Sekolah Darurat Kartini, Sekolah untuk Kaum Miskin
Sekolah Darurat Kartini, Sekolah untuk Kaum Miskin
Sekolah Darurat Kartini, Sekolah untuk Kaum Miskin
Jumat, 07 September 2012 10:11 Dua belas tahun sudah usia Sekolah Darurat Kartini yang didirikan saudara kembar, Sri Rosianti dan Sri Irianingsih. Ratusan siswa dari keluarga tidak mampu bersekolah di tempat tersebut. Sayangnya, sekolah tersebut akan digusur PT Kereta Api Indonesia (KAI) karena menempati lahan di area gudang Stasiun Jakarta Gudang, Pademangan, Jakarta Utara. Bagaimana guru kembar itu menghadapi kenyataan harus memindahkan sekolahnya?
Di sekolah tersebut sekitar pukul 12.00 sejumlah siswa berdatangan. Menggunakan seragam baju putih dan celana biru, mereka sangat ceria ketika datang ke sekolah yang terdiri dari PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA tersebut. Mungkin karena mereka masih kecil, jadi tidak menyadari kalau sekolahnya akan digusur.
Kebanyakan anak-anak tersebut hanya menggunakan sandal sebagai alas kaki. Tapi, ada juga anak yang memakai sepatu. Pukul 13.00 anak-anak langsung masuk ke gedung sekolah bercat hijau dan merah muda tersebut. Mereka langsung menempati kursi yang ada di dalam kelas. Meskipun terdapat banyak jenjang sekolah, tapi Sekolah Darurat Kartini ini terbilang unik. Tidak ada ruangan kelas atau dinding penyekat antarkelas. Hanya ada papan tulis di depan kelas sebagai penanda antarkelas.
Saat belajar pun, orang tua yang datang mengantar bisa ikut bergabung di dalam kelas. Tentu ini tidak akan ditemui di sekolah umum. âSaat puasa sekolah masuknya siang, pulangnya sore. Kalau pagi masa kasih makan pagi. Kita gak ngajarin anak-anak puasa dong. Apalagi, sekarang ini mereka sedang belajar agama Islam,â ujar Rian, sapaan Sri Irianingsih.
Menggunakan baju terus warna cokelat ditambah topi yang menjadi ciri khas mereka, keduanya nampak sibuk mengajar anak-anak. Maklum saja, yang menjadi guru hanya mereka berdua. Walau kadang-kadang dibantu beberapa anak didiknya. Secara bergantian, mereka mengajarkan siswa TK dan SD untuk menulis. Sedangkan siswa SMP belajar mengaji. Sesekali pelajaran tersebut terganggu karena suara kereta api yang lewat. Pasalnya, sekolah Darurat Kartini letaknya hanya 2 meter dari rel.
âKita tidak punya hak. Kalau PT KAI punya belas kasihan silakan. Dikasih sedikit untuk kepentingan anak. Mereka lebih baik di sini karena dekat komunitasnya,â papar Rian, adik kembar Sri Rosianti atau biasa disapa Rosi.
Rian mengatakan, Sekolah Darurat Kartini sudah 6 tahun menempati lahan milik PT KAI tersebut. Lahan tersebut dapat dipakai oleh keduanya karena dikasih izin oleh Lim-Lim, pengusaha yang menyewa lahan milik perusahaan plat merah tersebut. âSaya dipinjami Pak Lim-Lim. Dulu bapak saya di PT KAI juga sebagai enginering (insinyur). Dia lulusan ITB,â kata ibu 2 anak tersebut.
Ia mengisahkan, kali pertama Sekolah Darurat Kartini pada 1990 dibuka di lahan yang sekarang menjadi Mall of Indonesia (MoI) Kelapa Gading. Sekitar 6 tahun keduanya memakai lahan tersebut sampai akhirnya pindah karena mau dipakai. Keduanya kemudian memindahkan sekolah ke tanah Merah yang tidak jauh dari sekolah sebelumnya. Lagi-lagi mereka harus pindah karena digusur. âSaya tidak pernah kena gusur langsung. Setiap mau dibongkar sudah saya bongkar duluan. Jadi tidak berhadapan langsung dengan satpol PP,â ujar Rosi sambil tertawa.
Setelah dari tanah Merah, sekolah kembali pindah ke Kebon Sayur. Letaknya lebih jauh dari tempat sebelumnya. Di tempat tersebut mereka menempati kolong tol. Setelah itu baru pindah ke gedung sekarang ini. âKita ingin mereka punya wadah. Bahwa anak-anak kaum marjinal, anak jalanan biar tetap dapat pendidikan yang sama dengan anak bangsa lainnya,â tegas Rian.
Rosi menegaskan, Sekolah Darurat Kartini adalah sekolah resmi dan berbadan hukum. Jadi sekolah tersebut bukan sekolah ilegal. âMereka dapat ijazah. Ada rapor setiap tahunnya. Mereka ikut ujian nasional juga. Kalau yang sambil kerja ikut ujian paket tapi yang sekolah tiap hari ikut ujian nasional (UN). Sama Pak Malik (Malik Fajar mantan Mendiknas) katanya kita bisa ikut rayon,â katanya.
Bukti lainnya bahwa sekolah mereka resmi dari penghargaan yang didapatkan keduanya. Total ada 104 penghargaan yang didapatkan keduanya. Masing-masing mendapatkan 52 penghargaan mulai dari dalam negeri hingga luar negeri pernah diraih. Seperti dari Amerika Serikat, Jepang, dan Presiden Soeharto. âKita dibilang ilegal. Padahal yang ngasih penghargaan presiden sendiri,â tutur Rian.
Wanita yang tinggal di Kelapa Gading ini menambahkan, niat awal membangun sekolah tersebut untuk mencerdaskan anak bangsa. âTapi, semakin kita bergaul sama mereka semakin dalam harus diselamatkan. Generasi ini tetap diselamatkan walau setetes. Kita cuma berdua. Kita bisa hasilkan SDM yang baik. Bisa diterima masyarakat umum,â ucap Rosi.
Rian melanjutkan, selain di Jakarta ia juga pernah membangun sekolah serupa di Lombok dan Surabaya. Sekolah tersebut dibangun ketika ia ikut suaminya dinas di dua kota tersebut. âDulu ngajar tapi orang desa. Buka sekolah di Lombok, Surbaya. Saya di Lombok 3 tahun, Bali 3 tahun, Surabaya sejak 1996. Di Surabaya dulu dibangun sekolah di pembuangan sampak Sukolilo,â katanya.
Mengenai sumber pendanaan untuk sekolahnya, kedua wanita yang sudah ditinggal suaminya ini kompak mengaku berasal dari deposito tabungan yang mereka punya. Namun, keduanya tidak mau menyebutkan nominal tabungan yang mereka miliki. âPenghasilan kita 25 persen diberikan untuk orang miskin. Ya, 1 bulan kira-kira bisa beli 1 mobil BMW. Tapi lama kelamaan kita kasih semua. Buat apa lagi, anak-anak sudah besar semua. Rosi anaknya dia Australia dan jadi dokter. Anak saya ada yang jadi dosen,â katanya.
âKeluarga tidak pernah mempermasalahkan sekolah yang kami bangun ini. Anak Bu Rosi juga tidak masalah. Mereka cuma ketawa-ketawa aja. Karena nelpon bilang itu sekolah mau digusur lagi ya sambil tertawa,â tambah Rian.
Saat ini, katanya, total murid yang terdaftar mencapai 603 anak. Jumlah tersebut terus bertambah karena setiap hari selalu saja ada yang mendaftar lagi. Mereka akan mendapatkan seragam dan tas gratis. Selain itu, Rosi dan Rian selalu memberi makan setiap siswanya. Caranya, makan bersama. Setiap datang ke sekolah wanita kelahiran Semarang tersebut selalu bawa bahan makan. Hari ini saja, mereka membawa kacang hijau, ayam, dan daging.
âPer harinya bisa habis Rp 1 juta. Itu dari deposito tadi. Habis mau diapakan uangnya. Mau habiskan belanja di mal terus?,â ujar Rian yang juga sarjana psikologi anak dari Universitas Airlangga tersebut. Keduanya mengaku tidak ada pamrih apapun mengelola dan menjalankan kegiatan sosialnya. Bagi mereka, bias memberikan ilmu dan sebagian rezeki kepada orang miskin jauh lebih menyenangkan disbanding kegiatan apapun di dunia ini. (*/Radar Tarakan)
Another articles:
* Kiprah Bisnis Pendidikan Cucu Ki Hajar Dewantoro (2012-08-03) * Arief Budi Witarto, Insinyur yang Merambah Dunia Migas (2012-07-16) * Menghabiskan Masa Pensiun dengan Mengajar (2012-07-03) * Priyanto, Memandirikan Siswa Miskin (2012-06-25) * Meski Sukses Jadi Peneliti di Malaysia, Tak Lupa Tanah Air (2012-06-08)