Sebuah pesan masuk ke ponsel saya, Fenomena Ramadhan di Indonesia: 10 hari pertama masjid penuh; 10 hari kedua mal penuh; 10 hari ketiga stasiun penuh; 10 hari setelah syawal, pegadaian penuh !! Di luar konteks seperti itu, demikianlah realitas yang lazim tertangkap di negeri bernama Indonesia. Sebagai seorang yang senantiasa melakukan proses berpikir, kita tidak harus lantas kebakaran jenggot untuk menanggapinya.
Fenomena 10 hari terakhir Ramadhan, misalnya, memang benar-benar terjadi. Dan, ketika kita telisik kebiasaan tersebut, banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Untuk dapat mudik ke kampung halaman, banyak orang meniadakan kesulitan yang menghadangnya. Mereka berusaha mengayakan dirinya secara finansial, berusaha seoptimal mungkin untuk memiliki dan membawa pulang yang sebelumnya tidak dimiliki mulai dari sekadar baju baru, perhiasan, sampai mobil baru.
Pada 10 hari ketiga Ramadhan segala persiapan mendapatkan perhatian detail, dari yang nonteknis seperti surat permohonan cuti panjang sampai dengan hal yang bersifat teknis seperti bagasi berbahan bambu yang disimpan di belakang motor. Semuanya dilakukan dengan antusias, bahagia demi menyongsong kemenangan. Dalam sebuah kultum sederhana bakda Zhuhur beberapa hari yang lalu, terlontar seuntai kalimat yang menggugah rohani saya.
Setelah kita berhasil memenuhi kebutuhan dengan bekerja keras, berjuang untuk keluarga bertempat tinggal, berkorban habis-habisan demi pendidikan anak, dan berapa banyak waktu yang kita gunakan untuk memperjuangkan agar kita bisa mendapatkan surganya Allah yang dijamin kebenarannya?
Sudah semestinya sebagai hamba yang baik, kita mengabdikan diri kepada Allah dengan perasaan sukacita dan bahagia di hari-hari terakhir Ramadhan kita, mengayakan diri dengan Alquran dan apa-apa yang terkandung di dalamnya.
Memperhatikan kembali secara detail tentang penciptaan diri kita dan apa yang Allah sudah berikan sebagai fitrah kepada kita dan apa yang kelak kita dapat berikan dari fitrah itu untuk senantiasa menyucikannya?
Bukankah sudah merupakan kewajiban bagi kita, penciptaan Allah atas diri kita dalam sebaik-baiknya bentuk (fii ahsani taq -wiim), dapat kita zakatkan demi terpancarnya Islam sebagai rahmatan lil’alamiin? Sehingga, setelah berakhirnya Ramadhan, kita mendapati jiwa kita sebagai jiwa-jiwa yang baru, yang merasakan bagaimana sensasi kemenangan sejati. Yang bukan menggadaikan materi demi kemenangan sementara, tapi berani dan berlatih menggadaikan dirinya kepada Zat yang Mahakekal.