Satu abad setelah Albert Einstein menelurkan Teori Relativitas pada 1905, peradaban manusia bagai telah lari tunggang langgang. Teori ini diakui memberi pengaruh besar terhadap lahirnya teknologi modern, serta merubah pemahaman manusia tentang alam secara radikal.
Setelah Einstein, genre baru fisika modern terus tumbuh. Dari fisika kuantum yang fenomenal hingga nanoteknologi yang merupakan anak kandung dari fisika kuantum, menjadi salah satu isu mutakhir sepanjang sembilan dasawarsa. Di penghujung abad 20, fisika kembali dihentakkan menyusul kelahiran kriogenik, serta perkembangan teknologi ini yang amat mencengangkan. Kriogenik adalah fisika terapan kontemporer yang termasuk jajaran teknologi paling sophisticated abad ini. Memanfaatkan cara pendinginan di bawah suhu nol derajat celcius, kriogenik telah mengantar manusia pada kemampuan-kemampuan super, seperti misalnya menangkap cahaya “Bayangkan, cahaya yang memiliki kecepatan luar biasa itu (360 km/jam), dapat diperlambat pergerakannya lewat mekanisme pendinginan kriogenik, lalu ditangkap (‘diawetkan’) dalam sebuah wadah,” terang Neni Sintawardani, Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin (14/11).
Berkat metode pendinginan kriogenik pula-lah, lanjut dia, negara-negara maju mampu menciptakan apa yang disebut bank sperma. Bukan cuma itu, teknologi kriogenik juga memungkinkan manusia melakukan eksperimen-eksperimen paling spektakuler, misalnya mendinginkan manusia dalam suatu tempat, lalu menghidupkannya kembali 150 tahun kemudian! Ilustrasi di atas memang lebih mirip adegan dalam film-film fiksi ilmiah. Namun, dalam lingkup yang terbatas dan jauh dari publisitas, riset seperti itu sudah dilakukan sejumlah ilmuwan. Namun, secara konkret, terang Neni, teknologi kriogenik telah dimanfaatkan secara ekstensif dalam pencairan gas alam (liquid natural gas).
Adalah Douglas Dean Osheroff, fisikawan dari Universitas Stanford, Amerika Serikat (AS), sang penggagas utama teknologi kriogenik itu. Teknologi ini pula yang mengantarkan pria usia 60 tahun ini meraih penghargaan Nobel fisika pada 1996, berkat temuannya tentang superfluiditas pada helium-3, yang tak lain basis utama kriogenik. Pekan ini, Osheroff akan datang ke Indonesia. Ia akan menjadi salah satu pembicara kehormatan dalam Meeting of Indonesian Scientists in the 21st Century, di gedung LIPI, Jakarta, 18-19 November.
Hadirnya Osheroff menjadi kali pertama Indonesia kedatangan peraih Nobel bidang fisika. “Ini merupakan kehormatan besar bagi LIPI dan Indonesia. Tidak mudah mendatangkan peraih Nobel mengingat situasi negara yang tidak kondusif dengan adanya teror bom dan flu burung,” tutur Kepala LIPI, Umar Anggara Jennie. Pada hari pertama, Osheroff akan membawakan sebuah makalah berjudul How Advanced in Science are Made?, sebuah makalah yang, menurut Neni Sintawardani, akan mengeloborasi titik terjauh dari sains, serta kemungkinan teknologi yang dapat tercipta berbasis temuan mutakhir manusia abad ini. Antusiasme Osheroff untuk hadir ke Indonesia, kata Neni, tak lepas dari visi sang ilmuwan yang amat humanistik. Ia menaruh empati yang besar terhadap kesenjangan sains yang terjadi di negara-negara dunia ketiga. “Ia ingin mengatakan bahwa kita semua dapat melangkah bersama dan maju. “We are in the same boat,” tutur Neni, menirukan Osheroff.
Di negara-negara maju, kata Neni, pengembangan iptek sudah mencapai taraf mencengangkan, seperti eksperimen tentang lompatan kuantum yang memungkinkan material ditransfer antar ruang dan waktu. Alih-alih mengimbangi, negara-negara dunia ketiga tetap menjadi pasar besar teknologi generik yang tak berdaya. Menurut Wakil Kepala LIPI, Dr Lukman Hakim, APU. agar dapat maju dan sejajar dengan bangsa lain sains dan ilmu pengetahuan harus menjadi arus utama (mainstream). Sejarah mencatat, tak satu pun bangsa yang maju tanpa mengindahkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penting dicatat, mind-set ini juga harus tertanam di benak para politisi,sebagai pemegang kekuasan terbesar di negeri ini.