Thursday, 27 March 2025
above article banner area

Agen Sosialisai Budaya

Judul: Agen Sosialisai Budaya
Nama & E-mail (Penulis): Agus Ruslan
Saya Pengamat di Bandung
Topik: transformasi budaya
Tanggal: 30 Mei 2007

I. Kebudayaan dan Pendidikan Masyarakat sebagai satu kesatuan individu adalah pembentuk, pelestari sekaligus aset budaya. Sikap, Perilaku, merupakan pemahaman atas keberadaan masing-masing individu pada suatu masyarakat Kebiasan suatu kelompok besar atau msayarakat dan sub kultur kelompok kecil yang lebih memungkinkan dapat saling berkomunikasi satu sama lainnya untuk memfungsikan dirinya sebagai penyedia tranmisi budaya dan memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk bertindak secara maksimal. Anak-anak diharuskan berakulturasi (bergaul), belajar konsep, nilai-nilai dan perilaku secara bersama sebagai sebuah budaya (kebiasaan) dan sebagai cara pensosialisasiannya anak-anak ditempatkan sebagai fungsi utama kemudian para remajan dan selanjutnya orang dewasa agar semuanya ikut berpartisipasi secara efektif dalan kelompok dan masyarakat secara luas.

Banyak individu dan lnstitusi bertindak masing-masing dalam membatu pergaulan anak-anak dan para remaja. Keluarga merupakan posisi terpenting dalam membina pergaulan remaja,walaupun dalam masyarakat modern institusi formal seperti sekolah juga membantu menentukan anak-anak dapat belajar seberapa baik atau membantu mempersiapkan mereka agar berguna di masyarakat. Memang sekolah diciptakan untuk tujuan tersebut, tetapi perlu disadari bahwa institusi lain selain sekolah juga membentuk sikap, perilaku, dan pemahaman anak-anak..

Bab 9 memuat ikhtisar mengenai beberapa unsur pokok dalam proses pembudayaan dan sosialisasi anak-anak serta kaum muda kita yang kompleks pada pola kehidupan masyarakat teknologi. Perhatian seluruh bab dipokuskan pada masalah bagaimana memasyarakatkan kultur institusi mempengaruhi prestasi dan pengembangan orang-orang muda. Kami juga mempertimbangkan jalanan pemecahan di mana sekolah dipengaruhi oleh kondisi dan permasalahan yang diciptakan oleh institusi sosial lain.

Istilah kultur telah dikenal secara luas dan berlangsung terus menerus mengubah perilaku ” yang ditularkan di antara anggota masyarakat. Ahli antropologi Ruth berpendapat,” bahwa kultur itu ibarat bak milik orang bersama-sama”. Kultur adalah suatu cara berpikir dan bertindak, suatu pengetahuan kelompok dan kebiasaan. Tradisinya, dokumen, dan tulisan. gagasan dan aturan bersamanya. Bukan individu tunggal, maupun suatu kelompok, maupun suatu keseluruhan masyarakat. Kebiasaan pakaian, tentang diet, tentang rutinitas sehari-hari yang detil dan tak terbilang tentang kehidupan yang nampak memerlukan cerminan untuk suatu pembersihan identitas budaya. Kultur bertanggung jawab membangitkan perbedaan dalam perilaku dan sikap secara luas ke lintas masyarakat telah dikenali sedikitnya sejak abad ke lima B.C., ketika Sejarawan Yunani Herodotus mencatat. Bahwa orang Mesir mempunyai kebiasaan; wanitanya biasa belanja dan berdagang di pasar, sebagian tinggal di rumah dan menenun kain. Laki-laki sudah biasa membawa beban di atas kepala sedangkan kaum perempuan membawanya di atas pundak. Mereka beristirahat di rumah tetapi makan di luar. Mereka berpegang pada teori ” Sesuatu yang pantas bahkan diperlukan harus dilaksanakan secara tertutup, dan yang tidak pantas harus dilaksanakan secara terbuka.

Dalam masyarakat modern, sekolah bertindak sebagai institusi utama (selain keluarga) yang harus dipikirkan oleh generasi orang dewasa untuk memelihara dan mengabadikannya. Sebagai media penting bagi kelangsungan dan pewarisan pengetahuan serta nilai untuk generasi masa depan. Pada hakekatnya, sekolah merupakan kebanggaan kita dengan suatu harapan adanya kesinambungan dan pengalaman tentang kultur kita, hal ini merupakan suatu sistem paling formal untuk mendidik kaum muda, sebaga keberadaan institusi bagi anak-anak sangat diperlukan bahkan harus dimasyarakatkan untuk wadah pergaulan mereka. Di sekolah nilai-nilai, kepercayaan, dan norma-norma ( peraturan tentang perilaku) tentang masyarakat ditegakkan dan diteruskan, bukan hanya sebagai pokok materi pelajaran bahkan sebagai bagian di dalam seluruh struktur dan operasi sistem bidang pendidikan sendiri itu sendiri.

I.1.Agen-agen Sosialisasi

Sejumlah institusi sosial berfungsi memancarkan kultur ke kultur ke anak-anak dan para pemuda. Dalam kegidupan masyarakat keluarga merupakan agen sosialisai bufdaya yang laing kuat, kemudian lembaga pendidikan terutama sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah, Kelompok sebaya (peer group) juga merupakan transmiter atau agen sosialisasi budaya yang cukup kuat, lewat pergaulan dalam usia sebaya perasaan pemikiran dan tindakan lebih leluasa dan lebih longgar untuk dipancarkan, pada kelompok usia sebaya tidak ada yang dianggapo lebih tinggi atau rendah. Media masa juga sangat berperan dalam melakukan sosialisasi budaya terutama media elektronika khususnya televisi memberikan pengaruh besar terhadap anak-anak, penelitian yang dilakukan di Amerika menyimpulkan bahwa rata-rata anak mengahabiskan waktunya dengan menonton televisi sebanyak 21.4 jam perminggu.

I.1.a. Keluarga

Keluarga adalah wadah utama dan agen pertama pensosialisasian kultur di setiap lapisan masyarakat. Keluarga juga sebagai media pertama yang memancarkan kultur kepada anak-anak sebab keluarga adalah dunia yang pertama kali menyentuh kegidupan anak-anak, keluarga merupakan dunia inspirasi bagi anak-anak. Anggota keluarga termasuk anak kecil mendapatkan pelajaran berbagai hal yang ada dalam keluarga, tanpa disadari bahwa apa yang terjadi dalam keluarga memberikan pengaruh sangat besar bagi kehidupan mereka, Ayah dan ibu sebagai orang dewas dalam keluarga berperan sangat penting dalam membuat sistem dalam keluarga, ia membuat aturan disiplin, mentransmit nilai-nilai baik positif ataupun negative kepada anak, sehingga akan membentuk perilaku anak sebagai anggota keluarga.

Kebanyakan anak yang berprestasi di sekolah sampai lulus studi hingga bekerja disebabkan lingkungan keluarga yang baik yang dapat mendorong anak-anak mencapai keberhasilan, sedangkan anak-anak yang prestasi belajar di sekolahnya kurang baik bahkan drop out dari sekolah lebih besar dikarenakan lingkung keluarga, maka sesungguhnya keluarga mempunyai tanggung jawab dan peranan yang sangat besar dalam melahirkan dan membentuk generasi yang baik dan berkualitas.

Sejak tahun 1950 persentase kaum ibu Amerika yang bekerja semakin meningkat, bahkan 18 % di antara mereka yaitu ibu rumah tangga dan anak di bawah usia 18 tahun sudah bekerja. Keluarga dengan single-parent juga terus bertambah, di antaranya disebabkan perceraian atau ditinggal mati pasangannya, sehingga anak-anak diasuh oleh orang tua tunggal yang kebanyakan kaum ibu. Dari hasil penelitian di Amerika data menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia 18 tahun yang hidup dengan orang tua lengkap pada tahun 1960 sebanyak 91%, kemudian tahun 1990 junlahnya menurun menjadi 70%.

Anak-anak keturunan Afrika-Amerika yang tinggal dengan orang tua lengkap pada tahun 1990 sebanyak 39%, sedangkan tahun 1960 jumlahnya cukup banyak sekitar 67%, artinya bahwa setengah dari jumlah anak-anak mereka yang berusia di bawah delapan belas tahun tinggal dalam keluarga single-parent. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Amerika dan Inggris bahwa keluarga dengan single-parent memberikan dampak atau pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan psikologi anak.

I.1.b. Peer Group (Kelompok Sebaya)

Beberapa sumber informnasi menyatakan bahwa Peer group (kelompok sebaya) sangat penting keberadaannya bagi perkembangan anak. Sebagai contoh dapat mertujuk pada data hasil penelitian Suzanne Boocock, bahwa anak-anak dalam beraktivitas lebih banyak mengahabiskan waktunya dengan bermain bersama teman sebaya mereka atau dengan menonton televisi. Data yang diperoleh dari hasil studi James Coleman ” bahwa fungsi usia sebaya kalangan remaja di sekolah khususnya di Perguruan tinggi membentuk aktivitas pavorit di kalangan mereka termasuk di antaranya makan di sekolah sedangkan di luar sekolah aktiviatsnya lebih pada apa yang disebut ‘hanging aroun’ . Sesungguhnya para pelajar lebih diuntungkan dengan adanya usia sebaya yang didalamnya dapat diperoleh keakraban dan popularitas. Keahlian dalam bidang olah raga sebagai kemampuan pribadi, penampilan yang rapi atau pamer materi seperti mobil dan pakaian. Dalam hal ini peer culture akan menghambat tercapainya tujuan akademik. Coleman Menyatakan bahwa opini usia sebaya “sebagai penekan aktivitas akademik” berpengaruh negatif terhadap sekolah dan kelas.

Secodary students Responses to the Question, What is the One Thing About This School”

My Friends Sports Good Students Attitudes Nothing Classes I’m Taking Teacher Other Junior high repondents

37% 15% 10% 8% 7% 5% 18%

Senior high respondents

34 12 12 8 7 3 24

Sumber data: daimbil dari John I. Goodlat, A Place Called Scool (New York: McGraw-Hill. 1984). Pp. 76-77.

I.1.c. Budaya Sekolah

Dibandingkan dengan pendidikan luar sekolah seperti belajar dari pengalaman, di keluarga dan peer group luar sekolag, belajar disekolah lebih tertib dan kurikulumnya pasti, sebagai wadah pendidikan formal anak-anak diatur berdasarkan tata tertib dan peraturan sekolah, mereka belajar disiplin cara berdiri, duduk dan berjalan, mereka juga belaja upacara bendera atau hari-hari besar kenegaraan, belajar bernyanyi, olah raga di samping pelajaran pokok laninnya seperti matematika, ilmu pengetahuan social, dan lain sebagaimnya, di sekolah hasil belajar anak dievaluasi dan mereka mendapatkan penghargaan atas prestasi belajar mereka dengan nilai yang didapatnya sampai lulus dan diwisuda sebagai upacara pelepasan. Guru mengarahkan dan membimbing para siswa, dan inilah yang disebut budaya atau kultur sekolah.

Dalam sekolah terdapat kurikulum tersembunyi dimana anak mendapatkan pelajaran dari perilaku teman-temanya yang bisa negatif dan atau positif, itu terjadi dalam kelompok belajar (dalam kelas) akan membentuk karakteristis atau budaya kelas yang mungkin berbeda antara kelas yang satu dengan yang lainnya. Misalnya keaktipan belajar dalam kelas atau sebaliknya sepert bolos sekolah.

I.1.d. Media Masa (Televisi)

Sebagian sarjana sosial berpendapat bahawa televise sebagai ” kurikulum pertama” Karen mempengaruhi cara belajar anak untuk mengembangkan keteerampilan dan pengetahuan dan pemahaman. Oleh karenananya kurikulum televise dirancang untuk memelihara minat pada kurikulum sekolah dengan tujuan lain seperti pengmbangan moral dan penguasaan secara abstrak. Hal ini merupakan tugas serius karena kebanyakan anak menggunakan waktunya untuk menonton telivis tiga kali lebih banyak dibanding jam belajar di sekolah.

Grafik di atas menunjukkan rata-rata aktivitas para pelajar Amerika di luar sekolah per minggu. Rata-rata mereka mengahbiskan waktunya dalam satu minggu untuk menonton televisi selama 21.4 jam, mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah selama 5.6 jam dan dipakai kegiatan membaca selama 1.8 jam.

Pro dan Kontra terhadap Pengaruh Siaran Televisi

Argumen Yang Mendukung

Argumen Yang Menolak

1. Televisi akan memperkaya pengetahuan anak dan dapat memahami pelajaran, keuntungannya guru dapat lebih cepat mempersentasikan pelajaran

2. Televisi dapat membangkitkan perhatian anak dan guru dapat lebih memperdalam beberapa bagian kurikulum.

3. Televisi membantu guru untuk membuat siswa belajar yang menyenangkan.

4. Tayangan film atau sandiwara dalam televisi dapat menyentuh emosi seperti sedih dan marah, dan siswa dapat berlatih untuk mencobanya dengan teman sekelas, orang tua atau guru.

5. Televisi mrupakan agen sosialisasi paling baik

1. Para siswa sering mendapatkan informasi yang dangkal dari televisi dan tidak dapat dijadikan landasan pengetahuan, bahkan tayang televisi bisa menipu pikiran siswa.

2. Terkadang Televisi dapat memprovokasi suatu masalah yang mengakibatkan siswa berpikir pasif sehingga guru harus lebih sering mengkonternya untuk menumbuhkan mental habit anak didiknya.

3. Siaran televisi membuat pekerjaan guru tambah sulit karena tayangan yang menyenangkan dan palsu membangkitkan harapan belajar yang menyenangkan sedangkan guru bukan burung yang dapat menarik perhatian.

4. Tayang televisi dapat membentuk karakter dan perlilaku siswa bengis dan kasar.

5. Beberapa program TV menjauhkan anak dari nilai-nilai sekolah dan masyarakat khususnya nilai-nilai negataif kelompok sebaya.

I.2. Peran dan Perbedaan Jenis Kelamin

Tuntutan masyarakat terhadap penyerasian nilai-nilai dan norma serta perilaku anak di sekolah merupakan tugas yang berat bagi para guru di sekolah. Perbedaan jenis kelamin antara anak laki-laki dan perempuan agar mereka semua mendapatkan hak yang sama dapat berkomunikasi dengan baik dan dapat saling menukar kebiasaan diantara mereka tetapi tidak dari norma serta tata tertib sekolah. Secara psikologis anak prempuan lebih cenderung menekankan pada perasaan dan lebih menyenangi mainan bonek, sedangkan anak laki-laki lebih cenderung menonjolkan kekuatan pisik dan logika menurut Robert Havighurst “bahwa ada tiga perbedaan antara perilaku anak laki-laki dan perempuan. Anaka laki-laki cenderung menunjukkan kekuatan pisik dan lebih aktif, sedangkan anak perempuan bersikap menahan diri dan lebih disiplin serta bersikap lebih dewasa dari pada laki-laki”.

I.2.a.Refleksi Permasalahan di sekolah

Dalam lingkungan Sekolah para siswa diarahkan untuk memahami dan mampu menyerap norma-norma taradisional sekolah seperti sopan-santun, menjaga kebersihan baik pribadi, kelas maupun lingkungan sekolah secara keseluruhan dan kedisiplinan atau ketaatan terhadap terhadap norma-norma sekolah. Para guru di sekolah berusaha sekuat tenaga menekan atau mengurangi perilaku agresive siswa laki-laki seperti berkelahi dan lain-lain, dan berbeda dengan siswa perempuan yang lebih cenderung pasive dan lebih taat pada tata tertib sekolah.

I.3. Permasalaha Remaja dan Pemuda

I.3.a. Obat-obatan dan Minuman Keras

Permasalahan anak muda khususnya para remaja di Amerika tidak jauh berbeda dengan negara lainnya di benua Eropa dan Amerika, namun ada permasalahan yang sangat mengkhawatirkan perkembangan mental mereka, yaitu minum-minuman (kecanduan alkkohol), penyalah gunaan obata-obatan (narkotika), perilaku kriminal. Berdasarkan hasil penelitian bahwa korban dari penyalahgunaan obat-obatan (narkotika) paling banyak dari kalangan ekonomi lemah.

Dari data yang diperoleh perokok pada siswa SMA menunjukkan angka penurunan Tahun 1976 sekitar 39% dan pada Tahun 1990 menjadi 29%. Begitu juga pengguna Marijuana (sejenis narkotika) Tahun 1978 sekitar 54 % pada tahun 1990 menjadi 27%. Pamakai Tranquilizes Tahun 1978 sekitar 11% pada tahun 1990 menjadi 5%. Pemakai heroin pada tahun 1990 diperoleh data sekitar 2%. Pemakai Cocaine Tahun 1975 sekitar 7% Tahun 1985 bertambah menjadi 13%, Tahun 1990 sekitar 6%. Dari keseluruhan bahwa terjadi penurunan penyimpangan penggunaan obat-obatan antara tahun 1989(54%) s.d 1990 (42%) sekitar 12%. Data siswa SMA amphetamines (kekurangan vitamin) tahun 1990 sekitar 9%. Peminum alkohol tahun 1980 sekitar 40% pada tahun 1990 sekitar 32%.

I.3.b. Bunuh Diri

Para guru berusaha keras membangun mental anak didiknya di sekolah agar mereka mampu berpikir positif, optimis dalam mengahadapi masa depan dan mampu menstabilkan emosinya baik dalam pergaulan di sekolah, di rumah dan pergaulan di masyakat luas. Dalam kehidupan masyarakat muncul kasus-kasu bubuh diri yang penyebabnya variatif. Di Amerika kasus bunuh diri di kalangan usia muda merupakan masalah yang cukup serius, antara tahun 1950 s.d tahun 1991 terjadi tiga kali lonjakan kasus bunuh diri. Salah satu sebabnya adalah lemahnya penanaman nilai-nilai agama di kalangan.

I.3.c. Hamil Pada Usia remaja (belasan tahun)

Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika melaporkan banyaknya remaja wanita yang hamil akibat pergaulan bebas di kalangan mereka khususnya usia SMA yang kemudian mengakibatkan banyak kasus pengguguran kandungan. Kasus-kasus di atas banyak dialami oleh para remaja antara usia 15 th – 19 th. Angka penyimpangan seksual justru semakin meningkat, pada tahu 1960 diperoleh data sekitar 15% dan pada tahun 1991 menjadi 75%. Penelitian lanjutan menyatakan bahwa kasus-kasus di atas berkaitan dengan tingkat kemampuan ekonomi keluarga. Kepala rumah tangga dan ibu banyak di luar rumah untuk mencari nafkah sehingga anak-anak kurang dapat perhatian dan menyalurkanya perasaannya melalui pergaulan mereka.

I.3.d. Kejahatan dan Kekejaman

Kriminialitas di kalangan remaja sebagian merupakan pengaruh dari peer cultur (kebiasaan usia sebaya), alkohol, pendapatan ekonomi rendah di lingkungan kota besar. Pertumbuhan remaja usia 18 th-24 th pada tahun 1988 sekitar 315 dari populasi penduduk yang hanya 11%. Kasus pembunuhan yang terjadi di kalangan remaja peria etnis Afrika paling menonjol dan mengalami peningkatan antara dua s.d tiga kasus yang terjadi pada antara tahun 1980 s.d tahun 1990.

II. Kelas Sosial dan Keberhasilan di Sekolah

Kelompok social adalah unit social yang terdiri dari beberapa individu-individu yang mempunyai status atau peran tertentu dalam unit social dan di dalamnya berlaku norma-norma yang mengatur tingkah laku kelompok. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai individualitas hidup dalam dan dengan kelompok social. Kelas social dalam masyarakat mempunyai hubungan yang kuat dengan prestasi belajar di sekolah.

W. Lioyd Warned mengelompokkan masyarakat Amerika ke dalam lima kelompok social berdasarkan empat variabel yaitu: jabatan, pendidikan, pendapatan dan nilai perumahan yang kemudian berdasarkan kelasifikasi individu dan keluarga menjadi lima kelompok yitu: (1) upper class (kelas sosial tingkat atas), (2) upper midle class (kelas sosial menengah ), (3) lower midle class (kelas sosial menengah bawah), (4) upper lower class (kelas sosial tingkat bawah dan (5) lower lower class (kelas sosial paling bawah) bahkan sebagian ahli membaginya ke dalam enam level. Kedudukan atau jabatan yang tinggi, jenjang pendidikan yang diselesaikan dan nilai perumahan membentuk kelas sosial secara individu yang sering disebut sosioeconomic status (SES). Orang-orang yang dikelompokkan ke dalam upper class adalah para pemilik modal atau ivestor di bidang perumahan dan yang setingkat atau diatasnya, kelompok midle class di antaranya ‘para profesional dan para manajer, kelompok upper midle ialah adalah para teknisi atau pekerja tehnik, kelompok lower midle di antaranya para sales para pekerja administrasi.

Hubungan atau pengaruh kelas sosial terhadap prestasi belajar anak di sekolah di gambarkan pada tabel di bawah ini;

Tingkat pendidikan orang tua dan jenis komunitas masyarakat meninjukkan nilai rata-rata matematik dan kemampuan membaca berada pada urutan ke eempat dan ke delapan. Tahun 19988 dan Tahun 1990.

Urutan kedelapan Urutan kedelapan Urutan keempat Pendidikan orang tua lulus sekolah menengah Tidak lulus sekolah menengah Sedang kuliah Lulus perguruan tinggi Urutan Kedelapan Matematika1990

241 250 261 263

Urutan Kedelan Reading 1988

245 256 269 273

Urutan Keempat Reading 1988

204 226 241 241

Jenis Komunitas Komunitas Miskin Perkotaan Pedesaan Perkotaan yang Kaya

243 253 271 247 271 274 208 228 248

Prestasi sekolah dihubungkan dengan tipe komunitas masyarakat tempat sekolah berada menunjukkan adanya pengaruh. Sekolah yang berada di liungkungan masyarakat ekonomi atas menunjukkan prestasi yang baik dan bonavid sedangkan sekolah yang berada di lingkungan masayarakat ekonomi lemah menunjukkan prestasi yang kurang baik hal itu disebabkan pendapatan biaya pendidikan sekolah yang berbeda, yang ada dilingkungan masyarakat ekonomi atas sekolah mendapatkan dunkungan biaya pendidikan yang baik sedangkan di lingkungan ekonomi lemah kurang mendapatkan dukungan biaya.

Kemampuan dan Status Sosial Ekonomi

Reading Achievement Level Lowest Fourth Middle Half Highest fourt Lowest fourt Middle half Highest fourth 42

58 78 44 70 90 66 86 97

Status sosial ekonomi merupakan gabungan pendididikan orang tua, pendapatan ekonomi keluarga, jabatan ayah, dan karakteristik rumah tangga

II. Ras atau Etnik Masyarakat dan Keberhasilan Sekolah

Indikator Perfomance Sekolah dan Hasil yang Dicapai serta Latar belakang sosial ekonomi berdasarkan rasial Kelompok Etnik.

Racial/Etnik Group Percent of Eight Graders Below Basic Reading Math Level 1990 Percent of Eight Graders Below Basic Reading Level 1988 Percent of Eighth Graders from Families with Income Below $ 15.000. 1988 African American 70 24 47 Asian American 22 15 18 Hispanic 58 21 37 Native American 44 27 42 No-Hsipanic White 26 10 14

Katagori Asia Amerika termasuk didalamnya pelajar yang berasal dari Pasipik. Katagori Native American termasuk di dalamnya pelajar yang berasal dari Amerika-Indian dan Alaska

BAB III

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan diambil dari kata dasar budaya, kebudayaan dalam bahasa Inggrisnya adalah culture berasal dari bahasa Latin “Colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, kemudian berkembanglah pengertian kultur sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (A. Ahmadi, 2004:58). Para ahli mendefinisikan culture atau kebudayaan dengan redaksi yang berbeda-beda; di atanraanya Antropolog Inggris yang benama Ruth mendefinisikan culture ibarat bak milik orang bersama-sama”. Kultur adalah suatu cara berpikir dan bertindak, suatu pengetahuan kelompok dan kebiasaan. Tradisinya, dokumen, dan tulisan. gagasan dan aturan bersamanya. Bukan individu tunggal, maupun suatu kelompok, maupun suatu keseluruhan masyarakat. Kebiasaan pakaian, tentang diet, tentang rutinitas sehari-hari yang detil dan tak terbilang tentang kehidupan yang nampak memerlukan cerminan untuk suatu pembersihan identitas budaya. (Allan C. Ornstein & Daniel U. Levine, 1993, p.318). E.B. Taylor juga seorang Antropolog Inggris mendefinisikan culture sebagai ” The complex whole which includes knowledge, bilief, art, morals, law, custom and any ather capabilities and habits acquired by man as member of society” Kebuadayaan sebagai sifat kompleks, banyak seluk-beluknya dan meruppakan totalitas yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, dan lain-lain.( A. Ahmadi. 2004: 59)

a. Pengaruh Budaya terhadap sekolah Sekolah Sebagai Transmiter Budaya

b. Perbedaan Jenis Kelamin dan Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar

c. Model Sosialisasi Budaya yang dilakukan Sekolah

d. Pengaruh Televisi dan Media lainnya Terhadap Siswa

e. Aspe-aspek budaya remaja yang didapat dari Sekolah

2. Sekolah dan Sosialisai

a. Fungsi Pendidikan Sekolah

Ada beberapa pendapat mengenai fungsi pendidikan sekolah, di antaranya adalah: pertama, memberantas kebodohan, dan kedua Memberantas salah pengertian. Secara positif keduia fungsi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

a.1. Menolong anak untuk menjadi melek huruf dan mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektualnya’

a.2. Mengembangkan pengertian yang luas tentang manusia lain yang berbeda kebudayaan dan interesnya.

Menurut David Popenoe (p. 34 :1971) ada empat macam fungsi pendidikan sekolah, yaitu: (1) untuk transmisi kebudayaan masyarakat, (2) menolong individu memilih dan melakukan peranan sosialnya, (3) menjamin integrasi sosial, (4) sebagai sumber inovasi sosial. Disamping fungsi yang disebutkan barusan. Broom dan Selznic menambahkan satu fungsi lagi yaitu ” sebagai wadah untuk mengembangkan kepribadian anak” demikian juga halnya dengan Bachtiar Rifai hanya beliau menyatakan bahwa pendidikan yang kelima yaitu “pra-seleksi dan pra-alokasi tenaga kerja”.

Di lingkungan sekolah anak tidak hanya mempelajari pengetahuan dan ketrampilan, melainkan juga sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Sebagian besar sikap dan nilai-nilai itu dipelajari secara informal melalui situasi formal di kelas dan di sekolah. Melalui contoh pribadi guru, isi ceritera buku-buku bacaan, pelajaran sejarah dan geografi dan suasana anak mempelajari sikap, nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.

b. Transmisi Kebudayaan

Pengertian transmisi kebudayaan tidak hanya terbatas pada mengajarkan kepada anak abagaimana cara belajar, melainkan juga bagaimana menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Fungsi transmisi kebudayaan masayarakat kepada anak dapat dibedakan duan macam, yaitu: (1) transmisi pengetahuan dan ketrampilan, (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma.

Taransmisi pengetahuan mencakup pengetahaun tentang b ahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, dna penemuan-penemuan teknologi. Dalam masyarakat industri yang komplek, fungsi transmisi pengetahuna tersebut sangat penting sehingga proses belajar di sekolah memakan waktu lebih lama, membutuhkan gur-gur dan lembaga yang khusus.

Dalam arti yang sempit transmisi pengetahuan dan keterampilan itu berbentuk vokasional training, contoh di masyarakat Mobutu ayah mengajarkan kepada anaknya cara membuat panah untuk perburuan binatang, di sekolah teknik anak belajar bagaimana caranya meperbaiki mobil.Perlu diingta bahawa sesungguhnya penegertian transmisi kebudayaan tidak hanya terbatas pada mengajarkan kepada anak bagaimana cara belajar, melainkan juga bagaimana menemukan dan meciptakan sesuatu yang baru.

c. Kebudayaan Sekolah

Sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang mempengaruhi proses sosialisai dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada anak. Sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi sosial di antara para anggotanya yang bersifat unik pula, dan inilah yang disebut kebudayaan sekolah. Ada beberapa unsur penting dalam kebuadayaan sekolah yaitu:

1. letak lingkungan, dan prasarana fisik sekolah (gedung sekolah, mebiler, perlengkapan yang lain);

2. Kurikulum yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakata yang menjadi keseluruhan program pendidikan.

3. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang etrdiri atas siswa, gur, non teaching specialist, dan tenaga administrasi.

4. Nilai-nilai normal, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.

Tiap-tiap sekolah mempunyai kebudayaan sendiri yan g bersifat unik, tiap sekolah memili aturan tat tertib, kebiasaan, upacara , mars atau hymne sekolah, pakaian seragam dan lambang yang berbeda yang memrikan corak khas sekolah yang bersangkutan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian bahwa kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa

c. Faktor Keutuhan Keluarga dan Sikap Kebiasaan Orang Tua

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak ialah faktor keutuhan keluarga. Yang dimaksud faktor keutuhan keluarga terutama ditekankan pada strukturnya yaitu keluarga yang msih lengkap, ada ayah, ibu dan anak di smaping itu juga dibutuhkan interaksi hubungan antara anggota satu dengan anggota keluarga yang lain. Keluarga dengan orang tua tunggal atau sngle parent memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap perkembangan sosial anak.

Sebagai anggota keluarga anak akan menyerap segala yang terjadi dalam keluarga, oleh karena itu peranan keluarga terhadap perkembangan sosial anak-anak tidak hanya terbatas kepada situasi sosial ekonominya, atau kebutuhan struktur dan interaksinya, tetapi juga cara-cara dan sikap-sikap dalam pergaulannya memegang peranan penting dalam perkembangan sosial anak-anak mereka, misalnya orang tua selalu bersikap otoriter tehadap anaknya, maka anak-anak mereka akan berkembang menjadi manusia fasif , tidak berinisiatif, kurang percaya diri, ragu-ragu dalam bertindak, punya rasa takut dan lain sebagainya. Tetapi kalau orang tua dalam keluarga bertindak demokrasi maka anak-anaknya akan berkembang menjadi manusia yang penuh inisiatif, giat dan rajin, tidak menjadi penakut dan percaya diri. Dua contoh di atas memberikan gambaran bahwa sebernarnya anak-anak dalam kehidupan keluarga selalu mengimitasi, mengidentifikasi, disugestri dan lain sebagainya.

Dalam kehidupa masyarakat, anak-anak tumbuh dalam dua dunia osial:

1. Dunia orang dewasa, misalnya orang tua, gurunya dan tetangganya.

2. Dunia peer groupnya atau teman sebayanya, misalnya kelompok bermain, gang-gang, klub-klub, kelompok sekolah dan lain sebagianya.

3. Perbedaan Peer Gruopdeng orang dewasa

1. Perbedaan dasar : dalam dunia orang dewasa anak selalu diposisikan subordinate status (status bawahan) sehingga bersifat kurang emosionil, sedangkan dalam peer groupnya dia mempunyai status yang sama di antara yang lainnya (equal), oleh karenanya anak membutuhkan kelompo sendiri karena ada kesamaan dalam pembicaraan segala bidang.

2. Perbedaan pengaruh: Peer group makin lama makin penting fungsinya, dan pengaruh keluarga makin kecil. Misalnya anak umur 8-10 tahun ingin bermain seperti teman yang lain atau yang di atasnya.

3.1. Fungsi-fungsi Peer Group

Peer Group sebagai wadah sosialisasi sebagaimana diumngkapkan Havighurst dalam (A. Ahmadi (2004) bahwa ada tiga fungsi peer group :

a. Mengajarkan kebudayaan, dalam peer group diajarkan kebudayaan yang berada di tempat itu, misalnya orang luar negeri datang ke Indonesia, maka teman sebayanya di Indonesia mengajarkan kebudayaan Indonesia atau sebaliknya.

b. Mengajarkan mobilitas sosial (perbahan status), misalnya ada midle-class, ada lower-class dan inilah yang disebut mobilitas sosial. Hasil penelitian Neugarten yang dilakukan pada anak-anak kelas V dan VI menyimpulkan bahwa bila mereka ditanya siapa teman mereka yang paling baik kebanyak menjawab teman mereka yang berasal dari kelas sosial di atas mereka kemudian teman yang berasal dari kelas sosial mereka sendiri.

c. Membantu peranan sosial yang baru, peer group memberi kesempatan anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru, misalnya anak belajar bagaimana mendapatkan pengkat, bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan lain sebagainya.

4. Klasifikasi Kelompok Sosial

Para pakar sosiologi mengkelasifikasikan kelompok sosial dengan macam-macam istilah, dari sekian banyak pengkelasifikasian tersebut penulis lebih tertarik pada pendapat Summer yang mebagi kelompok sosial pada tiga kelasifikasi, yaitu; kelompok sosial primer, sekunder dan tertier.

a. Kelompok primer adalah suatu kelompok yang mempunyai rasa ikatan yang terkuat dalam relasi intra group. Yang termasuk kelompok primer adalah keluarga, dalam keluarga terdapat persatuan dan kesatuan yang membentuk kesatuan dalam pkiran dan tindakan. Cohtoh lainnya adalah Play group, dalam play group intimitas relasi teritama perasaan ke-kamian itu lebih menonjol dari pada keluarga. Kelompok primer juga terjadoi di sekolah, misalnya kelompok-kelompok olah raga, kesenian, belajar bersama. Dlam masyarakat kelompok primer ini dapat dilihat dari perbedaan tradisi, logat bicara, interest dan slain sebagainya.

b. Kelompok Sekunder, adalah kelompok yang di dalamnya terdapat hubungan kausalitas yang menyebabkan terbentukanya kelompok ini. Kelompok sekunder biasanya mempunyai bentuk organisasi yang jelas, ada anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, hak dan kewajiban anggota diatur oleh peraturan yang tegas. Yang termasuk kelompok sekunder misalnya; Organisasi masa, asosiasi profesional dan lain-lain.

c. Kelompok Tertiar, kelompok ini memunyai sifat sementara, misalanya orang yang bersama-sama naik bis, kereta api, nonton film, sepak bola dan lain-lain. Dalam kelompok ini tidak ada perturan yang mengatur hubungan sosia antar individu dan ketika interest sudah terpenuhi maka mereka bubar. Kadang kelompok tetier ini suka disebut kelompok marginal.

Kelas sosial mempunyai hubungan dengan prestasi belajar baik pada sekolah dasar maupun pada sekolah menengah, bahkan kelas sosial berpengaruh terhadap bisa masuk dan lulus sekolah.

5. Status Sosial Ekonomi Keluarga

Keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak, misalnya keluarga yang perekonomiannya cukup, menyebabkan lingkungan materil yang diahadapi oleh anak di dalam keluarganya lebih luas, sehingga ia mempunyai kesempatan lebih luas untuk memperoleh macam-macam kecakapan yang dalam memperolehnya dibutuhkan alat. Misalnya seorang yang berbakat seni musik tidak dapat mengembangkan bakaktnya kalau tidak ada alat musiknya.

BAB IV

ANALISIS

Dalam bab akhir ini penulis mencoba membuat analisa sederhana terhadap permasalah yan g dituangkan dalam bab sebelumnya.

A. Pendidikan dan kebudayaan

Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.

Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang “moral Ninomiya Kinjiro” merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.

Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?

Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.

B. Kultur Sekolah dan Prestasi Siswa

Dengan dana yang tidak sedikit telah banyak dilaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperti penyelenggaraan penataran guru, penyediaan buku teks siswa, dan pengadaan alat-alat laboratorium. Namun demikian, kualitas sekolah dari sekolah dasar sampai sekolah menengah tidak mengalami kenaikan yang berarti. Hal ini, sudah barang tentu, menimbulkan tanda tanya besar: Dimana letak permasalahannya?

Untuk memberikan jawaban hipotetis atas persoalan tersebut, nampaknya hasil kajian Hanushek atas berbagai laporan penelitian pendidikan di negara-negara sedang berkembang patut diperhatikan. Hanushek menyimpulkan “bahwa upaya meningkatkan kualitas pendidikan adalah tidak semudah yang diduga. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan “konvensional” dalam meningkatkan mutu dengan menyediakan dana meningkatkan kualitas serta kuantitas variabel input, seperti pelatihan guru, penyediaan buku teks, penyediaan fasilitas pendidikan yang lain, tidaklah menghasilkan sebagaimana yang diinginkan”. Oleh karena itu, agar mutu meningkat, selain dilakukan secara konvensional sebagaimana selama ini telah dilaksanakan perlu diiringi pula dengan pendekatan in-konvensional.

C. Kultur sekolah

Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan, sebagaimana dikemukakan oleh Hanushek di atas, bahwa sasaran peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup. Dengan kata lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni, meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.

Dalam dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa (bukan kultur sekolah) yang diduga sebagai faktor yang paling menentukan kualitas sekolah. Tetapi berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir, hasil TIMSS (The Third international Math and Science Study) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang, dan Belgia sama-sama menempati pada rangking atas untuk mata pelajaran matematik, padahal kultur negara-negara tersebut berbeda. Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu faktor penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir penelitian di bidang pendidikan yang menekankan bahwa “faktor penentu kualitas pendidikan tidak hanya dalam ujud fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam ujud non-fisik, yakni berupa kultur sekolah”.

Konsep kultur di dunia pendidikan berasal dari kultur tempat kerja di dunia industri, yakni merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien dan efektif. Salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz tersebut di atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.

Pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang “sehat” memiliki korelasi yang tinggi dengan a) prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, b) sikap dan motivsi kerja guru, dan, c) produktivitas dan kepuasan kerja guru. Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, sesuatu yang ada pada suatu kultur sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kaitan dengan aspek yang lain, seperti, a) rangsangan untuk berprestasi, b) penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan sekolah, e) ideologi organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua siswa, g) kepemimpinan kepala sekolah, dan, h) hubungan akrab di antara guru. Dengan kata lain, dampak kultur sekolah terhadap prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi tidaklah bersifat langsung, melainkan lewat berbagai variabel, antara lain seperti semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.

Di Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur sekolah dalam kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi mengingat bahwa sekolah sebagai suatu sistem di manapun berada adalah relatif sama, maka hasil penelitian di Amerika Serikat tersebut perlu mendapatkan perhatian, paling tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan kita.

D. Faktor pembentuk kultur sekolah

Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh berkembang selama waktu di sekolah, dan perkembangan mereka tidak dapat dihindarkan yang dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta oleh interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di sekolah, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan antar siswa sendiri. Aturan sekolah yang ketat berlebihan dan ritual sekolah yang membosankan tidak jarang menimbulkan konflik baik antar siswa maupun antara sekolah dan siswa. Sebab aturan dan ritual sekolah tersebut tidak selamanya dapat diterima oleh siswa. Aturan dan ritual yang oleh siswa diyakini tidak mendatangkan kebaikan bagi mereka, tetapi tetap dipaksakan akan menjadikan sekolah tidak memberikan tempat bagi siswa untuk menjadi dirinya.

Di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah ini. Ann Bradley dalam ‘Hardly Working’ mengemukakan hasil penelitian tersebut. Penelitian yang mencakup 1.000 siswa di New York City menunjukkan bahwa para siswa tidak bekerja keras dan mereka menyatakan kalau dia mau dia akan dapat mencapai nilai yang lebih baik; mereka tidak menghendaki ikut tes karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih banyak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek, dan hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR. Sekitar 60% menyatakan mereka malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam mengajar, serta tidak menguasai materi. Di samping itu sebagian besar responden menyatakan bahwa sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar, sekitar 80% mau belajar keras kalau semua proses belajar di sekolah berjalan secara tepat sebagaimana jadwal yang telah ditentukan. Sebagian siswa yang lain mengeluh karena guru sering melecehkan mereka dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu sebagai balasan mereka juga tidak menghargai guru. Temuan yang penting lagi adalah ternyata para siswa yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka akan lulus mendapatkan diploma dan diploma merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.

E. Praktek pendidikan modern

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.

Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai “pangreh praja”. Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda.

Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan “Macrocosmics”, bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.

Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki “kepribadian” tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.
Saya Agus Ruslan setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *