Harianto Albarr, Sang Pelita dari Ampiri
Harianto Albarr, Sang Pelita dari Ampiri
Harianto Albarr, Sang Pelita dari Ampiri
Rabu, 17 April 2013 13:10
Pantang menyerah, sepertinya menjadi sebuah kiasan yang cukup menggambarkan tekad seorang Harianto Albarr. Pemuda yang akrab disapa Anto ini memiliki tekad mulia, menerangi desa tanah kelahirannya. Desa tempat Anto berada berpenduduk kurang lebih 1.500 orang, terletak di lereng bukit Coppo Tile, utara Makassar.
Tidak mudah untuk mencapai desa yang di kelilingi perbukitan batu gersang ini. Dibutuhkan waktu empat jam perjalanan darat menuju ke arah utara Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Setelah itu dilanjutkan dengan menumpangi angkot selama satu jam menyusuri jalan yang kadang aspal kadang berbatu di tepian jurang. Desa itu bernama Ampiri, yang dikategorikan sebagai desa terpencil, karena keberadaannya tidak bisa ditemukan di dalam peta.
Orangtua Harianto sudah menetap di Ampiri selama 30 tahun dan selama itu juga mereka tidak pernah merasakan terangnya lampu. âAnak-anak tidak pernah belajar di malam hari karena tidak ada penerangan,â jelas Anto.
Sebagian besar warga desa tidak mampu membeli lampu petromaks. Melihat keadaan tersebut selama bertahun-tahun, mahasiswa Fakultas Kimia Universitas Negeri Makassar ini kemudian tergerak untuk berbuat sesuatu untuk tanah kelahirannya. Ia mencetuskan ide untuk membuat kincir air pembangkit listrik pada 2008. Anto memiliki misi untuk menjadikan Ampiri terang dengan biaya yang murah dan Mandiri.
Ide yang dicetuskan Anto ternyata disambut baik oleh warga Ampiri. Ia tidak hanya merancang bentuk tapi juga melakukan survei dan sebagainya. âSungai yang mengairi sawah di desa kami berdebit air tinggi. Di musim kemarau airnya memang menyusut, tapi tidak pernah kering,â ujar Anto.
Kebiasaan warga desa untuk bergotong royong memudahkan rencana ini untuk diwujudkan. Mereka bersama-sama membendung sungai, menebang pohon aren untuk dijadikan pipa yang mengalirkan air menuju generator bekas milik Pemda, untuk menggerakkan turbin yang terbuat dari kayu yang dipahat. Derasnya air mampu menghasilkan listrik berkekuatan 3 Kwh, ini cukup membuat indikator lampu menyala, hingga semangat warga desa pun melambung.
Walaupun instalasi pertama yang masih sangat sederhana ini belum membuat lampu warga menyala, mereka sudah mulai sadar bahwa kincir angin ini bermanfaat dan membutuhkan tenaga lebih besar agar listrik bisa mengalir ke rumah-rumah. Pembangunan instalasi kedua pun harus menunggu, karena minimnya dana yang dimiliki oleh warga. Dari keterangan yang diperoleh melalui kepala desa, pendapatan rata-rata penduduk hanya Rp 500 ribu per bulan yang diperoleh dari hasil bertani padi dan kacang tanah di sawah tadah hujan.
Kendala lain pun muncul, turbin kayu yang mereka gunakan rusak, sehingga harus diganti dengan turbin yang terbuat dari besi sambil mengganti generator menjadi 5 Kwh. Tiga bulan kemudian, mereka berhasil membeli generator yang mampu menghasilkan listrik 10 Kwh dengan total biaya sebesar Rp 6 juta hasil urunan beberapa warga. Akhirnya, instalasi kedua berhasil berdiri pada 2009. Aliran airnya sangat deras dan bening. rumah-rumah dan masjid di Ampiri pun terang.
Melihat hasil ini, warga pun dengan sukarela mengeluarkan dana sebesar Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per bulan sebagai iuran untuk biaya perawatan. Tidak cuma itu, warga juga mengatur jadwal pemeliharaan dan perawatannya.
Pembuatan kincir air ini sebenarnya dimaksudkan Anto untuk mengubah pola pikir masyarakat dalam arti yang sebenarnya. Tidak hanya ingin menjadi pencetus terang desa saja, tetapi lebih dalam lagi. Ia menginginkan masyarakat dapat melaksanakan aktivitasnya sehari-hari menggunakan alat-alat yang sudah maju yang dapat digerakkan oleh listrik.
Kehadiran listrik membuat kondisi sosial warga Ampiri membaik. Anak-anak sudah bisa belajar di malam hari, warga mampu membeli lemari es yang dimanfaatkan untuk membuat es dan menjualnya, wawasan mereka bertambah karena sudah bisa menonton televisi dan mendengarkan radio, bahkan beberapa di antara warga sudah bisa memasak nasi menggunakan rice cooker, seperti masyarakat di kota besar pada umumnya. Tidak hanya itu, semangat kerja petani pun semakin tinggi. Permintaan listrik dari warga pun meningkat, hingga instalasi ketiga yang berkapasitas 10 Kwh dan instalasi keempat berkapasitas 20 Kwh dibangun.
Melihat perubahan positif ini, desa-desa lain di sekitar Ampiri akhirnya juga berminat untuk merasakan hal yang sama. Saat ini, kincir air pembangkit listrik milik Anto sudah ada tujuh buah dan tersebar di tiga desa, empat di Desa Ampiri, satu di Desa Amerun dan dua di Desa Tampung. Anto merasakan sebuah kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, melihat impian, gagasan dan kerja kerasnya bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya.
âSebenarnya Ampiri hanya perlu satu instalasi berkekuatan 50 Kwh untuk mengaliri listrik ke semua rumah warga, namun biaya pembuatannya cukup mahal, sekitar Rp 100 juta,â ungkap Anto. Tapi ia tidak putus asa, Anto bertekad untuk mewujudkan ini. Atas pencapaiannya tersebut, Anto menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2012. (as/img:satu-indonesia.com)
* Irma Suryati: Entrepreneur “Keset” Berprestasi dari Kebumen (2013-03-18) * Endro Purwanto: Mantan Jurnalis yang Sukses Berwirausaha Kuliner (2013-02-28) * Social Entrepreneurship ala Saptuari (2013-02-22) * Titik Winarti, Sang Pemberdaya Penyandang Cacat (2013-01-31) * Jatuh Bangun Bambang Krista, Bos Ayam Kampung Super (2013-01-28)