggap penting adalah akhlak. Sekalipun  mengaku tidak terlalu mendalami agama, ia merasakan bahwa tatkala berdinas di kota yang kehidupan keagamaannya baik, maka akan merasa tenteram. Demikian pula keluarganya merasa aman,  sekalipun misalnya ditinggal pergi beberapa hari urusan dinas.   Ia juga menceritakan betapa indanya hidup di tengah kehidupan masyarakat beragama, apalagi pada Bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan datang. Pada bulan itu suasana keagamaan menjadi lebih semarak. Hubungan kekeluargaan mejadi sangat terasa. Masjid, mushala, terutama waktu shalat berjamaáh, didatangi banyak orang. Maka, dengan tempat ibadah itu, maka betapa mudahnya mencari dan membangun relasi,  atau sekedar mencari kenalan.   Sebaliknya, betapa susahnya jika kebetulan, ia  berdinas di tempat yang kehidupan keagamaannya kering dan apalagi  rumah yag ditempati banyak berkeliaran para preman. Ia menceritakan, pernah berdinas di sebuah kota, yang ketika itu perjudian sedemikian marak.  Sudah biasa, ia didatangi preman untuk  meminta uang rokok. Akan tetapi jangan dikira, tatkala diberi rokok atau uang seharga sebungkus rokok mereka mau. Mereka menuntut lebih dari itu.   Ia juga menceritakan hal yang amat menyedihkan. Di kota yang juga banyak perjudian itu, ia mendengar kabar, seorang preman membuntuti pengendara sepeda motor dan sengaja mengganggunya hingga jatuh. Setelah terjatuh, maka dompetnya diambil, dan kemudian berpura-pura mengantarkannya ke rumah sakit. Setelah sembuh orang yang jatuh dan diantarkannya itu, ia pun meminta fee. Cara-cara tidak manusiawi seperti ini, biasa ditemui di kota,  tempat  ia bertugas yang kering kehidupan keagamaannya.   Atas  kenyataan  itu, ia berkesimpulan bahwa memang yang harus dibangun dalam kehidupan ini adalah akhlak.  Membangun akhlak, menurutnya tidak ada jalan lain kecuali melalui agama. Dengan menjalankan agama, maka orang akan peduli antar sesama, saling menghormati, saling menjaga, saling memaafkan, dan bantu membantu.  Kehidupan masyarakat beragama disatukan oleh tempat ibadah dan jenis kegiatan keagamaan lainnya, seperti pembayaran zakat, puasa, haji dan lainnya.   Terakhir,  ia juga menceritakan bahwa, hingga berhasil menjalani hidup seperti sekarang ini, diyakini lantaran  karena doa orang tuanya. Sejak ia kecil, orang tuanya hidup prihatin dan selalu mendoakannya. Tanpa doa itu, —–ia mengaku, tidak akan mendapatkan jabatan apa-apa, sebab prestasinya yang diraih tatkala kuliah hanya selalu pas-pasan. Oleh karena itulah, setiap saat, ——-setidak-tidaknya seminggu sekali, dengan maksud menyenangkannya, ia selalu kontak dengan orang tuanya sekalipun hanya dengan tilpun.   Setelah melewati perjalanan hidup yang panjang, dari kecil bersekolah dan akhirnya setelah dewasa bertugas di mana-mana, ia menemukan makna hidup yang sebenarnya, bahwa keindahan itu  terletak pada akhlak yang mulia, kasih sayang orang tua, dan baik antar sesama. Itu semua bersumber dari ajaran agama. Wallahu a’lam 

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share