Pada akhir tahun 1980[1], Pram melahirkan karya awal dari rangkaian novel Tetralogi. Yaitu novel Bumi Manusia, yang pada saat itu Pram baru satu tahun keluar dari penjara di pulau buru. Sebenarnya ide menulis novel Tetralogi, sudah ada pada awal tahun 1960[2], tetapi baru diedarkan di masyarakat pada tahun 1980.
Kenapa novel tersebut perlu dibuat, karena Pram melihat pengajaran sekolah semata tidak cukup untuk membudayakan kecintaan bangsa pada sejarah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Dan Pram juga beranggapan semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik itu melalui pembicaraan, pidato, nyanyian atau pun deklamasi ini tinggal slogan tanpa isi, tidak edukatif, dan juga tidak jujur.[3]
Untuk menyelamatkan novel Tetralogi, karena Pram menulis novel tersebut ketika masih di dalam penjara. Pram dibantu oleh sahabatnya yang bernama Prof. Mr. G.J. Resink, biasa di panggil Pram dengan “ Han”.[4] Karena Resink, yang juga menyelamatkan naskah Perburuan dan Keluarga gerilja. Resink, menyelundupkan naskah novel itu keluar penjara, demikian pula yang terjadi pada novel Tetralogi.[5]
Dalam pembukaan buku Bumi Manusia, Pram melegendakan nama sahabatnya tersebut. “Han, memang bukan sesuatu yang baru. Jalan setapak ini memang sudah sering ditempuh, hanya yang sekarang perjalanan pematokan.” Terasa sekali bahwa Pram merasa sangat berhutang budi, pada sahabatnya tersebut.
Novel Tetralogi tersebut terdiri dari empat jilid, jilid yang pertama berjudul Bumi Manusia, Anak semua bangsa, Jejak langkah, kemudian Rumah Kaca. Setiap jilid tersebut saling berkait satu sama lain. Empat novel tersebut, kira-kira berkisar sejumlah 1600 halaman. Makanya diperlukan pemisahan-pemisahan, sehingga pembaca tidak akan jenuh.
Tokoh protagonis dalam novel tersebut bernama Minke, namun sebenarnya tokoh Minke tersebut adalah perwujudan dari Tirto Adhi Suryo, nasionalis angkatan pertama, yang sampai waktu itu kurang mendapat perhatian dalam penulisan sejarah nasional[6], Tirtoadhisoerjo telah jadi wartawan pada usia 21 tahun, dan dia adalah wartawan pertama kali di Indonesia.
Minke, adalah anak priyayi tinggi. Pada masa riwayat ini berlangsung menjadi aggota keluarga semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di tanah jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan rangkap system: pertama, bersikap sesuai dengan hukum-hukum kebudyaan priyayi dan kedua, tunduk pada kemauan penguasa kolonial yang memanfaatkan golongan priyayi Jawa untuk mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya dengan kekuatan fisik yang minimal. Atas dasar tersebut anak priyayi di perbolehkan masuk sekolak terbaik yang dimiliki kolonial.
Proses belajar Minke berlangsung cukup lama, berliku dan berbelit-belit. Minke sekolah ditengah-tengah orang Belanda, yang selalu bersikap rasialis. Namun dari sekolah tersebut Minke mempelajari ilmu pengetahuan Eropa, dan Minke terkagum-kagum. Tapi pada akhirnya Minke kecewa terhadap ilmu pengetahuan tersebut, terutama pada sistem hukum kolonial yang secara tragis merenggut istrinya. Pada waktu tersebut, Minke juga bertemu dengan guru bahasa Belanda yang termasuk aliran etis[7]. Dari sana minke sadar bahwa ada jurang tersebut bersifat rasial.
Semenjak awal Minke sendiri sudah mempertanyakan nasibnya sebagai golongan pribumi yang selalu dilecehkan. Sebagai contoh, antara kelahiran Minke dengan Sri ratu Wilhelmina mempunyai tanggal, bulan, serta tahun kelahiran yang sama, 31 Agustus 1880. perbedaannya hanyalah pada jam dan kelamin saja. Kalau berdasarkan perhitungan astrologi (perbintangan), jelas keduanya mempunyai nasib yang sama.[8]
Tetapi apa yang terjadi yang satu menjadi ratu sementara yang lain menjadi kawulanya. Dengan realitas social semacam ini, Minke pun sependapat dengan apa yang di katakan gurunya, Juffrouw Magda Peters yang merujuk pendapat Thomas Aquinas, bahwa astrologi tidak lebih sebagai lelucon belaka.
Kesadaran sistem yang timpang bukan saja menimpa pada dirinya, tapi juga pada semua rakyat Indonesia. Apalagi bagi mereka yang secara status sosial tidak memiliki kedudukan, seperti petani. Hal tersebut sangat jelas diceritakan pada novel Anak Semua Bangsa, ketika suatu saat Minke bertemu dengan seorang petani bernama Trunodongso. Yang dipaksa menanam tebu pada tanah milkinya sendiri, dan ketika petani tersebut menolak maka keluarganya diusir dari tanahnya sendiri.
Sementara itu dalam jilid kedua novel terakhir, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Novel tersebut, bercerita tentang lahirnya SDI (Sarikat Dagang Islam), SDI adalah cikal bakal lahirnya SI (Sarekat Islam) di Indonesia. Kelahiran SDI disebabkan pedagang batik yang ada di Sala dan Yogya, untuk menangani perkelahian jalanan yang sering meledak antara kaum Tionghoa dan Jawa.
SI adalah alat untuk melihat kabangkitan Bumiputera awal abad XX. Gerakan SI bertujuan untuk melawan sisten perdagangan kolonial Belanda. serpihan-serpihan keterasingan budaya perlawanan yang bebas masuk ke Hindia Belanda. SI inilah yang pertama kali melancarkan pemboikotan melalui metode kekerasan. Kiat gerakan ini telah membuatnya popular dan mendapat dukungan meluas bahkan hingga di luar kota Surakarta. Kekuatan pengaruh SI ini makin mengagumkan ketika terbit surat kabar yang bernama Oetoesan Hindia, sebagaimana Indische Party punya De Express. ISDV itu, berawal dari klub debat sosialis belanda yang didirikan oleh Henk Sneevlit tahun 1915, berorientasi pada peningkatan kualitas bumiputera dan pengoorganisiran kekuatan rakyat untuk melawan pres yang ada di Hindia Belanda.
Meski pada akhir cerita tokoh Minke tersebut akhirnya kalah, dan harus dipenjara oleh pemerintah yang berkuasa.
Gambaran pada novel Bumi Manusia, novel pertama dari tetralogi. Di dalam novel tersebut Pram mencoba memotret kekaguman orang-orang jawa yang sangat terpesona pada kemajuan ilmu pengetahuan yang baru dilihatnya. Meski tidak semua orang Jawa kagum akan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut, karena kemajuan tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua orang Jawa. Karena yang bisa menikmati fasilitas tersebut adalah para priyayi, sebab untuk menikmati hal tersebut harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit. Dalam novel ini Minke juga bertemu dengan seorang Nyai yang bernama Ontosoroh, Nyai tersebut sangat kaya dan cerdas. Sehingga Nyai tersebut mampu mengasai tuannya, Nyai itu juga yang memberikan pengajran tentang revolusi Perancis yang membuka mata Minke melihat system feodal.
Namun dalam novel tersebut bukan hanya sebentuk kekaguman saja, tapi juga perjuangan untuk menentang ketidakadilan yang diciptakan sistem kolonialisme. Tetapi, ia pun tidak muncul sama sekali sebagai pemenang yang berhasil menumbangkan ketidak adilan dalam system ini, melainkan justru harus menghadapi kenyataan pahit: kalah dengan ditandai direbutnya Annelis dari sisinya. Novel ini ditutup dengan nada yang sangat pahit: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Justru dari akhir cerita yang seperti ini, pembaca dibuat menyadari adanya ketidak adilan dalam system kolonialisme[9].
Dalam novel jilid kedua dengan judul Anak Semua Bangsa, Minke bertemu dengan seorang Cina. Mereka sepasang kekasih, yang ternyata mereka berdua adalah pelarian dari negaranya karena berusaha melawan kaisar. Kedua orang Cina tersebut beraliran sosialis, untuk pertama kali Minke belajar tentang sosialisme. Hal tersebut juga didukung oleh Nyai Ontosoroh, justru Nyai Ontosoroh juga menyuruh Minke untuk menulis kepada media Belanda. Hingga pada akhir cerita jilid kedua ini, Minke diminta untuk mendirikan media sendiri yang berbahasa melayu. Sebab bahasa tersebut dapat di baca oleh setiap orang pribumi, sehingga lebih merakyat. Maka lahirlah media yang bernama Medan.[10]
Dalam jilid ketiga yang berjudul Jejak Langkah, Minke mulai aktif menulis. Novel ini juga menggambarkan lahirnya organisasi-organisasi besar, yang mempengaruhi perjalanan perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Seperti Boedi Oetomo, Serikat Dagang Indonesia, Serikat Islam dan masih banyak lagi. Hingga perjuangan-perjuangan organisasi-organisasi tersebut dan latar belakang lahirnya organisasi.
Hingga pada jilid keempat yang berjudul Rumah Kaca, di sini Minke mulai sadar bahwa alat perjuangan yang paling ampuh adalah jurnalistik, tetapi pada saat bersamaan gerak Minke mulai diawasi oleh Belanda begitu juga dengan organisasi-organisasi yang ada. Jadi Pram menggambarkan orang Indonesia pada saat itu seperti dalam kotak kaca, yang tiap gerak-geriknya diawasi oleh Belanda.
[1] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 13.
[2] Ibid, hlm. 15.
[3] Ibid…
[4] Eka Kurniawan, op. cit. hlm. 37.
[5] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 146.
[6] A. Teeuw, Op. Cit. hlm. 230.
[7] Ibid,. hlm. 232.
[8] Suara Merdeka, Op. Cit. hlm. 18.
[9] Pramoedya Ananta Toer, Op Cit, hlm. 405.
[10] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Yogyakarta: Hasta Mitra 2002), hlm. 290.