Sewaktu SMU, saya mempunyai salah satu guru favorit. Bu Ery namanya. Beliau mengajar Biologi di kelas 2 (sekarang disebut kelas XI). Selain karena expert (mampu menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan seputar materi pelajaran), beliau juga termasuk guru yang cukup tegas dalam bersikap. Saya masih ingat betul ketika Bu Ery berbagi cerita, “Saya pernah menjadi pengawas di ruang ujian, yang di dalamnya terdapat seorang siswa bertindak mencurigakan. Ketika saya memergoki dia membaca buku contekan dan akan menyalinnya ke lembar jawaban, bukunya langsung saya ambil. Si siswa protes karena dia merasa tidak pernah menyontek. Tetapi, bukankah sikap siswa tsb menunjukkan bahwa ia sebenarnya SUDAH PUNYA NIAT hendak menyontek? Jika tidak kepergok, tentu niatnya untuk menyontek akan kesampaian.”
>> Manusia memang bisa saja berkelit, mencari 1001 alasan untuk membela diri.
#2
Beberapa semester terakhir, di setiap pertemuan perdana perkuliahan, saya selalu menyampaikan tentang tata cara saya memberi penilaian terhadap kinerja mahasiswa. Salah satunya adalah penghargaan terhadap proses (lewat partisipasi di kelas), dan salah duanya berupa ancaman pemberian nilai E jika ada mahasiswa yang mencoba berbuat curang ketika ujian, baik UTS maupun UAS. Ancaman tersebut biasanya saya ulangi lagi ketika hendak ujian. Tetapi qodarullah, ternyata masih ada juga mahasiswa bandel yang mencoba peruntungan dengan ancaman tersebut.
Semester kemarin, saya benar-benar lupa menyampaikan ancaman tersebut; asumsi saya saat itu adalah mahasiswa sudah hafal dengan tipikal penilaian saya. Ternyata, asumsi saya meleset. Hampir separuh kelas berada di daftar “special students” karena lembar jawabannya mencurigakan. Tanpa basa-basi, nilai E pun saya keluarkan. Beberapa mahasiswa protes dan saya layani; tapi mereka terdiam setelah saya sodorkan lembar jawabannya. Bukannya saya tidak punya hati karena tidak kasihan dengan nilai tersebut, tetapi justru saya masih punya hati dengan menegur mereka: tindakan curang ya tetap curang, apapun alasannya. Jika saya berdiam diri terhadap kecurangan mereka, berarti saya mengamini tindakannya. Jika saya mengamini, berarti UUD (Ujung-Ujungnya Dosa).
Tidak ingin kecolongan, di semester ini saya menyampaikan dua kali nasihat persuasif preventif (bahwa curang adalah mendzalimi pelaku, teman, dan juga saya sebagai dosen), walhamdulillah hasilnya sangat bagus: dari 258 mahasiswa, jumlah pelaku kecurangan UTS tidak sampai 10 orang. Mengoreksi ujian Algoritma dan Pemrograman memang relatif lebih mudah; dengan berbekal pengalaman dan sedikit ketajaman naluri, lembaran-lembaran yang “aneh” pun langsung diisolasi. Dan yang sangat mengejutkan, alhamdulillah beberapa pelaku rela menerima nilai dini: E. Dan tentu, sebagai dosen yang masih punya hati, selain menegaskan konsistensi, saya juga memotivasi mereka agar memperbaiki di kelas remedial, sembari menyarankan mereka tetap masuk di kelas saya seperti biasa jika benar-benar ingin mendapat ilmu. Saya tidak pernah bermaksud mempermalukan mereka atau mengusirnya dari kelas, karena saya yakin bahwa mereka bisa berubah menjadi lebih baik. Alhamdulillah, hingga saat ini situasi berjalan normal, seolah tak terjadi apa-apa.
>> “Sesungguhnya setiap bani Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik manusia adalah yang bertaubat dari kesalahannya. “(H.R. Bukhari)
#3
Pada tahun ini, unit kerja yang saya pimpin mengadakan kegiatan sosial. Oleh karena dananya terbatas, hadiah pun tidak bisa dibagikan ke semua peminat sehingga dibuat aturan prioritas yang disosialisasikan di pamflet kegiatan. Seluruh hadiah sengaja diperuntukkan bagi peserta, bukan untuk panitia atau pengelola unit. Alhamdulillah, banyak yang berminat memperoleh hadiah dari kami. Dan setelah ditilik, 75% anggota golongan prioritas ternyata bukan berasal dari kalangan internal. Tetapi setelah ditelusuri, saya tidak menemukan kecurangan dalam penyebaran pamflet; sehingga KOMPETISI memperebutkan kursi prioritas pun saya rasa cukup adil, alias FAIR COMPETITION.
Menjelang hari H pelaksanaan acara, beberapa pihak memberi saran kepada saya (dengan beragam argumen) agar porsi kalangan internal yang mendapat hadiah dinaikkan menjadi 50%. Tegas saya jawab, “Tidak!”. Hmm… begini rasanya atasan mendapat godaan. Jika dipikir-pikir, saya CUKUP BILANG “YA”, dan kursi prioritas pun berganti penumpang. Dengan ini, pihak internal tentu akan senang. Kalangan eksternal toh tidak akan pernah tahu bahwa saya telah berbuat curang. Tetapi… merinding bulu kuduk saya membayangkan satu ucapan persetujuan yang pasti berakibat fatal: rantai tindakan curang ini akan menimbulkan kedzaliman terhadap pemilik sah dan ketidakberkahan bagi pemilik yang tidak sah. Dan meski tidak ada orang yang tahu, tetapi Allah MAHA TAHU dan akan mencatat serta meminta pertanggungjawaban saya kelak di hari Akhir. Astaghfirullah…astaghfirullah… betapa menakutkannya menjadi pemimpin, apalagi di tengah kebiasaan orang-orang zaman sekarang yang hampir lupa akan indahnya kejujuran.
>> Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan & sesungguhnya kebaikan itu menghantarkan ke Surga… ” (H.R. Bukhari)
Saya bukan hamba yang tak pernah salah. Tapi izinkanlah saya memberi nasihat:
Ingatlah wahai saudara-saudaraku…
Hidup ini cuma sebentar, sungguh hanya sebentar…
Marilah kita takut hanya kepada Allah saja,
tak perlu risau dengan rayuan,
tak perlu resah karena omongan orang,
karena kelak kita pasti akan ditanya oleh Sang Pencipta
Author: nnur