Emak, saya dibesarkan oleh Emak dengan penuh perhatian. Emaklah yang memandikan saya dan adik-adik hingga saya mampu untuk mandi sendiri. Saya dan adik-adik hanya berbaris di depan sumur lalu Emak menguyur tubuh kami dengan ember yang berisi air yang ditimba dari dalam sumur.
Emaklah yang memakaikan seragam sekolah hingga menyuapi sarapan pagi. Saya hanya tinggal buka mulut, suapan tangan Emak pun masuk ke mulut saya. Lalu Emak akan mengantar kami ke sekolah. Setelah itu Emak kembali ke rumah untuk mengurus Bapak.
Bapak, saya tak pernah dekat dengan Bapak. Bukan karena Bapak saya orang jahat. Bukan karena saya tak pernah mencurahkan gundah di hati saya. Bukan karena Bapak tak pernah memeluk saya dengan hangat. Bukan karena Bapak tak pernah tertawa dengan gurau yang saya lontarkan.
Entahlah hati saya merasa jauh dari Bapak. Kami memang saling menyapa, tetapi semua itu hanya basa-basi. Saya dan Bapak tidak pernah berbicara mengenai perasaan kami. Saya tak pernah mendengar ungkapan cinta dari bibir Bapak. Saat Bapak memeluk, saya merasa dipeluk oleh mahluk asing. Hambar, tak ada gejolak.
Berbeda ketika Emak memeluk saya. Saya merasa begitu damai dan aman. Saya seperti mendengar nyanyian merdu dari dalam dadanya. Tubuhnya begitu hangat membuat saya betah berlama-lama dalam pelukan Emak sehabis mandi pagi.
Pada Emaklah saya banyak bercerita. Tentang sekolah dan teman-teman saya. Juga saat pertama kali saya suka pada teman wanita saya. Emak mengajarkan saya banyak hal. Tetapi Emak tak pernah mengajarkan saya pekerjaan rumah. Emak bilang itu pekerjaan perempuan.
Bapak, tak pernah mengajari saya. Bapak memberikan hadiah sepeda tetapi tidak mengajari saya naik sepeda. Bapak membelikan saya kelereng, tetapi tidak mengajari saya cara menggunakannya. Bapak membelikan saya layangan tetapi tidak menemani saya bermain layangan. Hanya Bapak sering berkata bahwa saya tidak boleh cengeng. Lelaki tidak boleh menangis. Jadi laki-laki harus kuat dan tegar.
Saya sering memperhatikan Emak mencuci piring. Melihat busa yang dihasilkan oleh sabun colek yang Emak pakai. Saya ingin membantu Emak agar saya dapat bermain dengan sabun tersebut. Tetapi Emak melarang saya, malah Emak meminta saya untuk bermain layangan dengan teman-teman saya di depan rumah.
Saya ingin membantu Emak di dapur, tetapi lagi-lagi Emak berkata itu pekerjaan perempuan. Malang sekali perempuan, pikir saya saat itu. Apalagi saya tak pernah melihat Bapak membantu Emak mengurus kami ataupun membantu Emak di rumah. Semuanya dilakukan oleh Emak. Kata Emak karena Bapak sudah capek bekerja mencari uang, lagi pula semua itu tugas perempuan.
Suatu ketika saat bermain kelereng saya berkelahi dengan seorang anak lelaki seusia saya. Tetapi badannya lebih kecil. Saya pukul dia hingga badannya babak beluk. Teman-teman saya tidak ada yang memisahkan kami. Bahkan mereka menyemangati kami. Hingga akhirnya Bapak anak yang saya pukul datang lalu memisahkan kami.
“Anak siapa kamu?! Anak kurang ajar! Dimana Ibumu?!” Lelaki itu menghardik saya. Lalu membawa saya pulang. Dia pun menghardik Emak. Katanya Emak tidak becus mengurus dan mendidik saya hingga saya menjadi anak kurang ajar. Rasanya saya ingin menghajar lelaki tersebut yang berani memaki Emak.
Kasihan Emak. Sejak saat itu saya tak nakal lagi. Saya tak ingin Emak yang disalahkan karena kenakalan saya. Tak ingin Bapak marah pada Emak karena perbuatan saya.
Saya mulai beranjak remaja, di sekolah saya sering menjadi juara kelas. Bapak datang mengambil rapor saya. Bapak dipuja oleh kepala sekolah dihadapan orangtua yang lainnya. Saya pun bertanya dalam hati, mengapa Bapak yang dipuja ketika saya berprestasi. Bukankah Emak yang telah mengajari saya?
Setamat SMA saya melanjutkan kuliah di kota lain. Saya mulai aktif di kegiatan masjid. Saya mulai belajar tentang agama saya. Juga mengenai peran perempuan yang sebenarnya. Tidak seperti yang selama ini saya dapat dari Emak. Dan Emak mendapatkannya dari nenek saya.
Ketika musim libur saya kembali ke rumah. Di rumah Emak mengurus saya sama seperti saya waktu kecil. Saya ingin menolaknya. Tetapi setiap kali melihat kebahagian di mata Emak saat menghidangkan makanan di hadapan saya, keinginan tersebut lenyap. Begitu juga saat saya ingin membantu Emak membersihkan rumah. Emak melarang saya dan meminta saya duduk di serambi rumah dengan Bapak. Hati saya merasa tak nyaman melihat Emak bekerja sementara Bapak hanya duduk sambil menghisap rokok ditemani secangkir kopi.Tetapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya pun memenuhi permintaan Emak duduk di sebelah Bapak, tetapi kami hanya saling membisu. Seperti dua mahluk yang berbeda, tak tahu harus berkata apa.
Setelah saya selesai kuliah, saya pun menikah dengan teman kuliah saya yang berasal dari kota yang sama. Seperti Emak, isteri saya mengurus saya dan rumah dengan baik. Walaupun dia juga bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan. Saya mulai merasakan sesuatu yang salah dalam diri saya. Rasanya saya sudah terbiasa hidup dilayani. Saya sudah terbiasa hidup seperti raja, walaupun saya tahu itu tidak benar. Seharusnya saya membantu isteri saya di rumah, tetapi saya tidak terbiasa untuk itu. Dari kecil saya tidak dilatih untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Isteri saya tidak pernah mengeluh, walaupun saya tahu tubuhnya sangat letih. Dia selalu berkata ingin menjadi isteri yang baik. “Isteri harus berbakti dan melayani suami,” pesan ibu mertua pada isteri saya.
Saat anak pertama saya lahir, ada rasa bahagia dan takut dalam diri saya. Entahlah saya takut tak dapat mendidiknya dengan baik. Apalagi saya tak pernah melihat Bapak mengajari kami ataupun menasehati kami tentang kehidupan. Saya tak tahu harus mencontoh siapa dalam mendidik putra saya.
Setelah melahirkan, isteri saya tinggal di rumah, mendapat cuti dari kantornya. Dia pun merawat bayi kami dengan baik. Malam hari ketika bayi kami menangis, isteri saya berusaha menenangkan tanggisan tersebut. Bayi kami dibawa keluar kamar. Isteri saya tak ingin tidur saya terganggu dengan tanggisan tersebut. Ketika saya ingin menenangkan bayi kami, isteri saya meminta saya kembali tidur. Dengan alasan besok saya harus masuk kerja, sedangkan dia tak perlu ke kantor. Saya pun menurut, lagi pula saya memang ngantuk. Saya tak pernah berusaha meyakinkan isteri saya. Mungkin karena ada perasaan aneh saat saya harus mengurus bayi, atau karena saya sudah merasa keenakan dengan kebaikan isteri saya.
Isteri saya telah habis masa cutinya, tetapi perhatian pada bayi kami tidak berkurang. Dia tetap memberikan ASI. Saat pulang dari kantor isteri saya datang membawa ASI yang disimpan dalam botol-botol kecil. Walaupun isteri saya harus lembur tak lupa dia dengan kebutuhan bayi kami.
Hari itu, isteri saya pulang terlambat. Saya sudah terlelap tidur saat dia datang. Sedangkan bayi kami diurus oleh pengasuhnya sampai isteri saya datang. Isteri saya kembali ke rumah dalam keadaan sangat letih. Bayi kami menangis malam itu. Seperti biasa isteri saya bangun untuk menenangkan bayi kami. Tidak seperti biasanya malam itu isteri saya membiarkan bayi kami tetap berada di kamar sedangkan dia keluar untuk mengambil botol susu.
Saya baru saja akan terlelap dalam mimpi ketika saya mendengar teriakan dan dentuman dari arah tangga rumah kami. Segera saya loncat dari tempat tidur menuju suara tersebut. Jantung saya berpacu cepat seketika saat melihat di bawah tangga isteri saya tergeletak tak bergerak. Saya berusaha membangunkannya tetapi dia tidak juga bergerak. Rupanya ketika dalam keadaan letih, ngantuk dia berjalan dalam ruangan gelap menabrak ujung tangga dan terpeleset jatuh. Kepalanya menghantam tangga hingga ke lantai satu.
Setelah tak sadarkan diri selama lima hari, isteri saya pun pergi menghadapNya. Saya hanya dapat menyesali diri. Saya menyesal tidak membantu isteri saya dalam mengurus bayi kami malam itu. Padahal saya bisa memberikan ASI dalam botol tersebut. Saya tahu tugas sayalah melindungi isteri dan bayi kami. Tetapi mengapa saya ragu? Kini saya tak tahu bagaimana merawat dan membesarkan bayi. Bagaimana mendidiknya kelak. Saya tak pernah punya contoh. Isteriku, maafkan aku. (BR)