Dua hari menjelang hari raya ‘Iedul Fitri 1429H, saya memutuskan tidak memasak untuk berbuka puasa, tapi membeli makanan jadi (bukan “makan di luar”, tapi “mbungkus” :). Kebetulan suami sedang ada undangan berbuka puasa dari teman, jadilah saya meluncur ke warung makan favorit saya dulu. Ya, saya mengenal warung tsb ketika awal-awal saya pindah ke Jogja (itupun belinya ga mesti setiap bulan Dan bila dihitung2, sekarang sudah hampir 3 tahun saya tidak ke sana. Saya sempat ragu apakah warung tsb sudah pindah atau belum, karena lingkungan sekitar dan hampir semua ruko kecil di sekitarnya telah berganti pemilik. Tapi, qodarullah… ternyata warungnya belum pindah dan si bapak pemilik warung juga masih mengenali saya. Dan untungnya lagi, sore itu ternyata merupakan sore terakhir sebelum warungnya libur Lebaran. Duh, saya jadi terharu… beliau mengingat saya dengan hati, beda dengan aplikasi CRM yang perlu merekam data&pola customer dengan database…
Saya jadi teringat dengan kunjungan mantan teman kos di Surabaya dulu. Awal Romadhon kemarin, datanglah sebuah SMS bahwa ia sedang studi lanjut di Jogja dan ingin bertemu saya. Saya masih ingat betul teman yang satu ini; penampilannya mirip artis Amrik yang dulu pernah populer. Kami pernah tinggal sekamar; dan meskipun ia berasal dari keluarga yang sangat tajir, kami juga pernah hidup senasib sependeritaan (mbayar uang kos sih ga pernah telat, tapi kami pernah lho makan Indomie sepiring berdua hehehe). Nah, sewaktu kemarin ia silaturrahim ke rumah, kami berdua sangat terharu sekali.. dah 5 tahun lebih kami tidak pernah bertemu.
#2
Akhir bulan lalu, saya memberikan hadiah kepada beberapa mahasiswa. Idenya sih berawal dari sebuah buku bagus. Nggak tanggung-tanggung, hadiahnya berupa barang impor, sehingga harganya lumayanlah. Dan sewaktu saya ceritakan “skenario” pemberian hadiah ini kepada salah seorang rekan dosen, ia pun menanggapi, “apa hadiahnya sengaja dipilih seperti itu agar selalu diingat mahasiswa?” Saya pun langsung menimpali, “Enggak koq! Di buku itu diceritakan bahwa seorang guru memberikan hadiah yang sama; hanyasaja, karena kebetulan saya ingin memberikan yang terbaik, dan pas lagi ada duit, jadilah saya pesan barang bermerk tsb meski memang agak mahal”.
Setelah kembali ke ruangan, saya coba bertanya ke lubuk hati terdalam, “Apa memang sempat terlintas bahwa hadiah tsb saya tujukan agar mahasiswa mengingat saya, mengingat benda tsb bukan termasuk BHP (bahan habis pakai)?” Saya coba trace, dan ternyata saya memang tidak pernah berniat demikian; terserah mereka mau pakai sendiri atau dikasihkan teman, mau ingat saya atau tidak, i don’t care; saya hanya sekadar memberi hadiah dan berharap mereka tidak membuangnya; selain harganya lumayan, proses pemesanan dan pembuatannya juga butuh waktu.
Saya berusaha selalu sadar bahwa hidup di dunia ini cuma sebentar. I’m nobody; saya bukanlah siapa-siapa, sehingga saya merasa tidak perlu menghadirkan diri untuk dikenang seperti halnya yang biasa terjadi pada sesi-sesi foto rekaman kegiatan atau crew, termasuk dalam foto kepengurusan laboratorium bersama para asisten. Saya memiliki gaya kepribadian dan kepemimpinan sendiri (yang baik + yang jelek), dan biarlah semua berlalu seiring berjalannya waktu tanpa perlu ada embel-embel “in memoriam bla bla bla…”
Ya Allah, bersihkanlah hati hamba-Mu yang dhaif ini…
#3
Saat ini, masih ramai orang memperbincangkan tren TI untuk jejaring sosial semisal facebook dan -seperti yang disebut mahasiswa saya-: microblogging layaknya plurk dan twitter (semoga saja saya ga salah sebut istilah :). Dan meski berlabel sebagai dosen TI di universitas swasta ternama di Jogja serta berkali-kali menerima undangan bergabung via email, saya pun masih adem ayem saja menanggapi tren-tren tsb, alias enggak mau ikut-ikutan. Kenapa saya memilih jalur “jadul” kayak gini?
Di kampus S1 saya dahulu, internet disediakan gratis di lab selama 24 jam (zaman dulu, hp ber-WAP dan laptop pun suangatt jarang – yang 2nd Pentium II saja masih 5 juta-an). Jadi, klo mau ngenet, selain di sela-sela jam kuliah, saya bisa saja ’stand by’ di lab dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore menjelang Maghrib. Alhasil, saat itu saya tidak termasuk orang gaptek-lah; bahkan saya kenal Yahoo Messenger (YM), blog, dan friendster lebih duluan dibandingkan teman-teman kampus (karena tahunya dari bos di kantor sewaktu dulu nyambi-nyambi kerja:). Saya juga sempat punya blog tahun 2003, tapi setelah 2-3 bulan saya hapus seluruh artikelnya, karena saya merasa dah mulai kecanduan blog-walking dan terlalu rajin melihat statistik pengunjung blog & isi shoutbox (kayak selebritis online saja). Saya juga sempat diajari teman chat via MIRC (port untuk mirc diblok di kampus karena rakus bandwidth), tapi kemudian saya tinggalkan karena lawan chat kita sering nggak jelas orangnya (kecuali mungkin dah jadi operator kawakan di channel tertentu kali ya); sehingga saya cuma setia chat dengan YM (hingga sekarang). Selanjutnya, ketika wabah friendster “merasuki” kantor, saya pun memperhatikan beberapa rekan kerja mulai antusias menyambutnya sehingga ada saja bahan cerita(&guyonan) yang berawal dari friendster. Meski banyak hal positif yang ditawarkan friendster (terutama: “mencari teman SMU yang dah lama hilang” hehe), saya pun tidak bergeming. Saya tahu betul kelemahan hati ini, dan karena saya bukan keledai, tentu saja saya nggak mau terperosok 2X dalam “candu” tren TI layaknya blog kemarin. Tobat..tobat…segala sesuatu yang berlebihan memang tidak pernah berakhir baik.
Tahun 2008, saya kembali nge-blog setelah mendapat fasilitas hosting dalam negeri alias dari kampus (menghemat devisa lho:). Saya timbang2 blog bisa menjadi sarana sharing ilmu; bahkan salah satu post (yakni tentang KPR syariah) alhamdulillah direspon positif oleh netters. Selain page view cukup lumayan (baru 2 bulan pasang, dah nembus 600), ada saja pertanyaan yang mampir ke saya (jadilah saya bisa menuai pahala karena menjawab hehe). Tapi, untuk facebook (FB), saya koq belum bisa menemukan benefitnya ya:
==> katanya: “hemat waktu karena pengumuman bisa di-broadcast & hemat biaya daripada kirim SMS”
XX Meski saya punya fasilitas internet online 24 jam (kampus, prabayar&pascabayar di rumah), jatah harian saya tetap 24 jam; itu sudah harus dicukup-cukupkan untuk dibagi-bagi dengan keluarga, tetangga, kampus, mahasiswa, dsb. Jika nambah FB, tentulah jatah yang lain harus berkurang; itu belum dihitung jika saya “get addicted”
==> katanya: “bisa nambah banyak teman, nambah popularitas, bla bla”
XX Bagi saya, menambah teman baru memang perlu, tapi mempertahankan pertemanan lama jauh lebih penting. “A friend is about heart, not merely always being connected”
Saya tidak anti jejaring sosial, tapi mungkin suatu saat kelak, klo memang ada manfaat yang benar2 riil & signifikan buat saya sehingga membutuhkan jejaring sosial, bolehlah saya coba
At last, tren TI memang seperti pedang bermata dua: Jika bisa dioptimalkan, tentu akan didapatkan benefit, seperti halnya pengumpulan data alumni via FB yang diinisiasi oleh dosen senior saya. Jikalau tidak, please say no saja! Tren TI juga ibarat tren fesyen; selalu berkembang & berubah; rapat offline menjadi online video-conference dan blog menjadi microblogging; you can either take it or leave it! Disesuaikan kebutuhan & prioritas saja, karena ini toh masalah duniawi, sehingga tak perlulah menjadi trend-setter
Author: nnur