Wahai Abu Hazm, mengapa aku begitu takut menghadapi kematian?” tanya Sulaiman bin Abdul Malik(1).
Abu Hazm memandangi wajah sang Khalifah yang pias. Tiga orang jenderal angkatan perang telah pernah dihukum mati atas perintahnya, ketika ia merebut tampuk kekhalifahan dari Hajjaj bin Yusuf.(2)
“Wahai Amirul Mu’minin,” jawab lelaki tua itu penuh wibawa, “Barangkali karena tuan telah merusak akhirat tuan hanya demi mengejar kehidupan yang mulia di mata manusia di dunia ini.”
Sang Khalifah tepekur mendengarkan jawaban ulama itu. Sebuah jawaban yang menyentil, menghunjam telak di ulu hatinya, dan tak ayal membuatnya menggelepar seketika.
“Itulah mengapa tuan begitu takut menghadapi kematian, wahai Amirul Mu’minin,” lanjut sang zuhud dengan tikaman yang lebih dramatis. “Karena tuan akan meninggalkan kemuliaan yang telah tuan bangun begitu rupa di dunia ini menuju akhirat yang telah tuan rusak.”
Sulaiman bin Abdul Malik termenung beberapa saat. Ia kini mengkeret seperti rusa di depan auman singa lapar. “Lantas, bagaimana gambaran orang yang kembali kepada Allah setelah kematiannya, wahai Abu Hazm?”
Abu Hazm menyedot napas perlahan-lahan. “Bagi orang yang baik amalnya di dunia ini,” kata lelaki tua itu fasih dan penuh penekanan, “kembalinya kepada Allah bagaikan seorang musafir ketika kembali kepada keluarganya setelah bepergian jauh. Sedangkan kembalinya seorang yang durhaka kepada Allah bagaikan seorang hamba sahaya yang dipaksa kembali kepada tuannya karena telah melarikan diri darinya.”
***
Kira-kira demikianlah sekelumit dialog antara Sulaiman bin Abdul Malik dengan ulama terkemuka pada masanya, Abu Hazm. Dialog itu saya terima dari khatib khutbah Jum’at minggu lalu di masjid sebelah kantor. Mudah-mudahan substansi ceritanya tidak melenceng jauh.
Al-Qur’an menamai maut antara lain dengan al-yaqin (keyakinan). Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu al-yaqin. (QS. Al-Hijr: 99). Kematian adalah keyakinan, tak seorang pun menyangsikan kehadirannya yang pasti bakal terjadi. Sayyidina Ali ra. berkata,
“Saya tidak pernah melihat suatu yang batil (yang akan punah) tetapi dianggap haq (pasti dan akan langgeng) sebagaimana halnya kehidupan dunia. Dan tidak pernah pula saya melihat sesuatu yang haq (pasti) tetapi diduga batil (lenyap tanpa wujud) seperti halnya maut.”
Demikian M. Quraish Shihab menulis dengan apik tentang kematian dalam bukunya Perjalanan Menuju Keabadian (Lentera Hati, Jakarta, 2001). Meski ia sesuatu yang pasti, tetapi kebanyakan kita tidak menyadarinya, dan menganggapnya sesuatu yang jauh. Dalam bahasa Sayyidina Ali “diduga batil”, sesuatu yang kosong, tak berwujud. Bahkan saat kematian itu datang, ketika nyawa sudah di kerongkongan, orang masih sibuk bertanya dan sibuk mencari siapa yang bisa menyembuhkannya. Yang bersangkutan sendiri masih memiliki harapan dan baru menduga kematian telah datang. Demikian Allah menggunakan kata zhanna (menduga) pada QS. Al-Qiyamah: 26-30, yang menggambarkan betapa harapan hidup masih melekat pada seseorang hingga di titik akhir kehidupannya di dunia.
Karena itulah redaksional ayat QS. Al-Hijr di atas “sampai datang kepadamu al-yaqin (keyakinan).” Ini berarti bukan manusia yang pergi menemuinya, melainkan kematianlah yang akan mengejar manusia seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Dimana saja kamu berada, kata Al-Qur’an, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng-benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa: 78).
Jika kematian laksana sebuah pintu yang setiap orang akan melewatinya, yang memisahkan antara kehidupan di dunia dengan kehidupan entah sesudah melewatinya, maka sudah seyogyanya orientasi hidup di dunia ini hendaknya difokuskan untuk mempersiapkan kehidupan yang kedua nanti. Dan ketika manusia memiliki naluri untuk mempertahankan diri agar hidup kekal abadi (gharizatul baqa‘), maka sebenarnya sudah klop seperti “tumbu oleh tutup“, kata orang Jawa, dengan kenyataan di atas. Karena, justru pada kehidupan kedua itulah kehidupan yang abadi itu akan terjadi.
Karena abadi, endless, tak pernah berakhir, maka bayangkanlah jika pada masa yang kekal itu justru kehidupan yang sengsaralah yang harus kita jalani akibat perbuatan kita semasa hidup di dunia ini. Perbuatan durhaka dan kemaksiatan yang kita lakukan di dunia ini, dalam bahasa Abu Hazm, telah merusakkan akhirat yang abadi itu. Sehingga tak heran jika kita — sebagaimana Sulaiman bin Abdul Malik — takut menghadapi kematian, karena akan pergi ke sebuah tempat yang telah kita rusak sendiri untuk selama-lamanya. Ketakutan itu digambarkan seperti seorang hamba sahaya yang harus dipaksa dan diseret kembali ke tuannya, yang ia telah lari dari padanya. Sudah terbayang kira-kira apa yang bakal dilakukan tuannya kepadanya.
Sebaliknya, mereka yang sudah mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal itu, yang telah membangunnya sedemikian rupa semasa di dunia ini, maka kematian seperti buncah kerinduan, sebagaimana Anas bin Nadhr ra. mencium wangi surga saat perang Uhud berkecamuk di depan mata. Kematian justru dirindukan. Kepulangan orang semacam ini ke haribaan ilahi digambarkan Abu Hazm seperti seorang musafir yang diliputi rasa rindu ingin cepat pulang untuk bertemu dengan anak dan istrinya yang telah berpisah dengannya sekian lama.
Lantas kita sendiri pilih yang mana? Menjadi seorang hamba sahaya ataukah musafir yang rindu kembali pulang ke tengah keluarganya? Apalagi jika kita tak pernah tahu bagaimanakah kesudahan kita kelak di kehidupan kekal itu, sebagaimana tangis Abu Hurairah ra. menjelang kematiannya.
“Mengapa engkau menangis, wahai Abu Hurairah?”
“Sesungguhnya aku menangis karena jauhnya perjalananku, sementara bekalku amat sedikit. Sungguh aku akan melalui jalan yang berujung ke surga atau neraka. Aku tidak tahu, manakah di antara keduanya yang akan diberikan kepadaku