AL QUR’AN SEBAGAI OBAT TEKANAN EMOSI

Oleh: Dr. Adi Atmoko, M.Si.*

 

 

Dalam Surat Yunus ayat 57-58 Allah berfirman:

Hai manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat-nasehat (al-Qur’an) dari Tuhanmu, dan telah datang obat bagi hatimu, dan telah datang petunjuk serta rahmat bagi orang-orang iman. Katakanlah, dengan keutamaan serta rahmat Allah, maka dengan nasehat-nasehat itu kalian bergembiralah karena ia lebih baik daripada apa-apa (harta benda, pangkat) yang kalian kumpulkan (di dunia).”

MEMAHAMI EMOSI

Apakah dalam kehidupan sehari-hari, kita termasuk orang yang mudah merasa tertekan, mudah marah, mudah tersinggung, mudah sakit hati, selalu ingin membalas dendam dan/atau dicengkeram oleh berbagai tekanan emosi negatif? Atau apakah kita termasuk orang yang sulit merasakan kedamaian, ketenteraman, ketenangan hati dan/atau kebahagiaan yang sebenarnya, atau sulit bisa tidur dengan nyenyak? Tulisan ini berupaya membahas hal tersebut dan mencari solusinya dari perspektif al-Qur’an.

Tahukah kita, bahwa emosi, 80% menyertai bahkan mempengaruhi semua tindakan manusia. Tahukah kita bahwa emosi ternyata bukan sekedar perasaan, melainkan juga melibatkan pikiran, perubahan/reaksi biologis, aktivasi otak dan kecenderungan bertindak/berperilaku dengan cara tertentu dan ke arah tertentu. Dan, dalam kadar tertentu, emosi bisa menjadi energi luar biasa untuk mengerjakan hal-hal kebaikan yang besar bahkan mustahil; namun sebaliknya, ia juga bisa menjadi pemicu luar bisa bagi tindakan yang menimbulkan kerusakan-kerusakan besar.
Dalam hidup sehari-hari, kita mengenali bahwa ada orang yang mudah sekali emosional, yakni mudah marah, mudah membenci, atau mudah jatuh cinta, dan seterusnya. Namun ada pula seseorang yang berhati-hati dan dapat mengendalikan emosi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenali, merasakan dan bergaul dengan perasaan (emosi), baik perasaan terhadap diri sendiri, terhadap benda, atau suatu peristiwa, maupun terhadap orang lain. Perasaan itu terbagi menjadi dua, yaitu positif (senang, gembira, suka, bahagia) dan negatif (sedih, kecewa, marah, bingung/galau, jijik, takut, benci). Kalau kita senang pada seseorang misalnya, maka pikiran kita menilai orang itu secara positif, tubuh kita merasa rileks/nyaman, dan perilaku kita cenderung untuk mendekat atau setuju dengan orang yang kita senangi itu. Demikian pula sebaliknya, kalau kita tidak menyukai atau bahkan membenci seseorang, maka pikiran, perasaan, reaksi tubuh dan perilaku kita akan cenderung menjauh atau menolak.
Ketika dalam kondisi emosional, biasanya perilaku kita menjadi tidak terkontrol atau kurang cermat, misalnya ketika kita sangat mencintai seseorang, apa saja yang orang itu lakukan/katakan, maka kita nilai baik dan kita dukung, bahkan kita berani berkorban untuknya. Demikian sebaliknya, ketika kita sangat membenci seseorang, apa pun yang orang itu lakukan/katakan, maka kita nilai jelek, kita tolak, bahkan tiba-tiba kita memukul, menghardik atau mengusirnya, tanpa mempertimbangkan realitas dan alasan rasional yang sebenarnya.

Emosi terekam dalam ingatan masing-masing kita. Misalnya, jika kita pernah bertengkar dengan seseorang maka marah, jengkel, kecewa dan benci terhadap orang itu akan terus kita simpan. Begitulah, sejak manusia lahir bersamaan dengan berbagai pengalaman hidupnya, ia sebenarnya juga terus “menabung” perasaan-perasaan yang menyertainya, baik positif maupun negatif. Tabungan perasaan itu menjadi emosi latar belakang (background emotion) bagi perilaku kita di waktu berikutnya dan di tempat yang berbeda. Ketika kita harus bertemu lagi dengan orang itu, misalnya harus rapat bersama atau bimbingan skripsi/tesis/ disertasi, maka kita melakukan “siap-siap” (antisipasi) sebelumnya. Persiapan perasaan itu bermacam-macam bentuknya, misalnya dalam bentuk perasaan khawatir, terancam, tidak konsentrasi, salah tingkah, atau bahkan dendam ingin memukul/melukai orang itu

Nah ketika tabungan perasaan itu telah mengendap atau menggumpal atau mengkristal sedemikian rupa, dan jika disertai dengan luka hati, maka tabungan perasaan (mana yang dominan) itu telah mengganggu atau menjadi “penyakit” dalam pikiran dan perilaku kita. Kondisi inilah yang membuat tubuh kita tidak nyaman, tegang/tidak bisa rileks; wujud lainnya bisa sulit konsentrasi, sulit tidur, bahkan tidak enak makan.

Sesungguhnya kita kemana-mana membawa “tabungan perasaan” dalam ingatan masing-masing. Tabungan itu bisa “keluar” ketika dirangsang untuk oleh sesuatu, peristiwa, atau pikiran, bahkan ingatan belaka. Ia juga bisa muncul ketika suatu keinginan atau suatu tujuan atau kebutuhan kita terhambat, dan ketika suatu hal-hal yang kita junjung tinggi, atau harga diri kita dihina oleh orang lain, atau kita melihat ada suatu ancaman dari luar. Jika yang dominan dalam diri kita adalah tabungan perasaan negatif, maka pikiran dan perilaku kita menjadi penuh dendam, merusak bahkan membunuh. Omongan kita menjadi ketus, menyakitkan, dan tidak enak didengar oleh orang lain. Sebaliknya, jika tabungan perasaan positif yang dominan, maka kondisi tubuh, pikiran dan perilaku kita cenderung tenang, bahagia, nyaman, mudah konsentrasi, rileks dan bisa enak makan serta tidur nyenyak.

Demikianlah, sampai umur dan posisi kita masing-masing kita sekarang, tabungan perasaan yang sedikit demi sedikit disimpan bersamaan dengan jutaan pengalaman kita, dan ia terus kita tambah sampai ajal kita masing-masing, telah menjadi “deposit” bagi masing-masing kita dalam beradaptasi terhadap lingkungan. Selanjutnya, deposit itu (mana yang dominan) berkembang fungsinya menjadi (1) regulator internal kita dalam menanggapi setiap fenomena, (2) mengkondisikan tubuh secara cepat-tepat untuk bertahan hidup, (3) mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses biologis terutama aktivasi otak di daerah subkortikal, sistem limbik, amigdala, (4) terus berubah melalui proses belajar dari budaya setempat yang memberikan makna baru dan mengatur ekspresi perasaan tertentu, (5) dapat digerakkan secara automatis maupun dengan kesadaran, (6) menggunakan tubuh (sistem syaraf, hormonal, jantung, pernafasan dan otot-otot) sebagai wahana dalam ekspresi perasaan itu, namun (7) ada variasi individual walaupun tujuan umumnya sama yaitu regulasi dan beradaptasi.

 

PEMBAJAKAN EMOSI: tindakan menjadi emosional, tidak masuk akal

Telah dijelaskan bahwa perasaan juga melibatkan tubuh dan proses aktivasi otak. Goleman (1999) mengungkapkan istilah pembajakan emosional (emotional hijacking) yang diuraikan sebagai berikut. Ketika kita menghadapi stimulus maka sinyal informasi terkait stimulus itu “dibajak” oleh amigdala, sehingga “tidak sempat” diproses oleh kortikal. Amigdala adalah bagian otak yang merupakan pusat sirkuit tanda bahaya pada sistem limbik otak, bank ingatan emosional, pengawal, penyeleksi dan penilai informasi sebagai ancaman ataukah kesempatan, dan sering digunakan untuk mempertahankan hidup yang menuntut kecerdikan, formulasi instan dan kecepatan (emergensi). Sedangkan kortikal (atau prefrontal) adalah tempat memori kerja, berfungsi untuk pemahaman dan pengertian, perencanaan dan pengambilan keputusan, penalaran dan belajar, penjaga amigdala, pembawa materi impuls informasi untuk dinilai dengan prinsip hidup dan kemudian diputuskan respon yang lebih efisien dan tepat.

Ketika ada stimulus mengancam, amigdala menekan tombol ‘panik’ di otak untuk memproduksi lebih banyak hormon kortisol yang dialirkan dalam darah dan meningkatkan tekanan sehingga menjadi pemicu yang siap membajak kita dalam kemarahan, dibarengi dengan detak jantung dan kadar gula darah meningkat, aliran darah diotak dipindahkan dari pusat kognitif ke bagian mobilisasi emergensi, dan secara keseluruhan fungsi otak lebih besar untuk bertahan hidup dengan cara berjuang/berkelahi (fight) atau melarikan diri (flight). Jika kadar kortisol dalam darah yang masuk ke otak semakin tinggi, maka pemrosesan rasional terhadap informasi semakin sulit dan tidak cermat sehingga kesalahan sering terjadi dan akhirnya perilaku seseorang menjadi emosional meledak-ledak, tidak terkendali dan tidak masuk akal. Jika kondisi demikian tertekan oleh suatu keadaan sosial (misalnya sebagai mahasiswa yang tidak mungkin protes kepada dosen) dan berlangsung lama, maka kortisol dapat mencapai level toxic yakni peracunan syaraf yang dapat menimbulkan erosi pada hippocampus sebagai pusat ingatan, dan akhirnya terjadi penumpulan intelektual, misalnya mahasiswa tadi menjadi tidak bergairah membaca, sulit memahami materi kuliah dari dosen dan sebagainya, padahal sebelumnya ia termasuk orang yang cerdas.

 

EMOSI: PROSES DAN HASIL BELAJAR

Tahukah kita bahwa proses “menabung perasaan” itu berlangsung melalui prinsip-prinsip belajar, yakni pemerolehan hubungan stimulus dan respon emosi (S-R) melalui pengkondisian (conditioning), penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) dalam belajar sosial di lingkungan kita masing-masing. Misalnya, ketika seseorang melihat ulat (stimulus) kemudian ia bereaksi emosional menjerit (respon), dan jeritan orang itu mengundang perhatian dan simpati teman-temannya (reward), maka dalam proses sosial tersebut orang itu telah belajar bahwa respon menjerit mendapat penghargaan sosial dari lingkungannya, sehingga ia akan menabung asosiasi S-R: ulat – menjerit dalam ingatannya; demikian seterusnya untuk pengalaman yang lainnya. Stimulus – respon yang menghasilkan hukuman (-sosial) yang menyakitkan atau tidak mengenakkan seperti penghinaan, pengabaian dan sebagainya yang bisa menimbulkan “luka hati” juga akan cenderung kita tabung dalam ingatan kita.

Dalam keadaan tertentu, tabungan perasaan itu bisa menjadi sumber energi untuk bertindak dalam rangka melindungi diri atau beradaptasi dengan lingkungan. Dan, ia juga bisa menjadi pemicu serta respon tindakan berikutnya yang berlangsung hampir spontan maupun dengan hati-hati yang lebih melibatkan kesadaran. Reaksi emosi ternyata bisa melibatkan kognisi yakni pikiran (akal sehat) kita untuk ikut memberikan makna tentang apa yang terjadi, apa sesungguhnya yang mengancam/ditakuti, mengapa takut, dan bagaimana mencari solusi yang lebih tepat. Dengan demikian, emosi memungkinkan kita belajar menghadapi stimulus dan melakukan tindakan secara lebih berkualitas dan efektif. Artinya, jika perasaan-perasaan dan respon-respon terhadap situmulus merupakan hasil belajar, maka kita dapat mempelajari diri kita masing-masing (emosi dan responnya) untuk menjadi yang lebih baik, lebih fungsional dan lebih diterima dalam masyarakat. Dan, kita bisa (belajar) untuk menghindari ekpresi emosi dan tindakan yang merusak atau melanggar hukum.

 

AL-QUR’AN SEBAGAI OBAT UNTUK TEKANAN DAN TINDAKAN EMOSIONAL

Telah diuraikan bahwa emosi sebenarnya adalah tabungan perasaan yang terkait dengan pengalaman hidup, yang proses terbentuknya melalui prinsip belajar kondisioning serta belajar sosial, dan dalam kondisi tertentu emosi bisa membajak tindakan rasional kita, dan kita bisa belajar bagaimana mengatur, mengendalikan emosi dan memutuskan respon yang tepat serta efisien terhadap stimulus emosional. Pada bagian ini diuraikan tentang bagaimana Al Qur’an bisa menjadi obat, atau salah satu solusi untuk mengendalikan emosi.

Telah kita ketahui bahwa al-Qur’an berisi nasehat-nasehat, kisah-kisah umat dan nabi terdahulu yang banyak mengandung hikmah kehidupan, perintah-perintah dan larangan-larangan, termasuk ganjaran (reward) dan hukuman bagi manusia. Disamping itu, Al Qur’an disampaikan dengan bahasa yang indah dan nada yang tepat ketika dibaca sesuai tajwid-nya. Nasehat para ulama mengatakan: tombo ati lima wernane, ingkang riyin maca Qur’an angen-angen sak maknane (obat hati ada lima, yang pertama membaca Qur’an dengan mempelajari hikmah maknanya).

Tabungan perasaan-perasaan negatif dalam ingatan kita masing-masing yang telah mengaktivasi otak sedemikian rupa sehingga memicu hormon kortisol yang bersifat menekan tubuh sampai-sampai membajak akal sehat kita. Kondisi semacam ini dapat membuat tindakan kita tidak terkontrol. Nah, dengan membaca al-Qur’an secara berulang-ulang, sesuai tajwid, tartil, dan menghayati pesan-pesan yang dikandungnya, maka secara perlahan namun pasti tabungan perasaan negatif tersebut akan tersisih dan digantikan dengan “tabungan baru” yakni al-Qur’an yang berisi keindahan bahasa dan nada suaranya. Sehingga “luka hati” dalam tabungan kita yang timbul bersamaan dengan pengalaman hidup yang tidak mengenakkan, akan digantikan dengan “obat hati” berupa keindahan nada dan suara al-Qur’an. Dengan kata lain, saat membaca al-Qur’an, kita sedang menyetor deposit emosi yang baru yang lebih positif (T1).

Hikmah-hikmah Al Qur’an akan membentuk norma dalam diri kita masing-masing menjadi lebih pas, realistik, futuristik, positif-optimistik tentang dunia dan kehidupannya. Di samping itu, cara pandang kita akan cenderung menjadi netral, sampai ke titik NOL, tidak terlalu menyukai apapun yang terjadi (stimulus) di dunia ini, namun juga tidak terlalu membenci. Dengan Al Qur’an, cara pandang kita menjadi proporsional dengan disertai tawakkal alal Allah (T2)

Nah, tabungan atau deposit positif dari nada dan suara al-Qur’an (T1) akan menciptakan harmonisasi fisiologis (aktivasi otak, metabolisme tubuh, tekanan darah, dsb) yang secara berangsur akan mempercepat pemulihan kesehatan (tubuh berfungsi normal tanpa tekanan emosional) yang menjadikan background emotion kita menjadi lebih rileks, tenang, damai sejahtera. Dan cara pandang kita yang netral, proposional, futuristik, positif-optimistik (T2) akan menjadi penangkal bagi terjadinya pembajakan emosi ketika kita menghadapi peristiwa atau kondisi yang tidak mengenakkan bahkan yang mengancam. Penggabungan keduanya (T1+T2) dapat membentuk suatu kondisi tubuh yang sehat dan imun terhadap tekanan emosional (stres), dan di sisi lain kecerdasan kita tetap terjaga, tidak dibajak, sehingga tetap dapat berpikir jernih, efisien dan efektif dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Akhirnya, tampilan sehari-hari kita akan menjadi damai, tenang, sabar, dan tetap cerdas, tanggap tepat dalam situasi paling menekan sekalipun. Model teoritis konseptual-skematik dapat diuraikan gambar 1.

 

METODE LATIHAN

Untuk mencapai hasil yang memuaskan, semua itu memerlukan syarat, yaitu dilandasi oleh keimanan dan tetap telaten melakukan latihan dalam membaca al-Qur’an. Selamat mencoba, semoga Allah paring (memberi) lancar, aman, dan sukses yang barokah.

Bentuk latihan: T1: Membaca Al Qur’an dengan memahami maknanya (baca tafsir, mengaji ke guru); T2: Membaca terus-menerus (berkali-kali) ayat-ayat tawakal sambil relaksasi/mengatur pernafasan sampai menimbulkan kepasrahan total secara pikiran dan emosional, dan mengurangi ketegangan fisiologis. Implementasi harian berikut ini sebaiknya dilakukan sebagai pendukung latihan.

  • Tuliskan tujuan-tujuan hidup kita (jangka pendek dan panjang) yang bermakna, sangat ingin dicapai, ada batas waktu, terukur/bisa dievaluasi, berguna.
  • Tuliskan apa saja kegiatan (usaha-usaha) untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
  • Tentukan berapa alokasi waktu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tersebut.
  • Buatlah
  • Identifikasi apa kendala-kendala yang dihadapi.
  • Identifikasi dan lakukan kegiatan-kegiatan (usaha-usaha) untuk mengatasi kendala-kendala tersebut.
  • Evaluasi diri: dalam kerangka tujuan Anda, sekarang Anda ada di posisi titik atau “kilometer” ke berapa? Mengapa? Bagaimana cara mengatasinya?
  • Buat jadwal harian, mingguan, bulanan, tahunan yang mencerminkan upaya pencapaian tujuan.
  • Buat dan amalkan do’a-do’a harian dalam rangka mencapai tujuan (iman, ilmu, sehat, rejeki, jodoh)
  • Sabar, ulet, tahan uji, terus “konsultasi” dan tawakal pada Allah

 

 

* Dosen Bimbingan dan Konseling, FIP UM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *