Â
Pramoedya Ananta toer, anak sulung bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah. Ayahnya yang lahir pada 5 Januari 1896[1] berasal dari kalangan yang dekat dengan agama Islam, seperti misalnya jelas dari nama orang tuanya, Imam Badjoeri dan Sabariyah. Ayah Mastoer menjadi naib di sebuah desa di Kediri: mula-mula di Plosoklaten, Pare, kemudian di Ngadiluwih.[2]
Sedangkan ibunya adalah anak penghulu Rembang yang lahir pada tahun 1907 [3] dari selirnya, setelah melahirkan anak, selirnya itu diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Anak selir itu bernama, Oemi Saidah, diasuh dalam keluarga Haji Ibrahim dan Hazizah. Saidah lulus HIS pada 1922, namun tidak mendapat izin melanjutkan studi ke Van Deventersscholl (sekolah kerajinan untuk gadis) di Semarang seperti yang diharapkannya, sebab sudah bertunangan dengan guru Toer yang tidak bersedia menunda perkawinan pak Toer yang umurnya baru 15 tahun.[4]
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, jawa tengah 6 Februari 1925[5]. Pram begitu mencintai ibunya, menurut Pram ibunya dianggap sebagai “wanita satu-satunya di dunia ini yang kucintai dengan tulus, dikemudian hari menjadi ukuran Pram dalam menilai setiap wanita’ dan yang tidak kalah penting Pram juga mencintai neneknya, ibu kandung ibunya. Maka tidak heran jika banyak sekali dalam novel-novel Pram menampilkan tokoh perempuan.
Walaupun ayahnya menolak untuk menyekolahkan Pram, tetapi Pram masih sempat belajar kejuruan radio di Surabaya, berkat usaha ibunya yang mulai berdagang padi dan lain-lain. Namun pada hari ujian akhir terdengar kabar yang mengejutkan, pesawat terbang jepang menyerang pelabuhan Pearl Harbour, dengan demikian Perang Dunia II juga mulai berkobar di daerah Asia Timur dan Lautan Pasifik[6].
Pada 2 Maret 1942 tentara Jepang yang mendarat di pantai utara Jawa telah mencapai Blora. Tentara Belanda melarikan diri tanpa perlawanan. Pada awalnya tentara Jepang disambut dengan meriah oleh penduduk setempat. Karena pemerintahan Belanda tiba-tiba menghilang, terjadi semacam anarki, took-toko Cina dirampas dan serdadu Jepang ikut mencuri barang-barang penduduk, dan melampiaskan hawa nafsunya. Namun dalam waktu beberapa hari tentara Jepang mengembalikan ketertiban umum dengan keras[7].
Pada awal penjajahan Jepang, Pak Toer dan keluarganya ditimpa musibah Ibu Oemi Saidah yang lama mengidap penyakit TBC sejak beberapa bulan semakin parah dan meninggal pada 3 Juni 1942.Satu hari kemudian disusul oleh anak bungsunya, Soesanti, yang baru berumur tujuh bulan. Pada saat peristiwa tersebut Pram tidak berada di Blora. Kematian ibunya bagi Pram merupakan kehilangan yang paling menyedihkan[8].
Pengalaman dengan orang disekitarnya pada waktu ibunya meninggal dan hal-hal yang terjadi sesudahnya menjadikan Pram kehilangan kepercayaan pada sesama manusia, dan Pram merasa tidak betah lagi di Blora. Pada saat ziarah ke kuburan ibunya, Pram pamit kepada almarhumah ibunya dan Pram berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Â
[1] A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Cet-1 (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya)., hlm. 4.
[2] Ibid..
[3] Ibid. hlm. 5.
[4] Ibid
[5] Wawasan,19 September 2004, hlm.16.
[6] Rudolf Mrazek, Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru ( Yogyakarta: Cermin, 2000), hlm. 4.
[7] A. Teeuw, Op. Cit. hlm. 15 .
[8] Suara Merdeka, 18 Juli 2004. hlm 23.