Banyak orang menganggap, harta adalah segala-galanya. Harta dipandang sebagai sesuatu yang harus dikuasai, dan bahkan dengan cara apapun harus dilakukan.  Seolah-olah, tanpa harta orang tidak akan bisa hidup atau menjalani kehidupan ini.
 Harta kekayaan kadang juga dianggap sebagai symbol prestise. Seseorang akan dihargai dan dihormati karena memiliki harta yang banyak. Begitu juga sebaliknya, orang merasa dirinya tidak berharga hanya karena tidak memiliki  kelebihan harta.  Cara pandang terhadap harta  seperti itu memang tidak terlalu salah. Sebab dalam hidup ini selalu memerlukan harta kekayaan. Orang tidak akan bisa bersekolah hingga tingkat tinggi, jika tidak tersedia uang yang cukup untuk itu. Orang juga tidak akan bisa pergi kenama-mana, kalau tidak punya uang. Bahkan orang juga tidak akan bisa pergi umrah atau haji, manakala yang bersangkutan tidak memiliki uang untuk membayar ongkosnya.  Bahkan pada akhir-akhir ini, pada kenyataannya seseorang  tidak akan mungkin bisa mencalonkan diri sebagai pejabat, semisal anggota DPRD, DPR, Walikota, Bupati, Gubernur atau lainnya, jika tidak memiliki modal yang cukup untuk berkampanye mengumpulkan suara pendudkung. Akibatnya, tidak akan mungkin orang miskin, sekalipun pintar berhasil menduduki posisi penting itu.   Lebih dari itu, tidak perlu  terlalu jauh, sekedar mau nikah saja, tidak akan terlaksana jika tidak ada uang sama sekali padanya. Apalagi yang akan dinikahi adalah seseorang yang secara ekonomis lebih tinggi, akan memerlukan biaya yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itulah maka biasanya orang miskin tidak akan mampu menikahi orang kaya. Sehingga, orang miskin kalau menjalin asmara akan memilih pasangan sesame sesama miskin, sekalipun dengan begitu akan lahir keluarga miskin baru.  Sebenarnya, Islam tidak melarang siapapun mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Tetapi Islam memberikan petunjuk  bahwa harta yang dikumpulkan itu harus didapat dengan cara yang baik dan tidak merugikan orang lain. Harta menurut Islam, harus dipilih yang baik dan halal, syukur kalau yang memberi berkah. Islam juga menganjurkan umatnya agar mau  bekerja untuk mencari harta itu.   Hanya saja Islam tidak memandang bahwa kekayaan sebagai sesuatu keutamaan. Artinya tidak pernah didapatkan keterangan bahwa dengan kekayaan itu orang menjadi lebih mulia dari yang lainnya. Kecuali,  jika kekayaan itu telah dikeluarkan zakat, infaq,  dan shadaqahnya. Melalui infaq misalnya, hartanya digunakan untuk membangun fasilitas pendidikan, jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya.  Sebaliknya orang kaya, yang tidak mau mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqoh justru dianggap tidak mulia. Orang tersebut dinamai  kikir, dan di mata Islam tidak memiliki tempat yang terhormat. Kekayaan jika tidak benar memperoleh dan membelanjakannya justru akan mencelakakan bagi pemiliknya sendiri.  Puasa mengingatkan tentang nilai harta itu. Seseorang yang sedang  puasa, sekalipun memiliki harta kekayaan yang melimpah, pada siang hari, tidak dibolehkan untuk makan atau meminumnya. Pada siang hari itu, makanan dan minuman tidak ada gunanya  bagi pemiliknya. Sekalipun lapar atau haus, —-di saat berpuasa, maka tidak boleh mengkonsumsinya.  Melalui puasa akhirnya orang diingatkan bahwa fungsi harta sebenarnya adalah terbatas. Sekalipun seseorang mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, maka yang benar-benar digunakan selalu tidak seberapa. Hal seperti itu, tidak selalu disadari oleh orang-orang yang sudah terlalu mencintai harta. Maka berpuasa yang dijalankan dengan benar akan mengingatkan terhadap keterbatasan nilai harta itu. Wallahu a’lam. Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang