Bagi orang awam seperti saya, politik memang sulit dipahami dan ditebak arahnya. Tidak hitam putih, tetapi samar-samar. Tampaknya ada adagium yang berlaku di dalam dunia politik bahwa semakin samar-samar dan tidak jelas semakin baik. Asumsi ini bisa benar, tetapi bisa juga salah. Namun, jika berangkat dari perjalanan politik bangsa akhir-akhir ini, adagium itu ada benarnya. Betapa tidak. Dalam rangka konsolidasi kekuatan politik dan memuluskan roda pemerintahan, terutama dalam menghadapi DPR yang begitu agresif, pemerintahan SBY merangkul beberapa partai besar seperti Golkar, PKS, PKB, PAN, dan PPP.
Langkah Presiden tidak salah, sebab selaku kepala pemerintahan SBY menginginkan pemerintahan yang dipimpinnya berjalan mulus dan target-target pembangunan yang dicanangkan dapat dicapai. SBY tentu ingin dicatat sebagai presiden yang berhasil. Karena itu, kendati memenangkan pemilu langsung hingga 60% lebih, SBY tetap menginginkan ada partai-partai pendukung yang diwadahi dalam koalisi. Dengan merangkul Golkar yang merupakan partai kedua pemenang pemilu dan didukung oleh PKS, SBY sejatinya berharap setiap kebijakannya berjalan mulus, terutama jika menghadapi PDIP yang nyata-nyata menyatakan diri sebagai partai oposisi. Tetapi kenyatannya politik tidak seperti itu. Golkar menjadi batu sandungan bagi pemerintahan SBY yang ditopang oleh Partai Demokrat. Sebab, kenyataannya, dalam kasus hak angket mafia pajak, Golkar dan PKS dengan suara bulat mendukung pembentukan hak angket tersebut. Kendati akhirnya pihak yang setuju dengan hak angket kalah dengan hanya dua suara, sikap Golkar dan PKS cukup merepotkan pemerintahan SBY. Di benak SBY dan partainya ada pertanyaan apa makna koalisi yang telah dibangun dengan susah payah selama ini jika Golkar dan PKS berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Koalisi mestinya sikap saling mendukung dan mengamankan kebijakan pemerintah. Karena itu, sikap Golkar dan PKS tidak ubahnya seperti partai oposisi yang jelas-jelas memang berseberangan dengan pihak pemerintah. Sebenarnya sikap galak Golkar dan PKS terhadap kebijakan pemerintah sudah terlihat sejak kasus Bank Century mencuat. Bahkan, beberapa politisi dari Golkar sendiri yang sangat lantang ingin membongkar skandal Bank Century tersebut hingga tuntas. Tetapi puncak kejengkelan SBY terhadap mitra koalisinya terjadi pada usulan hak angket mafia pajak. Atas sikap Golkar dan PKS, Presiden SBY menyampaikan secara terbuka bahwa jika ada partai mitra koalisi yang merasa tidak lagi bisa bekerja dengan partai pemerintah sebaiknya segera berada di luar pemerintahan. Yang dituju oleh pidato SBY tentu Golkar dan PKS. Jadi arahnya sangat jelas agar Golkar dan PKS segera menyatakn diri keluar dari koalisi dan kader-kadernya yang ada di kabinet juga segera mundur. Publik mengira reshuffle kabinet tidak terelakkan. Lagi-lagi politik tidak hitam putih. Setelah Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie bertemu SBY Selasa (8/3/2011), gonjang–ganjing koalisi seolah sudah mencapai klimak. Dengan berbagai pertimbangan, Golkar tetap berada dalam barisan koalisi yang berarti kader-kadernya di kabinet tetap utuh atau tidak di reshuffle. Padahal, berbagai spekulasi muncul siapa akan mengganti siapa di jabatan menteri apa. Walau tetap dalam koalisi, Ketua Umum Aburizal Bakrie menyatakan bahwa meski tetap berada di koalisi Golkar memastikan tetap kritis di DPR. Lagi-lagi kita tidak paham apa yang dimaksud dengan ‘kritis’tersebut. bahasa politik memang multi tafsir. Bisa saja yang dimaksud ‘kritis’ adalah mempertanyakan setiap kebijakan pemerintah sehingga bisa dipahami oleh publik, bersikap beda dengan pemerintah dalam memandang sebuah persoalan sebagaimana ditunjukkan pada kasus penentuan hak angket mafia pajak, atau sekadar bahasa politik agar Golkar tetap dipandang oleh konstituennya sebagai partai yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Lain Golkar, lain pula PKS. Di mata SBY, kendati masuk dalam koalisi PKS dianggap partai yang setengah hati berada di pendukung partai pemerintah. Karena itu, banyak pihak di Partai Demokrat meminta PKS bersikap jantan, jangan berdiri di dua kaki. Di satu sisi PKS terus menentang kebijakan pemerintah, tetapi di sisi yang lain menempatkan kadernya di kabinet. Karena itu, kejengkelan SBY bisa dipahami. Sebab, agenda pemerintahannya sebagian juga dijalankan oleh kader-kader PKS. Artinya, keberhasilan dan kegagalan program pembangunan pemerintah sebagian juga ditentukan oleh kinerja kader PKS. Sebaliknya, di mata PKS, gonjang-ganjing retaknya koalisi belakangan ini bukan persoalan substantif, tetapi lebih karena kegagalan Demokrat mengelola komunikasi politik dengan partai-partai anggota koalisi. Bagi PKS, ketika PKS ngotot mendukung terbentuknya hak angket mafia pajak, sebetulnya PKS justru ingin membantu pemeritahan SBY dalam memberantas korupsi yang memang merupakan salah satu agenda utamanya. Dengan keberadaan panitia khusus yang menangani masalah mafia pajak, PKS berharap persoalan pajak yang sangat merisaukan masyarakat bisa diselesaikan dengan tuntas. Ternyata sikap PKS dipahami berbeda oleh Partai Demokrat. PKS sebagai partai pendukung koalisi dianggap mbalelo. Di mata PKS, sikap Partai Demokrat dianggap emosional dan tidak dewasa. Berkoalisi tidak berarti menerima apa saja semua kebijakan pemerintah tanpa reserve. Istilah yang dipakai PKS adalah ‘koalisi kritis’. Jika Golkar sudah jelas tetap berada di koalisi, setidaknya hingga tulisan ini dibuat PKS belum menentukan sikap. Tetapi jauh-jauh sebelumnya para penggede PKS menyatakan perbedaan pandangan dalam kasus Bank Century dan mafia pajak tidak seharusnya menjadi pemicu polemik di antara partai anggota koalisi. Usulan hak angket DPR dalam kasus Bank Century dan mafia pajak hanya masalah politik, bukan masalah hukum. Sebab, bentum tentu masalah politik bisa begitu saja dibawa ke masalah hukum. Di mata PKS, banyak persoalan bangsa yang jauh lebih kompleks daripada persoalan koalisi. Lebih dari itu, untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa diperlukan suasana politik yang kondusif dan konsolidasi dengan berbagai kekuatan politik. Secara tersirat, ungkapan para penggede PKS bisa dimaknai bahwa PKS sejatinya enggan meninggalkan kabinet, bukan enggan meninggalkan barisan koalisi. Dinamika politik memang tidak berlangsung secara linier. Di tengah-tengah hiruk pikuk terlemparnya Golkar dan PKS dari barisan koalisi, Gerindra yang di saat kampanye paling keras menentang kebijakan SBY kini justru diam seribu bahasa sambil mengintip apa yang sedang dan akan terjadi pada dua partai mitra itu. Malah di media cetak dan elektronik sudah tersiar kabar kader Gerindra sudah siap masuk kabinet. Sikap Gerindra mudah dibaca oleh publik, yakni Gerindra lebih baik bersikap manis terhadap pemerintahan SBY yang tinggal 3,5 tahun lagi – malah praktisnya hanya 3 tahun lagi – untuk selanjutnya bisa maju pada pilpres 2015 dengan dukungan Demokrat, setelah SBY tidak bisa lagi mencalonkan diri karena alasan konstitusi. Gerindra dan Demokrat bisa saja saling berseberangan secara ideologi politik, tetapi publik perlu tahu bahwa Prabowo dan SBY adalah karib di militer. Ikatan sesama militer di era Orde Baru tidak bisa begitu saja dilupakan. Prabowo tentu sudah tahu bahwa Demokrat belum memiliki calon sekaliber SBY pada pilpres 2015. Mungkin Prabowo sudah menghitung-hitung bahwa dirinya bisa menjadi presiden pasca SBY. Karena itu, sikap ‘pro’ SBY lebih dianggap tepat. Tetapi 3,5 tahun bukan waktu yang pendek bagi perjalanan politik. Karena itu, yang terjadi hari ini bisa berbalik seratus derajat dengan yang terjadi minggu depan, apalagi tiga tahun lagi. Mencermati perilaku politik partai-partai anggota koalisi dengan sikap dan gayanya masing-masing, maka wajar jika untuk membangun komunikasi politik dengan partai-partai anggota koalisi tersebut pemerintah SBY memerlukan energi tersendiri. Dalam beberapa minggu terakhir ini roda pemerintahan seakan mandek karena isu reshufle kabinet bagaimanapun mempengaruhi kinerja aparat di bawah kementerian. Sistem politik kita memang belum mapan, sehingga pergantian pejabat setingkat menteri berpengaruh langsung terhadap kinerja bawahan. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, jika kinerja semua aparatur pemerintahan berpedoman pada tugas pokok dan fungsi masing-masing. Menghadapi dinamika politik dengan sistem multipartai seperti saat ini, modalitas akademik dan karier militer BY terasa belum cukup untuk menghadapi manuver politik para politisi Senayan. Publik menyaksikan seolah Presiden SBY bingung dan gamang melakukan tindakan dan menentukan langkah. Padahal, secara akademik SBY dikenal cerdas dan mencapai derajad akademik puncak sebagai doktor. Di militer kariernya juga puncak hingga menjadi jenderal. Dimensi politik begitu luas. Jika banyak agenda pembangunan pemerintahan SBY jilid II tidak optimal, saya sangat mafhum karena membayangkan betapa sulitnya persoalan yang dihadapi pemerintahan SBY ini. Sebab, kendati menyatakan tetap bergabung dalam barisan koalisi, Golkar dan saya kira juga akan diikuti PKS, dari berbagai pernyatannya mereka akan tetap berkaki ganda. Golkar dan PKS tentu tidak mau kehilangan suara pendukung pada pemilu 2015 hanya karena berada di bawah barisan koalisi. Di mata rakyat keduanya ingin tetap tetap tampil sebagai ‘pejuang’ rakyat, tetapi di mata SBY ingin juga memperoleh ‘berkah’ dari statusnya sebagai mitra koalisi. Apapun kondisinya sebagai anak bangsa, saya tetap berharap pemerintahan ini sukses dalam menjalankan program pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. _____________ Malang, 9 Maret 2011
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang