(Oleh : Muhammad Mu’alimin, Ketua Umum HMI Komisariat Universitas Al Azhar Indonesia)
Sebagai anak emas sejarah dalam dunia gerakan kemahasiswaan, HMI dapat dikatakan fenomena unik sekaligus langka. Ke-khasan tersebut dicirikan dengan dinamika pasang – surut eksistensi peran HMI. Entah ini bagian dari hukum seleksi alam yang tak bisa dilawan atau sejatinya karena kualitas SDM HMI itu sendiri yang menyebabkan organisasi ini kini ‘’mandul’’ melahirkan tokoh.
Barangkali yang tidak dijumpai diorganisasi mahasiswa lain ialah HMI ‘’pernah’’ menjadi aktor sejarah sebagai penggerak demonstrasi mahasiswa angkatan ‘’66’’ dan garda pemuda terdepan dalam ikut serta penumpasan PKI. Sebagai organisasi yang sudah mencicipi asam – garam kehidupan, mulai dari menjadi sasaran penghancuran PKI hingga ancaman pembubaran rezim orde lama. HMI hari ini terancam ‘’lumpuh’’ karena mandeknya semangat revivalisme intelektual kadernya.
Fakta sejarah membuktikan, gemblengan dinamika selama masa orde lama – orde baru terbukti mampu melahirkan tokoh nasional dan pemikir yang tidak diragukan lagi perannya bagi arah pembangunan bangsa. Sebut saja Cak Nur, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Anis Baswedan dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu – satu. Realitanya HMI pernah mencetak kader terbaik yang berperan besar membentuk sejarah bagi Indonesia dan fakta tersebut yang tidak terbantahkan. Bahwa HMI adalah ‘’pabrik dan produsen’’ yang mencetak banyak pemikir sekaligus pemimpin bangsa Indonesia.
Gambaran prestasi diatas, jika dibandingkan dengan kondisi saat ini tentu berbeda. Meskipun dalam beberapa hal ada keunggulan secara personal, namun secara umum, kondisi HMI saat ini banyak mengalami degradasi kualitas maupun kuantitas anggotanya sebagai kader umat dan bangsa.
Fakta ‘’menjijikkan’’ tersebut jika diformulasikan dapat dibagi menjadi empat faktor / kenyataan pahit, antara lain:
Pertama, dengan adanya kebijakan liberalisasi dan pembangunan ekonomi yang pesat di Indonesia, lahir suatu kondisi dimana barang – barang industri dan jasa semakin melimpah, termasuk perangkat alat telekomunikasi yang didalamnya terdapat banyak hiburan dan sebagainya. Dari kondisi diatas menimbukan suatu pola kehidupan digital dan net citizen, yang disamping memudahkan akses informasi, hal itu juga mengubah pola hidup masyarakat menjadi manja dan malas, termasuk mahasiswa itu sendiri.
Kedua, entah ini suatu tanda – tanah kemunduran atau tidak. Kader HMI hari ini banyak sekali yang sudah kehilangan marwah idealismenya. Banyak dari mereka yang sudah terjangkiti virus pragmatisme, realistisme akut. Perjuangan pamrih sudah menyelimuti kepala mereka. Akhirnya banyak sekali kader aktif yang ‘’terbius’’ dan menghamba pada kecenderungan politik praktis ketimbang mempertahankan status independensi atau pengabdian terhadap organisasinya.
Ketiga, beberapa orang atau bahkan banyak orang yang saya jumpai, mereka masuk HMI hanya sebagai jalan menuju atau meraih kepentingan pribadi, bukan pengabdian pada umat. Mulai dari urusan asmara, finansial, hingga cuma mengejar status bangga – bangaan menjadi aktivis semata.
Dari motif personal tersebut nyatanya sama sekali tidak melahirkan kader yang militan. Sehingga beberapa program kerja dan kegiatan organisasi menjadi terhambat, berjalan tidk maksimal atau bahkan gagal sama sekali. Itu semua disebabkan karena ‘’racun’’ ketidak-konsistensi dan semangat juang yang menyala – nyala dari motif kader yang seperti itu.
Keempat, hari ini sangat susah sekali merekrut orang untuk masuk HMI. Banyak alasan yang seringkali muncul. Mahasiswa hari ini cenderung malas, terlalu hobi mencari kesenangan pribadi, hingga ‘’mabuk’’ dimanjakan oleh fasilitas dan hingar – bingar kehidupan matrealistis. Faktor – faktor itu membuat mahasiswa enggan dan merasa akan membosankan jika gabung HMI.
Parahnya, kecenderungan tersebut tidak hanya dialami oleh orang yang belum masuk HMI. Banyak diantara anggota HMI yang sudah bertahun – tahun dikader malah ikut – ikutan terbelenggu oleh hedonisme dan tidak punya semangat ‘’daya tonjok intelektual’’. Padahal kondisi bangsa saat ini, sedang mengalami ‘’kesekaratan’’ Kurs Rupiah dan terserang ‘’tumor’’ inflasi mematikan yang berusaha meremukkan perekonomian nasional. Kondisi tersebut membuat daya pergerakan HMI menjadi terseok – seok dan cenderung tidak punya ‘’harga diri’’ sebagai organisasi mahasiswa yang pernah mencatatkan dirinya dengan tinta emas sejarah.
Kesimpulan dari kegelisahan diatas adalah bagaimana kader hari ini wajib mampu membentuk generasi yang benar – benar ingin berproses di HMI. Perjuangan HMI hari ini sungguh sangat berat. Penggalakan training – training kepemimpinan harus terus ‘’dikampanyekan’’. Indonesia butuh ‘’pabrik’’ pemimpin sekelas HMI dimasa lampau.
Jusuf Kalla, Anis Baswedan, Akbar Tandjung dan Fadli Zon bakal meninggal. Ketika itu tiba siapa ‘’nahkoda’’ kapal Indonesia ini? Itu pertanyaan untuk kau mahasiswa yang ‘’diperbudak’’ rutinitas perkuliahan dan ‘’berburu’’ nilai IPK.
Leave a Reply