Ingat Profesor Cuthbert Calculus pencipta senjata ultrason-ik dalam serial komik limin? Senjata sang profesor pintar ini memang begitu dahsyat karena dapat menghancurkan berbagai benda hanya dengan kekuatan suara.
Sontak saja, temuan tersebut membuat sang profesor menjadi incaran agen rahasia asing. Puncaknya, profesor pun akhirnya diculik. Sebagai sahabat, Tintin, Milo, dan Kapten Haddock pun bertualang ke Swiss dan Eropa Timur untuk membebaskan sang guru besar.Inilah gambaran betapa profesor merupakan orang yang amat pintar. Namun tunggu dulu, itu mungkin di negara lain. Di Indonesia? Gelar terhormat tersebut begitu mudah diraih. Bahkan, longgarnya proses seleksi membuat profesor tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Karena itu pula, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendik-nas) mulai memperketat proses seleksi untuk meraih gelar guru besar ini. Pasalnya, filter yang ada saat ini dinilai masih teramat longgar, sehingga banyak bermunculan profesor dengan kompetensi meragukan.Seperti diungkap Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, Kemendiknas menegaskan bakal memperkuat proses seleksi pemberian gelar guru besar. Dengan begitu, diharapkan selain harus lolos saringan administrasi, mahakarya yang diajukan untuk meraih gelar juga harus bermutu. “Kalau tidak, tulisan sembarangan bisa dinilai baik, kan kacau,” tutur Nuh beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, saat memberikan gelar guru besar di Surabaya, dia juga menyampaikan keprihatinannya. Apalagi, tambah M Nuh, belakangan ini perguruan tinggi, negeri maupun swasta, seperti berlomba untuk mengajukan guru besar. Padahal, terungkap, ternyata dari segi administrasi dan akademik, banyak yang belum memenuhi persyaratan.Guru besar seharusnya diraih setelah menciptakan serangkaian prestasi dalam dunia akademik, seperti mengajar, pengabdian kepada masyarakat, penelitian atau menulis paper di jurnal ilmiah internasional. Hal itu sudah diamanatkan dalam Tri Dharma perguruan tinggi.
Menurut aturan, untuk dapat melamar menjadi guru besar hams berpangkat lektor dengan angka kredit minimal 200. Itu sebagai syarat dasar. Namun sayangnya sering kali proses seleksi dilakukan kurang ketat.Untuk menghindari semakin mudahnya meraih gelar profesor dan mengantisipasi plagiarisme, ke depan, Kemendiknas akan mengontrol ketat. Caranya melalui pengembangan pola peer group yakni kelompok dengan anggota sebaya atau yang anggotanya memiliki keilmuan sama.Sehingga dalam setiap pengajuan karya ilmiah untuk memperoleh gelar lebih tinggi, diteliti terlebih dahulu oleh peer group yang memiliki bidang keilmuan sama dengan karya ilmiah yang diajukan.
“Jika ada seseorangyang mengajukan karya ilmiah untuk meraih gelar doktor atau profesor (guru besar), karya ilmiah itu akan di-review dulu oleh peer group bidang keilmuan itu,” jelas Nuh.Dan saat ini, sudah ada tim penilai (karya ilmiah) dan tim yang menyetujui pengajuan serta persetujuan pemberian status guru besar. “Namun ke depan, keberadaannya akan semakin diper-tajam lagi. Tim ini nantinya ndak hanya menilai aspek administrasi, tetapi dipenajam hingga aspek akademik keilmuannya.”
Tergiur Fasilitas
Wakil Mendiknas Fasli Jalal menegaskan langkah pengetatan ini bakal dilakukan mulai dari fakultas hingga ke Direktorat Perguruan Tinggi, Kemendiknas. Fakultas sebagai pihak yang mengerti benar calon guru besar akan menyeleksi dan menyelidiki sejak awal. Setelah di level fakultas selesai, berlanjut ke level universitas.
Pada tingkat universitas, menurut Fasli, tim penilainya adalah para doktor dari berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya dari universitas dikirim ke Sekjen Dikti untuk dievaluasi lebih lanjut dengan melibatkan tim penilai yang terpilih, yaitu Tim Penilai Angka Kredit Tingkat Pusat terdiri dari dosen senior. “Ini dilakukan untuk melihat apakah karya itu baik atau tidak. Ada unsur plagiat atau tidak,” tutur Fasli.Dan untuk calon guru besar dari perguruan tinggi swasta, pengetatan seleksi dilakukan oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Tim review dari Kopertis terdiri dari dosen negeri dan swasta terbaik.Pada kesempatan lain, pengamat pendidikan, Darmaning-ryas, menyambut baik kebijakan pemerintah ini. Pasalnya, untuk meraih gelar profesor saat ini begitu mudah.
“Tidak pernah menghasilkan karya ilmiah bermutu, bisa meraih gelar profesor. Banyak fakultas yang hanya berisi satu doktor sudah berani mengajukan diri mendapatkan gelar guru besar. Sebenanya bukan hanya gelar profesor yang harus diperketat, tetapi juga doktor,” jelas dia.Fasli menilai banyak kalangan tertarik meraih predikat guru besar karena terkait dengan status, mengingat guru besar merupakan kasta tertinggi dalam dunia akademik.Selain masalah status, ramai-ramainya para dosen melamar untuk menjadi profesor karena tergiur tunjangan yang diberikan pemerintah. Seiring naiknya dana pendidikan dan riset yang mencapai dua triliun rupiah, guru besar juga kecipratan, yang jika ditotal dengan gaji pokok bisa mencapai 13 juta per bulan.
Berdasarkan data 2009, ada sekitar 986 doktor di PTN yang mengajukan menjadi guru be-sat kepada Kemendiknas, namun hanya 286 orang yang lolos. “Ini menandakan masih banyak calon guru besar yang belum memenuhi syarat,” jelas Fasli.Dia mengakui memang Indonesia masih memerlukan banyak guru besar untuk mendongkrak kemajuan dunia pendidikan. Namun demikian, bukan berarti ha-rus mengorbankan mutu akademik demi penambahan jumlah guru besar. Dari 75 ribu dosen PTN saat ini, baru terdapat 3.662 guru besar. Di PTS kondisinya lebih sedikit lagi, dari 150 ribu dosen, hanya tercatat 573 guru besar.
Akibat Komersialisasi
Di mata Djamaludin Ancok, seorang guru besar dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, maraknya pemberian gelar guru besar belakangan ini akibat komersialisasi di dunia pendidikan.”Dengan semakin banyaknya guru besar, otomatis bakal mengangkat status perguruan tinggi yang bersangkutan di masyarakat. Inilah imbas dari komersialisasi dunia pendidikan,” ucap Djamaludin.Tanpa portofolio yang baik, seseorang dengan mudah bisa meraih gelar tersebut dengan bantuan fakultas dan universitas. Padahal, di luar negeri, menurut Djamaludin, gelar tersebut diperolah setelah paper yang dihasilkan terpublikasi pada jurnal ilmiah internasional.
“Selain itu, mereka juga harus sering tampil pada acara-acara seminar internasional di bidangnya,” tambah dia.
lika semua syarat tersebut tak terpenuhi, Djamaludin, mengatakan minimal paper-nya masuk dalam asosiasi ilmu yang menjadi disiplinnya. “Misalnya jika seorang psikolog, publikasi ilmiahnya dapat menembus jumal asosiasi bersangkutan di tingkat nasional.”Sekab lagi, sayangnya, yang terjadi tidak demikian. Baru bisa memublikasikan hasil karya ilmiahnya di kampus sendiri, seseorang sudah percaya diri untuk meraih gelar guru besar. Bahkan, mantan pejabat dengan gelar doktor dapat meraih gelar guru besar dengan mudah.Dia juga menyoroti faktor lemahnya seleksi dan pengawasan untuk mengambil gelar profesor, sehingga bisa muncul kasus plagiarisme yang dilakukan Anak Agung Banyu Perwita dari Universitas Parahyangan, Bandung.
“Untungnya publikasi media massa berhasil menggugah banyak kalangan untuk meneliti lebih jauh keaslian dari tulisannya, sehingga bisa terungkap unsur plagiarismenya,” kata Djamaludin.Karena itu, Dirjen Dikti ha-rus lebih tegas kepada siapa saja, khususnya guru besar yang melanggar kode etik ilmiah ini. Sebagai pihak yang memberi gelar, Kemendiknas seharusnya mencabut gelar profesor jika terbukti terjadi pelanggaran. “Tujuannya agar tidak terjadi pengulangan, sehingga dunia akademik terbebas dari unsur-unsur yang tidak sehat,” papar dia. hay/L-3
Leave a Reply