Hari ini adalah “Konferensi Segi Tiga” (KST) jilid II selama saya menjadi guru di sekolah kepunyaan perusahaan pertambangan batu bara yang ada Sangata – Kalimantan Timur. Sudah menjadi kebiasaan di sekolah saya, setiap pembagian rapor ada Konferensi Segi Tiga (KST). Dalam KST ini dihadiri oleh anak didik, kedua orang tua, dan wali kelasnya. Sebagai pemrakarsa kegiatan ini adalah anak didik. Anak didik diminta membuat undangan kepada kedua orang tuanya untuk menghadiri KST untuk mengambil laporan hasil belajarnya di akhir semester, kali ini akhir tahun pembelajaran 2008/2009. Meski tetap dipandu oleh walikelasnya, namun anak didik tetap bersemangat membuat undangan KST kepada orang tuanya. Setiap anak didik kebagian jadwal kapan dan dimana KSTnya?
Beberapa hari sebelumnya saya sudah menyiapkan format undangan yang akan dibuat oleh anak didik saya. Mereka pun sibuk membuat undangan tersebut menghias dan mempercantiknya agar orang tuanya terkesan – mau menghadiri undangan penerimaan rapornya. Satu hal yang saya anggap bahwa undangan KST yang dibuat oleh anak didik ini berhasil jika kedua orang tua mereka berkenan hadir dalam KST- meski tanpa mengesampingkan kesibukan orang tua.
Saya tahu semua orang tua sibuk bekerja, pun demikian dengan orang tua anak didik saya yang semuanya bekerja di perusahaan tambang batu bata – PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC). Apalagi pelaksanaannya bertepatan dengan jam-jam efektif kerja di perusahaan tambang batubara, yakni hari Kamis dan Jum’at. Secara jam kerja di perusahaan tersebut adalah lima hari kerja dari hari Senin sampai dengan Jum’at. Itu yang kerjanya mengikuti jam kerja resmi menurut UU.
Ketenagakerjaan. Namun, ada pula orang tua murid saya yang kerjanya dengan menggunakan sistem shift dengan lama kerja 8 jam. Dalam sehari perusahaan itu mengggunakan 3 shift. 3 dikalikan 8 jadi 24 jam, genap sehari semalam eksploitasi tambang itu tidak berhenti, sungguh pemandangan yang yang membuat saya tergelitik keheran-heranan. Bagaimana nanti kota Sangata pasca tambang batu bara yang menjadi denyut nadi kota tambang itu?
Batu bara di Sangata muncul ke permukaan bumi dan bahkan membentuk bukit-bukit batu bara yang tinggal dipoles sedikit lalu tinggal mengeruk batu baranya. Barangkali dengan menggunakan “aji mumpung” seperti orang Jawa kalau lagi punya kesempatan mereka akan menggunakan dan menghabiskan semuanya tidak tahu apakah besok butuh atau tidak. Yang lebih parah lagi, ada pula orang tua didik saya yang jam kerjanya 12 jam dan hanya menggunakan 2 shift. Artinya bila orang tua anak didik saya berangkat subuh, maka dia akan kembali di petang hari. Pun sebaliknya bila berangkat magrib, maka akan kembali besok pagi harinya.
Untuk model shift yang kedua ini, biasanya orang tua tidak banyak bicara dalam KST, bawaannya ingin cepat selesai, tidak banyak mempertanyakan bagaimana perkembangan anaknya di sekolah atau sekedar menanyakan bagaimana nilai anaknya – yang diinginkannya adalah ingin cepat cepat selesai dan pulang. “Ngantuk, tadi malam masuk shift pak” kata salah seorang dari orang tua anak didik saya sambil “mengucek-ngucekkan” matanya tanda ngantuknya sudah tidak bisa ditahan lagi.
KST jilid II ini Tidaklah sama dengan KST jilid I, saya cenderung agak rileks. Mengingat saya pernah mengalami hal yang sama untuk kali kedua, saya tidak mau mengalami masa-masa menegangkan, masa-masa yang menjenuhkan, dan masa-masa yang sangat melelahkan. Artinya saya harus menggunakan suatu metode/cara agar KST kali ini tidak seperti kejadian pada KST jilid I.
Bila KST jilid I kemarin bertepatan dengan kenaikan kelas secara bertepatan dengan akhir tahun pembelajaran 2007/2008. Dalam KST jilid I semua tegang, anak didik tegang, orang tuanya super tegang, apalagi wali kelasnya tak kalah spaneng – semua tegang dan spaneng. Ibaratnya disenggol sedikit saja sudah teriak “tolong, jangan diganggu!” saking begitu spanengnya atas garapan nilai-nilai yang diberikan oleh guru-guru lain yang kemudian saya masukkan ke dalam ledger penilaian sebelum dimasukkan ke dalam rapor per masing-masing anak didik.
Saking hati-hatinya memasukkan angka demi angka ke dalam rapor (hasil akhir penilaian belajar), mata saya tidak henti-hentinya memelototi angka-angka itu takut bila ada nilai anak yang kurang dari SKM (Standar Ketuntasan Minimal) – nilai minimal yang harus dicapai setiap anak didik pada setiap mata pelajaran. Apabila ada nilai yang kurang dari KKM, maka anak didik saya harus tinggal kelas – tidak naik kelas, yang berarti harus mengulang di kelas yang sama satu tahun lagi.
Dari kesekian banyak orang tua yang hadir, biasanya yang selalu mereka tanyakan adalah bagaimana prestasi akademik anaknya? Ranking berapa anaknya? Meski dalam kurikulum Tingkat Stauan Pendidikan (KTSP) tidak mencantumkan ranking dalam rapor dan bagaimana perilaku anaknya sehari-hari di sekolah? Cuma itu?
Hari ini adalah “Konferensi Segi Tiga” (KST) jilid II selama saya menjadi guru di sekolah kepunyaan perusahaan pertambangan batu bara yang ada Sangata – Kalimantan Timur. Sudah menjadi kebiasaan di sekolah saya, setiap pembagian rapor ada Konferensi Segi Tiga (KST). Dalam KST ini dihadiri oleh anak didik, kedua orang tua, dan wali kelasnya. Sebagai pemrakarsa kegiatan ini adalah anak didik. Anak didik diminta membuat undangan kepada kedua orang tuanya untuk menghadiri KST untuk mengambil laporan hasil belajarnya di akhir semester, kali ini akhir tahun pembelajaran 2008/2009. Meski tetap dipandu oleh walikelasnya, namun anak didik tetap bersemangat membuat undangan KST kepada orang tuanya. Setiap anak didik kebagian jadwal kapan dan dimana KSTnya?
Beberapa hari sebelumnya saya sudah menyiapkan format undangan yang akan dibuat oleh anak didik saya. Mereka pun sibuk membuat undangan tersebut menghias dan mempercantiknya agar orang tuanya terkesan – mau menghadiri undangan penerimaan rapornya. Satu hal yang saya anggap bahwa undangan KST yang dibuat oleh anak didik ini berhasil jika kedua orang tua mereka berkenan hadir dalam KST- meski tanpa mengesampingkan kesibukan orang tua.
Saya tahu semua orang tua sibuk bekerja, pun demikian dengan orang tua anak didik saya yang semuanya bekerja di perusahaan tambang batu bata – PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC). Apalagi pelaksanaannya bertepatan dengan jam-jam efektif kerja di perusahaan tambang batubara, yakni hari Kamis dan Jum’at. Secara jam kerja di perusahaan tersebut adalah lima hari kerja dari hari Senin sampai dengan Jum’at. Itu yang kerjanya mengikuti jam kerja resmi menurut UU. Ketenagakerjaan. Namun, ada pula orang tua murid saya yang kerjanya dengan menggunakan sistem shift dengan lama kerja 8 jam. Dalam sehari perusahaan itu mengggunakan 3 shift. 3 dikalikan 8 jadi 24 jam, genap sehari semalam eksploitasi tambang itu tidak berhenti, sungguh pemandangan yang yang membuat saya tergelitik keheran-heranan. Bagaimana nanti kota Sangata pasca tambang batu bara yang menjadi denyut nadi kota tambang itu?
Batu bara di Sangata muncul ke permukaan bumi dan bahkan membentuk bukit-bukit batu bara yang tinggal dipoles sedikit lalu tinggal mengeruk batu baranya. Barangkali dengan menggunakan “aji mumpung” seperti orang Jawa kalau lagi punya kesempatan mereka akan menggunakan dan menghabiskan semuanya tidak tahu apakah besok butuh atau tidak. Yang lebih parah lagi, ada pula orang tua didik saya yang jam kerjanya 12 jam dan hanya menggunakan 2 shift. Artinya bila orang tua anak didik saya berangkat subuh, maka dia akan kembali di petang hari. Pun sebaliknya bila berangkat magrib, maka akan kembali besok pagi harinya.
Untuk model shift yang kedua ini, biasanya orang tua tidak banyak bicara dalam KST, bawaannya ingin cepat selesai, tidak banyak mempertanyakan bagaimana perkembangan anaknya di sekolah atau sekedar menanyakan bagaimana nilai anaknya – yang diinginkannya adalah ingin cepat cepat selesai dan pulang. “Ngantuk, tadi malam masuk shift pak” kata salah seorang dari orang tua anak didik saya sambil “mengucek-ngucekkan” matanya tanda ngantuknya sudah tidak bisa ditahan lagi.
KST jilid II ini Tidaklah sama dengan KST jilid I, saya cenderung agak rileks. Mengingat saya pernah mengalami hal yang sama untuk kali kedua, saya tidak mau mengalami masa-masa menegangkan, masa-masa yang menjenuhkan, dan masa-masa yang sangat melelahkan. Artinya saya harus menggunakan suatu metode/cara agar KST kali ini tidak seperti kejadian pada KST jilid I.
Bila KST jilid I kemarin bertepatan dengan kenaikan kelas secara bertepatan dengan akhir tahun pembelajaran 2007/2008. Dalam KST jilid I semua tegang, anak didik tegang, orang tuanya super tegang, apalagi wali kelasnya tak kalah spaneng – semua tegang dan spaneng. Ibaratnya disenggol sedikit saja sudah teriak “tolong, jangan diganggu!” saking begitu spanengnya atas garapan nilai-nilai yang diberikan oleh guru-guru lain yang kemudian saya masukkan ke dalam ledger penilaian sebelum dimasukkan ke dalam rapor per masing-masing anak didik.
Saking hati-hatinya memasukkan angka demi angka ke dalam rapor (hasil akhir penilaian belajar), mata saya tidak henti-hentinya memelototi angka-angka itu takut bila ada nilai anak yang kurang dari SKM (Standar Ketuntasan Minimal) – nilai minimal yang harus dicapai setiap anak didik pada setiap mata pelajaran. Apabila ada nilai yang kurang dari KKM, maka anak didik saya harus tinggal kelas – tidak naik kelas, yang berarti harus mengulang di kelas yang sama satu tahun lagi.
Dari kesekian banyak orang tua yang hadir, biasanya yang selalu mereka tanyakan adalah bagaimana prestasi akademik anaknya? Ranking berapa anaknya? Meski dalam kurikulum Tingkat Stauan Pendidikan (KTSP) tidak mencantumkan ranking dalam rapor dan bagaimana perilaku anaknya sehari-hari di sekolah? Cuma itu?
Ternyata tidak. Saya menemukan suatu yang janggal dari kebiasaan orang tua lainnya. Janggal menurut sebagaian orang, tapi janggal dalam persepsiku sebagai inspirasi bagi saya tersendiri. Bagaimana kejanggalannya?
Yakni dalam KST, Bapak paruh baya ini memberikan masukan yang luar biasa bagi saya sebagai guru dan wali kelas anaknya. Meski anaknya tidak hadir dalam KST. Hhmmm…bagaimana bisa yang mengundang koq malah tidak hadir??? Menurutku itu bukanlah sesuatu yang subtansi. Yang terpenting orang tuanya hadir, itu sudah cukup. Beliau tidak hanya sekedar usul, tapi memberikan saya sebuah pencerahan, arti penting sebuah sekolah, arti investasi pendidikan.
Bapak ini menceritakan kepada saya tentang perjalanan sekolahnya sebelum dia diterima di perusahaan tambang batu bara yang ada di Sangata yang tak lain adalah PT Kaltim Prima Coal. Yakni ketika dia sekolah dasar (SD), yang berumur 12 tahun baru kelas 1, biasanya umur 12 tahun anak sudah lulus SD tapi bapak ini 12 tahun baru kelas 1. Bagaimana bisa?
Bapak ini, kecilnya dulu sebelum masuk sekolah (SD) selalu menggembala sapi punya tetangganya dengan harapan bahwa dia akan memperoleh upah atas jerih payahnya tersebut. Dalam budaya di kampung bapak ini ada sistem bagi hasil atas sapi yang digembalanya. Barangkali bila disejajarkan dalam hukum Islam menggunakan sistem mukhobarah atau muzaraah, meski istilah ini biasanya digunakan dalam pertanian.
Sebelum bapak ini berangkat ke sekolah – kebetulan sekolahnya masuk siang, ia diminta seseorang untuk menggembala sapi-sapi. Dari hasil sapi-sapi itu ketika kelak beranak pinak, anak-anak sapi inilah yang kemudian dibagi rata dengan pemilik sapi. Selama masa penggembalaannya ini, bila sapi tersebut melahirkan anak. Maka, anak yang pertama adalah milik yang empunya dan anak kedua adalah milik si penggembala. Dia pun menikmati kesepakatan tersebut.
Beberapa hari kemudian, salah seorang saudara bapak ini memberikan pencerhan atas kesepakatan yang dia lakukan dengan pemilik sapi.
“Kenapa kamu memilih anak sapi yang hasilnya hanya seberapa itu? Kenapa kamu tidak memilih minta disekolahkan saja?” saudaranya memberikan usulan pilihan kepadanya.
“kenapa saya harus memilih sekolah? Apa enaknya saya sekolah?” Bapak ini balik bertanya kepada saudaranya.
“Saudaraku, bila kamu memilih sapi. Kamu hanya mendapatkan sapi dan anak-anaknya di kemudian hari. Namun, kalau kamu memilih sekolah kamu akan memperoleh lebih daripada hanya sekedar anak sapi. Kamu bisa mendapatkan ilmu dan kamu bisa mendapatka segalanya”
Sejenak bapak ini berpikir tentang anak sapi dan sekolah. Pikiran saya ketika bapak ini menarik napasnya sebelum melanjutkan ceritanya, yang ada dalam pikiran saya bahwa bapak ini pasti memilih sekolah. Tapi pikiran saya itu saya patri dalam-dalam di hati tidak saya katakan di depannya. Saya hanya diam terpaku mendengarkan secara seksama bahwa orang tua yang ada di depan saya sedang memberikan pencerahan – cerita atau dongeng yang tidak pernah diajarkan oleh bapak/ibu guru saya di bangku-bangku sekolah, dari TK sampai kuliah.
Saya yakin dengan keputusan bapak ini; jika saja dia tetap mimilih sapi, barangkali dia tidak akan bertemu dengan saya apalagi berbicara seperti itu kepada saya dalam Konferensi Segi Tiga (KST). JIka saja dia tetap memilih sapi, maka saya dan Bapak ini tidak akan bertemu di daerah remote area Sangatta. Jika saja dia tetap memilih sapi, maka bapak ini tidak akan bekerja di perusahaan tambang batu bara Sangatta. Jika saja . . . Namun, meskipun dia memilih anak sapi bapak ini tetap bisa sekolah pula dan punya keinginan anaknya akan berpendidikan tinggi tidak sepertinya yang hanya lulus SD. Apapun keputusannya, jika Allah sudah berkehendak mempertemukan saya dengan bapak ini, maka tetap saja akan bertemu. Allah Maha Perkasa, maha tahu atas segala-galanya. “Wallahu A’lam bishshowab”