- Pengertian Jihad
Jihad merupakan kata yang familiar di kalangan umat Islam, akan tetapi banyak dari mereka memiliki pemahaman yang over tentang jihad sehingga memunculkan pemahaman yang menuju pada radikalisme. Jihad dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti: 1. Usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; 2. Upaya membela agama dengan mengorbankan harta dan nyawa; 3. Perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam (Tim Penyusun, 2008: 637). Pengertian yang terdapat dalam KBBI tersebut sebetulnya sudah mencerminkan tingkatan dalam penggunaan kata jihad dalam kehidupan nyata, akan tetapi sebagian orang masih memiliki pemahaman yang sempit akan hal itu dan hanya mengambil sebagian pemahaman dari definisi tersebut.
Dalam memahami makna jihad dalam al-Qur’an, setidaknya ada empat pesan yang disampaikan al-Qur’an dengan menggunakan redaksi jihad dan derivasinya, yaitu jihad berarti perang, berargumentasi (hujjah), infak di jalan Allah dan bersungguh-sungguh menolong dan menjalankan perintah agama (Abu Nizhan, 2011: 546). Keempat makna tersebut tentunya mempunyai fungsi dan periodisasi tersendiri, sehingga tidak bisa dicampuradukkan keempat makna tersebut, kapan jihad berarti perang, berargumentasi (hujjah), infak di jalan Allah dan bersungguh-sungguh menolong dan menjalankan perintah agama.
Dalam kitab Mu’jam al-Mausu’i Li Alfadz al-Qur’an al-Karim diterangkan bahwa kata Jahada-Yujahidu (یجاھد- جاھد (bersama derivasinya mempunyai dua makna, yaitu mengerahkan Segala Kemampuan (الوسع بذل (dan perang di jalan Allah (al-Qital). Sedangkan kata Jahada (َدَھَج (beserta derifasinya mempunyai arti Ghayah, alNihayah (tujuan akhir), Mashaqqah (kesulitan), al-Was’u (kemampuan) dan al-Thaqah (kemampuan) (Ahmad Mukhtar, 2002: 130).
Al-Maraghi (Bahrun Abu Bakar, 1986: 141) menjelaskan terdapat empat cakupan dalam berjihad:
- Perang dalam rangka membela agama, pemeluknya dan untuk meninggikan kalimah Allah.
- Memerangi hawa nafsu, yang dikatakan oleh orang-orang salaf sebagai jihad akbar. Di antaranya ialah memerangi hawa nafsunya sendiri, khususnya di saat usia muda.
- Berjihad dengan harta benda untuk amal kebaikan yang bermanfaat bagi umat dan agama.
- Jihad melawan kebatilan dan membela kebenaran.
_Makna Jihad pada Periode Makkah
Pada periode ini dapat diketahui melalui identifikasi ayat yang disusun sesuai urutan turunynya(tartib nuzuly) sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Pada periode Makkah ini penggunaan istilah jihad dan derivasinya lebih ditekankan dalam cara berdakwah, yaitu dengan cara berdialog dengan kaum Quraisy Makkah dengan dialog yang baik sehingga dapat diterima apa yang ingin disampaikan terutama ajaran Islam agar dapat diterima dengan baik dan benar.
Dan pada periode ini yang disinggung bukan dan belum mengenai peperangan melainkan mengenai para kaum Quraisy yang belum menrima ajaran Islam. Allah berfirman dalam surat al-Furqan(25) ayat 52: فَلَا تُطِعِ ٱلۡזَـٰفِرِینَ وَجَـٰھِدۡھُم بِھِۦ جِھَادً۟ا וَبِیرً۟ا
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.
Maksud dari ayat tersebut adalah mengkaji penafsiran dari para ulama tentang dlamir mutastir bahwa dlamir tersebut dapat kembali kepada al-Qur’an, karena nabi Muhammad Saw. diutus di bumi ini untuk berdakwah menyampaikan al-Qur’an kepada umat manusia(Ismail, 2000:3014). Ada pula penafsiran lain yang menjelaskan dlamir tersebut tidak hanya dengan al-Qur’an tetapi juga dengan perintah berjihad dalam Islam, atau dengan pedang atau dengan tidak mentaati perintah mereka(Abu Hayyan, 1993:464).
Pemahaman menurut (Ismail, 2000:3014) lebih dapat diterima dari pemahaman (Abu Hayyan, 1993:464) karena umat Islam pada periode tersebut masih belum ada yang harus dipertahankan dengan perang atau menggunakan pedang, dan hal ini bukan menjadi pertanda orang muslim lemah tetapi memang pada saat itu belum memiliki hal yang perlu dipertahankan dengan perang.
Atas dasar tidak adanya perintah perang pada periode Makkah, tidak ada pula paksaan yang ditujukan kepada penduduka Makkah untuk memeluk agama Islam, karena agama dasarnya pada hati dan tidak dapat dipaksakan untuk memeluk agama tertentu. Hal ini sesuai dengan penggalan firman Allah dalam surat al-Baqarah : 256 لَا إكراه في الدین Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Kata La (أَل (dalam ayat ini menurut ahli bahasa mempunyai arti nafi, sehingga mempunyai arti tidak akan terjadi pemaksaan dalam memeluk agama karena agama tempatnya di dalam hati (Ahmad alTayyeb, 2016: 156).
Selain surat Al-Furqan (25): 52, ayat Makkiyyah lainnya yang menggunakan derivasi dari kata jihad mempunyai arti yang berbeda. Kata ْواُدَھٰـَج pada ayat Al-Nahl (16): 110 memiliki arti jihad bersungguhsungguh dalam mempertahankan iman dan tidak tergiur untuk menjadi pasukan orang kafir dan penolong setan (Wahbah, 2001 : ١٠٣٨). Periode makkah merupakan masa perjuangan umat Islam untuk mempertahankan akidahnya. Sehingga pada periode ini dibutuhkan kesabaran yang ekstra untuk mempertahankan keimanan mereka. Dapat ditelaah pada literature sejarah bahwa umat Islam pada periode Makkah menghadapi banyak sekali cobaan dari orang kafir, karena secara kuantitas umat Islam masih sedikit, dan secara ajaran bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang Quraisy.
_Makna Jihad di Madinah
Periode Madinah Setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah, yaitu kesungguhan dalam mempertahankan diri agar tetap berada di jalan Allah.
Di Madinah umat Islam bersandingan dengan kaum yahudi dan orangorang munafik yang cukup mewarnai kehidupan bermasyarakat pada saat itu, keberadaan orang yahudi dan munafik menjadi cobaan bagi hati mereka untuk tetap mempertahankan keimanan mereka agar tetap kuat dan tidak goyah. Kesungguhan yang dilakukan oleh seorang muslim akan kembali manfaatnya kepada mereka sendiri, yaitu dengan ditunjukkan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat (Wahbah, 2009: 41). Sebagaimana firman Allah dalam surat Muhammad(47) ayat 17 وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ اھْﺘَﺪَوْا زادَھُﻢْ ھُﺪىً وَآﺗﺎھُﻢْ ﺗَﻘْﻮاھُﻢْ Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka [balasan] ketakwaannya. Kata ﺟَـٰ ﮭَﺪَا dalam surat al-Ankabut ayat 8 mempunya arti memaksa. Ayat ini berkaitan dengan wajibnya berbuat baik dan taat kepada orang tua, kecuali jika orang tua memaksa melakukan kemusyrikan kepada Allah maka sebagai anak harus tidak menaati perintah itu, karena pada dasarnya tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan (Wahbah, 2001: 1949).
Perintah untuk menolak paksaan orang tua dalam hal kemusyrikan, bukan berarti memerintahkan kepada seorang anak untuk melawan orang tua, akan tetapi seorang anak harus tetap berbuat baik kepada orang tuanya dengan kembali pada al-Qur’an surat Luqman (31) ayat 15: وَٱﺗﱠﺒِﻊۡ ۖ وَﺻَﺎﺣِﺒۡﮭُﻤَﺎ ﻓِﻰ ٱﻟﺪﱡﻧۡﯿَﺎ ﻣَﻌۡﺮُوﻓً۟ﺎ ۖ وَإِن ﺟَـٰﮭَﺪَاكَ ﻋَﻠَﻰٰٓ أَن ﺗُﺸۡﺮِكَ ﺑِﻰ ﻣَﺎ ﻟَﯿۡﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﮫِۦ ﻋِﻠۡﻢٌ۟ ﻓَﻠَﺎ ﺗُﻄِﻌۡﮭُﻤَﺎ ﻢ ﺑِﻤَﺎ ﻛُﻨﺘُﻢۡ ﺗَﻌۡﻤَﻠُﻮنَ ُ ﺛُﻢﱠ إِﻟَﻰﱠ ﻣَﺮۡﺟِﻌُﻜُﻢۡ ﻓَﺄُﻧَﺒﱢﺌُ ۚ ﺳَﺒِﯿﻞَ ﻣَﻦۡ أَﻧَﺎبَ إِﻟَﻰﱠ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Umat Islam diberi keutamaan menjadi umat yang dipimpin oleh utusan yang mulia, dan menganut agama yang mudah dalam menjalaninya. Agama Islam tidak menjadi agama yang mempersulit umatnya dalam sisi kehidupannya, tidak menjadi agama yang memperberat kehidupan umatnya. Jihad pun hanya disyariatkan untuk menjadi tameng yang dapat melindungi umat Islam dari serangan baik berupa serangan yang bersifat agama atau bernegara. Kedua, Allah menjadikan Islam sebagai agama yang bersumber dari nabi Ibrahim, yaitu agama yang murah hati yang mempunyai landasan tauhid dan memberantas kemusyrikan. Ketiga, Allah SWT. atau nabi Ibrahim yang menamai kita sebagai orang-orang muslim, yang tunduk pada perintah Allah yang disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu dan al-Qur’an.
Adapula pengertian tentang orang-orang muk,im yang berjihad dijalan ALLAH sebagai berikut :
- Jihad dengan harta, Jihad dengan harta merupakan kategori jihad yang utama, yaitu dengan menginfakkan harta untuk dijadikan modal untuk berhijrah dan dijadikan pertahanan bagi agama, seperti mempersiapkan kuda-kuda perang dan pedang, serta untuk memenuhi kebutuhan orang Islam dalam peperangan.
- Jihad dengan diri, artinya dengan menjadi aktor dalam melaksanakan peperangan, menghadapi musuh dan sabar menghadapi cobaan dan menghadapi kerasnya peperangan.
Sedangkan jihad yang dilakukan kepada orang kafir menurut Ibnu Mas’ud dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan tangan (dengan pedang), menampakkan muka masam atau mendoakannya dalam hati. Berbeda halnya dengan orang munafik, karena orang munafik secara lahiriyah mereka bergaul dan seolah-olah menjadi orang Islam, sehingga cara yang digunakan adalah dengan cara dialog. Kecuali jika orang munafik melakukan perlawanan secara jelas maka mereka boleh dilawan dengan peperangan pula (Wahbah, 2009: 670).
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa penggunaan kata jihad dalam kontek sejarah tidak hanya memiliki arti perang. Sebagian orang yang hanya mengartikan jihad sebagai perang saja, ini merupakan pemahaman yang kurang tepat. Pemaknaan jihad menjadi perang harus sesuai dengan kontek yang terjadi pada masa itu, tidak digeneralkan bahwa jihad secara keseluruhan memiliki arti perang, terlebih perang secara fisik.
Dalam konteks keindonesiaan perintah jihad yang benar dan positif telah difatwakan oleh Nahdlatul Ulama yang dipimpin langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945 untuk melawan kaum kafir Kristen penjajah Belanda yang merampas agama, martabat, harta, tanah air dan kemerdekaan umat Islam Indonesia. Dalam konteks sekarang adalah seruan jihad dari lascar jihad Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk membela dan melindungi umat Islam di Maluku dan Ambon dari serbuan kelompok lain agar terhindar dari pembantaian yang keji (Setiawan, 2007: 29). Ibn Taimiyyah membuat kaidah dibolehkannya perang mengambil intisari dari surat al-Baqarah ayat 190-193, yaitu:
- Memerangi orang kafir karena kezalimannya terhadap umat Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama’ di antaranya Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Hanifah dan lain sebagainya (Abdullah, T.Th.: 13). Dalil yang digunakan untuk memperkuat pendapat ini adalah Surat al-Baqarah ayat 190: إِنﱠ ٱﻟﻠﱠﮫَ ﻟَﺎ ﯾُﺤِﺐﱡ ٱﻟۡﻤُﻌۡﺘَﺪِﯾﻦَ ۚ وَﻗَـٰﺘِﻠُﻮاْ ﻓِﻰ ﺳَﺒِﯿﻞِ ٱﻟﻠﱠﮫِ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾُﻘَـٰﺘِﻠُﻮﻧَﻜُﻢۡ وَﻟَﺎ ﺗَﻌۡﺘَﺪُوٓاْ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dalam ayat tersebut terdapat redaksi ٱ ﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾُﻘَـٰﺘِﻠُﻮﻧَﻜُﻢۡ , yang bermakna bahwa orang kafir yang mendahlui peperangan dengan umat Islam, yang mana hal itu menunjukkan bahwa perintah perang itu berlaku ketika ada serangan dari orang yang zalim kepada umat Islam,yaitu larangan untuk tidak memerangi orang yang tidak ikut berperang meski dari kelompok orang kafir (Abdullah, T.Th.: 13). Ayat ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang lebih mendahulukan perdamaian daripada peperangan, buktinya adalah tidak diperbolehkannya menyerang kepada orang kafir jika orang kafir tersebut tidak melakukan serangan kepada umat Islam.
- Memerangi orang kafir karena kekafirannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’I (Abdullah, T.Th.: 13), dengan berdasarkan dalil
Surat al-Baqarah ayat 193: ۖ وَﻗَـٰﺘِﻠُﻮھُﻢۡ ﺣَﺘﱠﻰٰ ﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮنَ ﻓِﺘۡﻨَﺔٌ۟ وَﯾَﻜُﻮنَ ٱﻟﺪﱢﯾﻦُ ﻟِﻠﱠﮫِ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) keta’atan itu hanya semata-mata untuk Allah. Arti pendapat Imam Syafi’i tersebut adalah perintah memerangi orang kafir untuk menghilangkan fitnah (kekafiran) dari orang-orang musyrik. Sedangkan tujuan dari memerangi kekafiran adalah untuk tegaknya agama Islam dan agar dapat dijalankannya hukum Allah beserta Rasul-Nya, sehingga ketaatan semata-mata hanya kepada Allah (Abdullah, T.Th.: 14). Rasulullah bersabda: أُﻣِﺮْتُ أَنْ أُﻗَﺎﺗِﻞَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﺣَﺘﱠﻰ ﯾَﻘُﻮﻟُﻮا ﻟَﺎ إﻟﮫ إِﻟﱠﺎ اﻟﻠﱠﮫُ.
“Aku diperintahkan untuk memerangi orang (kafir) sampai mereka berkata tiada tuhan selain Allah. Dengan melihat dua kaidah tersebut, penulis memilih untuk mengomparasikan antara keduanya, yaitu peperangan boleh dilancarkan oleh umat Islam terhadap orang kafir katika terjadi penindasan terhadap umat Islam.”
Adapun memerangi orang kafir karena kekafirannya dapat dilakukan secara kondisional, jika kekafirannya tidak menimbulkan dampak negatif bagi umat Islam, maka tidak perlu memerangi mereka, karena Islam merupakan agama yang toleran dengat agama lain dan Islam merupakan agama yang mementingkan perdamaian dan keselamatan umat manusia.
Allah berfirman: ﻓَﺈِنِ ٱﻧﺘَﮩَﻮۡاْ ﻓَﻠَﺎ ﻋُﺪۡوَٲنَ إِﻟﱠﺎ ﻋَﻠَﻰ ٱﻟﻈﱠـٰﻠِﻤِﯿﻦَ
“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” Dan Allah berfirman:
إِﻧﱠﮫُ ۥ ھُﻮَ ٱﻟﺴﱠﻤِﯿﻊُ ٱﻟۡﻌَﻠِﯿﻢُ ۚ وَإِن ﺟَﻨَﺤُﻮاْ ﻟِﻠﺴﱠﻠۡﻢِ ﻓَﭑﺟۡﻨَﺢۡ ﻟَﮭَﺎ وَﺗَﻮَﻛﱠﻞۡ ﻋَﻠَﻰ ٱﻟﻠﱠﮫِ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Pada ayat 191 surat al-Baqarah diterangkan bahwa telah diperintahkan untuk memerangi orang kafir di manapun mereka berada dan mengusir mereka sebagaimana mereka mengusir orang Islam ( وَ ٱﻗۡﺘُﻠُﻮھُﻢۡ ﺣَﯿۡﺚُ ﺛَﻘِﻔۡﺘُﻤُﻮھُﻢۡ وَأَﺧۡﺮِﺟُﻮھُﻢ ﻣﱢﻦۡ ﺣَﯿۡﺚُ أَﺧۡﺮَﺟُﻮﻛُﻢۡ ). Secara zahir ayat tersebut berlawanan dengan ayat sebelumnya yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir ketika mendapatkan serangan dari mereka saja. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat 191 dalam surat al-Baqarah merupakan ayat yang menghapus (Nasikh) hukum perang yang ada pada ayat sebelumnya, penghapusan hukum tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat memusuhi orang mushrik dan menumpasnya agar terjalin rasa aman di kalangan orang Islam. Akan tetapi menurut Muhammad Abduh, ayat tersebut bukanlah penghapus (Nasikh) hukum perang pada ayat sebelumnya, karena ayat tersebut turun bersamaan dan berada dalam satu kisah (Muhammad Abduh, 1947: 210).
_Kesimpulan
Jihad merupakan kewajiban seorang mukmin untuk mempertahankan agamanya. Serangan tidak harus berupa serangan fisik, akan tetapi dapat berupa serangan pemikiran, keilmuan, teknologi, perekonomian dan lain sebagainya.
Penggunaan istilah jihad dan derivasinya pada periode Makkah lebih ditekankan pada jihad dalam berdakwah, yaitu berdialog dengan kaum Quraisy Makkah dengan dialog yang baik sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan baik dan benar. Cara tersebut berjalan cukup lama hingga nabi hijrah ke Madinah. Selain itu jihad juga diartikan sebagai kesungguhan diri dalam mempertahankan iman umat Islam pada saat itu, karena rintangan yang harus dilalui oleh umat Islam sangat berat dalam mempertahankannya.
Pemaknaan jihad menjadi perang harus sesuai dengan kontek yang terjadi pada masa itu, tidak digeneralkan bahwa jihad secara keseluruhan memiliki arti perang, terlebih perang secara fisik. Setidaknya jika seorang mengartikan jihad adalah perang, maka harus diklasifikasikan siapakah orang yang tepat untuk dijadikan objek jihad, dan dengan cara apa jihad itu dilakukan, sehingga tidak ada orang yang berjihad akan tetapi tidak tepat cara dan sasaran. Agama Islam selalu mengajarkan perdamaian antar sesama manusia, agar manusia dapat hidup berdampingan dengan baik.
Leave a Reply