Saya kebetulan bertempat tinggal di pinggiran kota. Berbatasan dengan rumah terdapat sungai kecil yang menjadi batas antara wilayah kota dan kabupaten. Karena tempatnya di perbatasan itu, orang nyebut daerah ini sebagai wilayah pedesaan, bukan perkotaan. Pekerjaan masyarakat yang tinggal di situ macam-macam, ada yang bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai pabrik, sopir, tukang batu, serabutan, bahkan juga tidak sedikit yang nganggur, mereka baru dapat pekerjaan jika ada yang membutuhkan tenaganya. Saya mengenali mereka secara baik. Karena kebetulan setiap sholat, terutama waktu sholat maghrib dan isya’, kebanyakan berjama’ah di masjid. Sebagian juga aktif sholat subuh, tetapi sebagian lainnya kurang, dengan alasan khawatir terlambat berangkat kerja di pagi-pagi buta itu. Pada waktu subuh, mereka lebih memilih sholat sendiri di rumah, agar cepat dan segera berangkat ke tempat kerja, baik ke pabrik atau ke pasar bagi mereka yang berdagang.
Latar belakang pendidikan jama’ah masjid di kampung saya bervariasi. Kebanyakan mereka tamat SD, SMP atau tinggi-tingginya SMU atau STM. Saya lihat, hanya satu atau dua saja yang menamatkan S1. Saya kurang mengerti, kenapa mereka dulu tidak tertarik menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi. Padahal jarak dari desa ini ke kota, sesungguhnya tidak terlalu jauh, kira-kira hanya 10 km saja. Setamat SD atau SMP dan tinggi-tingginya SMU itu, mereka berhenti sekolah, lalu bekerja baik di sawah, ke pasar atau menjadi tukang batu, bekerja di bangunan. Mereka itu saya sebut sebagai rakyat biasa. Saya sendiri sekalipun sehari-hari bekerja sebagai pimpinan perguruan tinggi, —–sebagai dosen sekaligus Rektor, sangat menikmati bergaul dengan mereka. Di kampung itu, saya dipanggil dengan sebutan Abah. Mereka tidak pernah menyebut saya dengan panggilan pak dosen atau pak rektor, melainkan memanggil abah, sebagaimana panggilan pada orang yang sudah menunaikan ibadah haji pada umumnya. Demikian pula isteri saya dipanggil oleh masyarakat dengan panggilan Umi. Panggilan abah kepada saya, bagi masyarakat kampung sudah sedemikian akrap, tetapi tidak demikian ketika di kampus. Sekali waktu, seorang tetangga mencari saya ke kantor, menanyakan saya dengan panggilan abah. Staf yang ditanya tidak segera mengerti, siapa yang dimaksud dengan sebutan abah itu. Ternyata setelah dikonfirmasi lebih lanjut, nama yang dimaksud itu adalah saya sendiri, yang sehari-hari sebagai rektor. Para staf di kampus sedikit kebingungan dengan panggilan itu, karena biasanya mereka memanggil saya dengan sebutan Pak Imam, atau Pak Rektor. Menghadapi pemilu yang baru lalu, sebagian besar warga masyarakat kampung saya, besar sekali semangatnya. Pemilu dipandang oleh mereka sebagai tugas rakyat yang harus ditunaikan. Sekalipun saya belum yakin, apakah mereka paham tentang politik, tetapi mereka bersemangat agar pemilu di kampungnya sukses. Sebagian mereka ditunjuk oleh pemerintah desa sebagai panitia di TPS. Ada yang ditugasi di bagian mendaftar peserta yang hadir, lainnya bertugas membagi kartu suara, penjaga keamanan dan juga yang kebagian tugas membantu warga yang harus mencelupkan jari tangannya ke tempat tinta seusai mencentang, dan lain-lain. Mereka tampak gembira ikut bertugas di TPS itu. Rupanya, mereka merasa menjadi orang penting di kegiatan pemilu itu. Sebab, tidak semua orang mendapat kepercayaan ikut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu di TPS. Keterlibatan rakyat dalam pemilu memerlukan waktu lama, beberapa hari persiapan, dilanjutkan hari pemungutan suara dan pengembalian barang-barang pinjaman yang diperlukan ke pemiliknya semula. Sebelum pelaksanaan pemungutan suara, mereka bekerja siang malam bahkan kerja lembur. Mereka menata tempat pemungutan suara, dengan mendirikan tenda, memasang umbul-umbul berwarna merah putih. Tenda TPS pun juga dihias. Masing-masing TPS, disengaja atau tidak, di desa itu terasa saling berkompetisi, ingin dianggap menjadi yang terbaik. Orang desa merasa hebat, jika hasil karya miliknya dipandang lebih unggul. TPS sekaligus dianggap sebagai symbol prestise kelompok, karena itu harus dijaga bersama. Melihat cara kerja mereka, saling membantu, berbagi pekerjaan, bersatu dan sangat rukun, lagi semua bersemangat, maka saya mengira bahwa semua warga kampung yang bergotong royong menyiapkan pemilu itu memiliki pilihan partai politik yang sama. Kesaksian saya itu yang saya jadikan dasar menduga dan ternyata dugaan itu salah. Ternyata mereka itu memiliki pilihan partai politik yang berbeda-beda. Sehari setelah pelaksanaan pemungutan suara, masing-masing berceritera tentang siapa pilihannya yang lebih unggul dari lainnya. Ada di antara mereka yang menjadi pendukung berat PDI-P, ada yang pilihannya masih seperti dulu yakni Golkar, ada pula yang menjadi pengagum SBY, sehingga mereka memilih Partai Demokrat, tetapi ada juga yang memilih PAN. Mereka ada yang memilih PKB karena mencintai Gus Dur dan ada pula yang memilih PKNU dan lain-lain. Bahkan di desa itu juga ada yang memilih PKS dan lain-lain. Yang saya bangga dan sekaligus heran terhadap orang kampung ini adalah bahwa sekalipun mereka memiliki pilihan partai politik yang beraneka ragam, ternyata mereka sangat kelihatan dewasa, dan sama sekali tidak terjadi adanya ketegangan. Masing-masing di antara mereka memilih partai politik yang berbeda dengan seenaknya. Bahkan perbedaan itu tidak saja antar tetangga, tetapi juga terjadi di intern keluarga sendiri, yakni serumah pun ada yang mengaku berbeda-beda. Suaminya memilih PKB, isterinya memilih PDI-P, alasannya mengikuti pilihan tetangganya sesama pekerja di pabrik, sedangkan anak mereka memilih PKS ngikuti teman-temannya sekampus. Begitu juga mereka yang pilihan partai politiknya berbeda-beda itu, sesungguhnya juga menjadi anggota jama’ah masjid yang sama, anggota jama’ah tahlil dan juga jama’ah yasinan yang diselenggarakan pada setiap bulan sekali di rumah warga kampung secara bergantian. Fenomena seperti ini, saya kira tidak tampak pada pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya dan apalagi pemilu pada zaman orde baru. Mereka rupanya sudah banyak belajar dan paham, bahwa perbedaan afiliasi politik tidak harus menjadikan saling memutus-mutus hubungan silaturrahmi. Usai pelaksanaan pemungutan suara, pada hari itu juga dilakukan penghitungan dan hasil itu selanjutnya diserahkan ke panitia tingkat kecamatan. Para petugas dan beberapa warga kampung, kembali bekerjasama, melepas tenda, mengembalikan pinjaman kursi dan pengeras suara yang digunakan untuk pemungutan suara itu. Masih dalam suasana kerja bersama itu, mereka saling memperbincangkan tentang jumlah perolehan suara masing-masing partai politik di TPS itu. Mereka ada yang menyatakan kegembiraannya, bahwa partainya menang dan sebaliknya lainnya, pilihan partainya kalah dan seterusnya. Kalah menang, rupanya tidak menjadi sesuatu yang dirasakan. Suasana itu tampaknya persis seperti ketika mereka selesai menonton sepak bola, masing-masing menjadi pendukung kesebelasan yang berbeda. Menyaksikan fenomena itu, ternyata rakyat biasa tatkala menghadapi pemilu kali ini tampak sudah sangat dewasa. Sekalipun memiliki pilihan yang berbeda, mereka menunjukkan kedewasaan dan kegembiraannya. Kedewasaan itu juga ditampakkan, misalnya ada di antara warga RT yang namanya tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga tidak mendapatkan undangan. Mereka yang tergolong sial seperti itu, juga tidak memprotes kepada perangkat desa atau juga ke KPU atau panitia TPS di lingkungan itu. Sikap mereka seperti itu bukan karena mereka tidak peduli atau merasa hak-haknya diabaikan, melainkan menganggap bahwa kekeliruan itu sebagai sesuatu yang wajar. Sebagai orang desa memang masih selalu memiliki “tepo seliro”, mau memahami sesama bahwa sebaik apapun dalam mengurus orang banyak, selalu ada saja kekeliruan. Selanjutnya, beberapa hari berselang, rakyat biasa seperti sudah melupakan pelaksanaan pemilu. Mereka sehari-hari sudah kembali aktif menunaikan pekerjaan masing-masing, baik sebagai petani, pedagang, buruh, dan lain-lain. Di masjid tatkala berjama’ah, mereka juga sudah tidak berbicara lagi tentang pemilu. Hanya saja, di antara mereka ada yang sempat mendapatkan berita, baik lewat radio, TV atau koran, tentang adanya caleg yang tidak mendapat suara cukup sehingga stress, dan bahkan sampai bunuh diri, yang hal itu dijadikan bahan perbincangan hingga rakyat biasa menjadi terheran-heran dan ikut merasa kasihan. Selain itu melalui media massa yang diikuti, mereka juga mendengar berita bahwa terdapat sementara pimpinan partai politik menunjukkan kegundahannya atas kekalahan yang diderita. Berita-berita itu oleh rakyat biasa dijadikan bahan berdiskusi kecil secara informal, sambil untuk mengisi waktu. Rakyat biasa lalu menjadi bertanya-tanya. Dalam perbincangan di antara rakyat biasa itu, ternyata muncul pikiran jernih, misalnya mereka mempertanyakan, mengapa para tokoh saling berebut, jika benar bahwa niat memenangkan partai politik adalah akan dijadikan alat memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Jika benar niat itu, bukankah semestinya, para tokoh tersebut setelah pemilu segera saling bersatu padu, menyamakan dan menyatukan langkah, saling bahu membahu menyusun kekuatan bersama. Bukankah perpecahan di mana dan kapan pun, hanya akan berdampak pada semakin mensengsarakan rakyat. Mendengar perbincangan rakyat biasa dalam beberapa hari seusai pemilu ini, ——-yang sehari-hari saya bertemu di masjid dalam sholat berjama’ah setiap waktu, saya pun menjadi larut ikut bertanya-tanya. Siapakah sesungguhnya di antara warga negeri ini yang lebih dewasa dan berhak menjadi tauladan. Rakyat biasa semisal jama’ah masjid kampung saya, ataukah benar para elitenya ? Ini merupakan pertanyaan penting saat sekarang yang harus kita jawab bersama. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang